Saat Ibadah Haji: Dilarang Pinangan, Akad Nikah, dan Jimak!

Selasa, 30 Mei 2023 - 14:14 WIB
loading...
Saat Ibadah Haji: Dilarang Pinangan, Akad Nikah, dan Jimak!
Saat berhaji dilarang rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Foto/Ilustrasi: MEE
A A A
Bulan-bulan haji adalah Syawal , Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah . Jika seorang Muslim telah memasuki kondisi ihram ini maka keadaannya berbeda dengan keadaan sebelumnya. Meskipun seharusnya seorang Muslim dalam kondisi istiqamah, ketakwaan dan lurus, hanya saja setelah berihram ia telah pindah ke kondisi yang lebih baik.

"Ia tidak boleh melakukan sesuatu berkait dengan kemewahan hidup yang sebelumnya diperbolehkan di luar kondisi ihram. Maka sudah sepatutnya seorang berihram itu menjauhi larangan-larangan yang bersifat umum maupun bersifat khusus di masa ihramnya," ujar Syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab Muhâdharah fil ‘Aqîdah wad Da’wah.

Allah SWT berfirman :

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي


Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. ( QS al-Baqarah/2 :197)



Kata فَرَضَ (faradha/menetapkan niat) bermakna أَحْرَمَ (ahrama/memasuki kondisi ihrâm untuk haji atau umrah). Allah menggunakan kata faradha untuk mengingatkan bahwa seorang Muhrim (orang yang ihram) wajib menjalankan nusuk (ibadah hajinya) sampai selesai dan tidak boleh membatalkannya. Meskipun nusuk (jenis ibadah) tersebut tidak wajib hukumnya sebelum seseorang memasuki kondisi ihram.

Selanjutnya, Allah melarang setiap perkara, baik perkataan maupun perbuatan, yang berlawanan dengan kondisi ihram itu sendiri. Allah SWT berfirman.

فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ


Maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. ( QS al-Baqarah/2 :197)

"Larangan ini berbentuk kalimat nafi agar lebih tegas sehingga orang akan ekstra untuk menjauhinya," jelas Syaikh Shaleh al-Fauzan.



Ar-rafats ) الرّفَثُ ) adalah bersetubuh dan hal-hal yang yang mengawalinya, seperti pandangan, sentuhan, atau memperbincangkan persoalan tentang itu. Pinangan dan akad nikah pun dilarang.

Imam Ibnu Katsîr mengatakan: Barangsiapa ihram dengan haji atau umrah hendaknya menjauhi rafats yang artinya adalah jimak, sebagaimana firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu ( QS al-Baqarah/2 :187)

Begitu pula dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi pembukanya seperti bersentuhan kulit, ciuman dan lainnya. Termasuk juga memperbincangkan masalah tersebut di hadapan kaum wanita”.

Al-Fusuq

Sementara itu, hakekat al-fusûq (الْفُسُوْقُ ) adalah perbuatan maksiat secara keseluruhan. Seorang Muslim tidak boleh berbuat maksiat di setiap waktu. Dan seorang Muhrim (yang sedang dalam ihrâm) dilarang melakukannya secara khusus. Sebab maksiat itu akan berdampak buruk terhadap ibadah hajinya. Dan lagi, dosa dalam kondisi ihrâm lebih besar.

Hal ini lantaran seorang Muhrim semestinya menyibukkan diri dengan amalan ketaatan, bukan sebaliknya. Alasan lain, seorang Muhrim benar-benar diharapkan bertaubat. Apabila tetap melakukan maksiat, berarti ia masih suka dengan maksiat yang tentunya ini bertentangan dengan ketetapan niatnya untuk berihrâm.

Sebagian ulama menafsirkan al-fusûq dengan pengertian berbuat sesuatu yang diharamkan dalam kondisi ihram. Juga terdapat penafsiran lain yang menyatakan bahwa maksudnya adalah berbuat maksiat di tanah Haram, mencela orang lain atau berkurban untuk berhala. "Semua penafsiran ini tidak saling bertolak-belakang. Kata al-fusûq mencakup semua itu," ujar Syaikh Shaleh al-Fauzan.



Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Orang yang berilmu tidak akan keliru bahwa penentuan nama fusûq dengan contoh-contoh tertentu tidak menyebabkan contoh tersebut menjadi pengertian kata al-fusûq secara khusus”.

Di antara bentuk kefasikan terbesar adalah menjadikan musim haji dan wilayah-wilayah masyâ’ir (yang dipakai untuk ibadah haji) sebagai tempat demonstrasi, meneriakkan slogan-slogan rasialis, menghidupkan kembali fanatisme jahiliyah kuno maupun mempropagandakan individu, mazhab tertentu dan mengusung foto-foto tokoh dan pemimpin negara.

Sebagaimana masyarakat jahiliyah zaman dahulu memanfaatkan musim haji untuk mengelu-elukan keluhuran dan kemuliaan nenek moyang mereka, kemenangan mereka dalan peperangan dan keberhasilan membalas kekalahan.

Al-Jidal

Syaikh Shaleh al-Fauzan menjelaskan yang dimaksud dengan al-jidâl (الْجِدَالُ) ialah al-mumârâtu (perdebatan kusir), al-munâza’ah (pertengkaran), dan al-mukhâshamah (pertikaian).

Menurutnya, jidâl dilarang karena akan memantik timbulnya keburukan-keburukan dan menjerumuskan kepada permusuhan. Padahal tujuan ibadah haji adalah terciptanya sikap merendahkan diri kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan seluruh bentuk ibadah yang memungkinkan dan menjauhi segala perbuatan jelek. Dengan itu, ia menjadi seorang yang hajinya mabrûr dan balasan bagi haji mabrur adalah jannah.

Pada dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut terlarang di setiap waktu dan tempat, dan akan menjadi kuat larangannya di masa haji.

Kendati demikian, bila perdebatan yang dilakukan dalam rangka menjelaskan kebenaran (al-haq) atau menyanggah kebatilan, bentuk perdebatan ini bukan termasuk yang terlarang, baik dalam masa haji dan lainnya. Allah SWT berfirman:

وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ


Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ( QS an-Nahl/16 :125)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2518 seconds (0.1#10.140)