Kisah Korban Perang Sudan, Mahir Elfiel: Saya Terjebak dalam Perang dan Tidak Bisa Kembali.

Rabu, 17 Mei 2023 - 14:37 WIB
loading...
Kisah Korban Perang Sudan, Mahir Elfiel: Saya Terjebak dalam Perang dan Tidak Bisa Kembali.
Pertempuran sengit di Sudan sudah selama empat minggu. Foto/Ilustrasi: reuters
A A A
Orang Sudan berjuang meninggalkan negara mereka. Hanya saja tak sedikit di antara mereka yang terjebak karena paspornya tertahan di salah satu kedutaan besar Eropa yang tutup. Mahir Elfiel adalah salah satu korban itu.



Tentara Sudan di bawah Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) di bawah Mohamed Hamdan Dagalo telah terlibat dalam pertempuran sengit selama empat minggu.

Pada saat perebutan kekuasaan antara kedua jenderal tersebut berlarut-larut, banyak orang yang berusaha melarikan diri meninggalkan kampung halamannya.

Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), lebih dari 700.000 orang mengungsi di dalam negeri. Lebih dari 170.000 orang telah meninggalkan negara itu, 67.000 di antaranya ke negara tetangga Mesir.

Negara-negara Barat seperti Jerman, Inggris , dan AS telah mengevakuasi warganya dari Sudan, menutup kedutaan mereka di Khartoum. Dengan konsekuensi dramatis: ratusan, bahkan ribuan, paspor milik orang Sudan yang telah mengajukan visa sebelum perang kini tertahan di kedutaan yang sepi. Tanpa paspor, orang tidak bisa meninggalkan zona konflik.

Inilah situasi yang dihadapi Mahir Elfiel. Pria berusia 40 tahun itu adalah seorang manajer program di sebuah organisasi internasional. Pada akhir April, Elfiel meninggalkan kampung halamannya di Omdurman dekat Khartoum, melintasi perbatasan ke Mesir.



Namun karena paspornya tertahan di kedutaan Spanyol, dia terjebak di Wadi Halfa, sebuah kota kecil sekitar 900 kilometer sebelah utara Khartoum di perbatasan Mesir. Seperti Elfiel, ribuan orang menunggu di sana untuk melanjutkan perjalanan.
Kisah Korban Perang Sudan, Mahir Elfiel: Saya Terjebak dalam Perang dan Tidak Bisa Kembali.

Berikut penuturan Elfiel tentang kisahnya, sebagaimana dilansir laman Qantara pada Selasa 16 Mei 2023, kemarin.

Situasi di dalam dan sekitar Khartoum sangat sulit. Setelah pertempuran dimulai, saya dapat mendengar suara tembakan di lingkungan saya dan melihat jet tempur membidik rumah-rumah.

Saya mengurung diri di rumah. Saya tidak punya air atau listrik selama berhari-hari dan pertempuran semakin dekat. Lingkungan saya dekat dengan rumah sakit militer, yang menjadi sasaran RSF.

Saya mendengar dari kenalan bahwa para pejuang mulai menjarah rumah dan toko dan mengusir warga sipil dari rumah mereka, yang membuat saya takut.

Banyak kerabat dan tetangga saya melarikan diri begitu pertempuran meletus. Saya lajang dan merasa sangat kesepian setelah itu. Ini adalah keputusan yang sulit untuk meninggalkan semuanya dan menghadapi ketidakpastian hanya dengan sebuah koper di tangan.

Tetapi saya juga tahu bahwa saya tidak akan dapat menemukan cukup makanan dan minuman lebih lama lagi. Jadi, saya memutuskan untuk melarikan diri, meski tidak yakin apakah ini ide yang bagus.



Paspor di kedutaan Spanyol

Saya telah mengajukan visa di kedutaan Spanyol di Khartoum sebelum perang pecah karena saya ingin pergi ke Spanyol.

Kemudian kedutaan ditutup karena pertempuran, staf dibawa ke luar negeri. Akibatnya, saya tidak memiliki paspor.

Saya harus membuat keputusan: saya bisa tinggal di tengah-tengah zona pertempuran sendirian, atau saya bisa melarikan diri dengan harapan saya bisa selamat tanpa paspor. Saya memilih yang terakhir.

Untuk sampai ke perbatasan Mesir, saya membutuhkan uang tunai. Itu masalah karena uang saya ada di rekening bank. ATM di kota tidak berfungsi lagi. Saya tidak bisa menarik apa pun. Saya memiliki aplikasi di ponsel yang saya gunakan untuk mengakses rekening bank, mentransfer uang, atau membayar tagihan utilitas.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1888 seconds (0.1#10.140)