Larangan Memotong Kuku dan Rambut untuk Shohibul Qurban

Senin, 19 Juni 2023 - 16:59 WIB
loading...
Larangan Memotong Kuku dan Rambut untuk Shohibul Qurban
Larangan memotong kuku dan rambut untuk shohibul qurban, bukan untuk hewan kurban. Foto/Ilustrasi: independent.co.uk.
A A A
Larangan memotong kuku dan rambut untuk shohibul qurban didasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim . Hanya saja, hadis ini memicu perdebatan di antara para ulama. Mereka berselisih apa yang dimaksud hadis tersebut untuk shahibul kurban atau hewan kurban.

Hadis tersebut berbunyi:

إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره


Jika kalian melihat hilal Dzulhijah, dan di antara kalian ada yang ingin berkurban, maka hendaklah dia menahan (tidak memotong) sebagian rambutnya dan kukunya (HR Muslim).

Ini ada perbedaan, rambutnya siapa yang tidak boleh dipotong, hewan kurbannya atau shahibul kurban? Kukunya siapa yang tidak boleh dipotong, hewannya atau shahibul kurbannya?



Berdasarkan Fatwa Tarjih Muhammadiyah , hadis di atas memberikan keterangan bahwa shahibul kurban tidak diperkenankan untuk memotong kuku dan rambut. Jadi, kata ganti (dhamir) “hu” dalam hadis ini tidak kembali ke hewan kurban, melainkan ke shahibul kurban.

Hal ini diperkuat dengan hadis lain yakni:

“Aku diperintah untuk menjadikan hari kurban sebagai hari raya yang Allah Azza wa jalla jadikan untuk umat ini, ” lalu seseorang berkata; bagaimana pendapatmu jika aku tidak mendapatkan kecuali hewan betina untuk diambil susunya, apakah aku menyembelihnya, beliau bersabda: “Tidak, tapi potonglah rambutmu, kukumu, kumismu dan bulu kemaluanmu maka itu adalah kesempurnaan kurbanmu di sisi Allah Azza wa jalla.”

Hadis di atas menginformasikan bahwa kuku dan rambut yang tidak dipotong atau dicukur merujuk kepada kuku dan rambut shahibul kurban, bukan kuku dan rambut hewan kurban.

Selain itu, hadis ini mengindikasikan bahwa membiarkan rambut dan kuku tumbuh sejak tanggal 1 Zulhijah dan kemudian mencukur dan memotongnya setelah penyembelihan hewan kurban merupakan bagian dari keutamaan dalam ibadah kurban.

Hal yang sama juga disampaikan Ahmad Nur Kholis, Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an; Pengajar di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang dan Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang.

Menurutnya, larangan ini diperuntukkan bagi orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah kurban. Bagaimana penjelasannya? Adakah kalimat larangan itu bermakna haram, makruh, atau apa? Berikut ini akan dibahas hadis tersebut dari beberapa aspeknya.

حدثنا ابن أبي عمر المكي، حدثنا سفيان، عن عبد الرحمن ابن حميد ابن عبد الرحمن ابن عوف، سمع ابن المسيب يحدث، عَن أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وأراد أحدكم أن يضحي، فلا يمس من شعره وبشره شيأ. (رواه مسلم)


Meriwayatkan hadis kepada kami Ibnu Abi Umar Al-Makky, bercerita kepada kami Sufyan, dari Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman bin Auf. Ia mendengar Ibn Al-Musayyab menceritakan dari Ummi Salamah bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda: Jika hari kesepuluh telah tiba, dan salah satu di antara kalian ingin menyembelih Kurban, maka jangan menyentuh (memotong) apa pun dari rambut pada kulit kalian. (HR Muslim, nomor 1977)



Penjelasan Dirayah

Hadis ini menjelaskan tentang larangan mencukur rambut dan memotong kuku ketika telah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah bagi orang yang hendak atau memiliki niat menyembelih kurban. Demikian pula terdapat hadits yang menjelaskan bahwa larangan ini adalah ketika memasuki hilal Dzulhijjah.

Hadis dari Ummi Salamah di atas termuat di dalam Sahih Muslim (nomor 1977), Ibnu Majah (nomor 3149), dan At-Thahwi dalam Syarh Musykil Al-Atsar (no: 5511).

"Terdapat beberapa perbedaan lafadz hadis mengenai mencukur rambut ketika hendak menyembelih ini. Adapun hadis yang dikutip di atas adalah dari Sahih Muslim," tulis Ahmad Nur Kholis dalam artikelnya berjudul "Telaah Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku jelang Kurban" yang dilansir laman resmi Nahdlatul Ulama.

Dijelaskan bahwa hikmah dari larangan ini adalah bahwa semua anggota tubuh kita sekecil apa pun akan diselamatkan dari api neraka. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa larangan tersebut untuk menyerupai (tasybih) larangan bagi orang yang sedang ihram untuk menyembelih dan berburu hewan apa pun.

Akan tetapi kalangan Syafiiyyah mengatakan bahwa pendapat terakhir ini adalah salah. Karena alasan seperti: pada saat ihram kita diperintahkan untuk tidak memakai wewangian, namun dalam berkurban tidak demikian. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj: 1257).



Implikasi Hukum Fiqih dari Hadis ini

Ahmad Nur Kholis menjelaskan hukum fiqih didasarkan kepada adanya perintah (amr) atau larangan (nahy) di dalam suatu nash baik Al-Qur’an maupun hadis.

Dari adanya redaksi perintah atau larangan tersebut lalu kita akan meneliti lebih lanjut tentang apakah perintah tersebut menyatakan kewajiban, anjuran, atau kebolehan.

Dari redaksi larangan, kita akan dapat meneliti lebih lanjut apakah larangan itu masuk ke dalam pernyataan haram, atau makruh. Tentunya kesemuanya itu berdasarkan dalil petunjuk (qarinah) yang ada setelah memperbandingkan dengan nash-nash (ayat atau hadits yang lain).

Di dalam kasus teks hadis di atas sebagaimana dikutip dari Sahih Muslim di atas, terdapat larangan yang menyatakan: ـ.... فلا يمس من شعره وبشره شيأ Artinya: ".... maka jangan menyentuh (memotong) sesuatu apa pun dari rambut dan kulitnya."

Apa konsekuensi hukum dari larangan memotong rambut (dan semua rambut di tubuh) ini? Adakah ia menghendaki haram ataukah makruh?

Dari sini terdapat perbedaan pendapat para ulama: Abu Hanifah berpendapat tidak makruh. Imam Malik berpendapat tidak makruh dalam suatu riwayat, dan menyatakan makruh dalam riwayat yang lain. Imam Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa hal tersebut adalah makruh (makruh tanzih) dan bukanlah haram.

Imam Ahmad, Ishaq bin Rawaih, Abi Dawud, dan sebagian dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya adalah haram. Keharamannya ini sampai selesai ia disembelihnya hewan kurban. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj: 1257)

Pendapat yang menyatakan haram didasarkan kepada beberapa hadis (An-Nawawi: 1257). Pendapat ini juga mengambil hukum asal dari larangan, yaitu haram. Dan dengan demikian membatalkan qiyas.



Di samping itu para ulama yang mengatakan makruh adalah dengan jalan memperbandingkan hadis Aisyah yang sifatnya umum. Adapun hadis dalam masalah ini adalah hadis khusus yang harus didahulukan.

Al-Atsyubi di dalam Syarah Sunan Nasai mengatakan: “Tuntutan dari larangan itu (pada dasarnya) adalah haram. Dan ini membatalkan qiyas. Sedang hadis mereka (yang menyatakan makruh) adalah hadis yang umum. Sedang hadis (tentang larangan mencukur rambut) ini adalah hadis khusus yang harus didahulukan. Dengan menghilangkan keumuman atas yang selain apa yang dikhususkan oleh hadis khusus. (Al-Atsyubi (33), hlm277)

Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan tidak makruh memiliki alasan tersendiri. Hal ini menyatakan konsekuensi logisnya bahwa mengikuti anjuran hadis tersebut di atas adalah juga tidak mustahab (sunnah).

Alasannya, bagi Imam Abu Hanifah, kemakruhan dan keharaman sesuatu itu hanya bisa diputuskan dengan dalil khusus yang menyatakan hal itu (As-Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, 1: 52).

Dengan demikian, Imam Abu Hanifah menyamakan implikasi hukum dari hadis di atas adalah sebagaimana perintah makan dan minum dalam ayat yang berimplikasi pada hukum mubah.

Sedangkan Imam Syafi’i yang menyatakan makruh tanzih didasarkan kepada hadis lain dalam Sahih al-Bukhari:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: (كنت أفتل قلائد هدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحل الله حتى ينحر هديه) رواه البخارى ومسلم


Artinya: Dari Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Saya memintal tali kekang unta Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah mengalungkan tali itu dan mengirimkannya. Serta Nabi tidak mengharamkan sesuatu apa pun yang dihalalkan oleh Allah hingga untanya disembelih” (HR al-Bukhari dan Muslim).



Berdasarkan hadis di atas, secara qiyas aulawiyyah Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengirimkan unta itu lebih kuat dari sekadar menginginkan berkurban (unta).

Sedangkan mengirimkan saja Nabi tidak mengharamkan memotong rambut dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hadis larangan memotong rambut dan kuku sebagaimana disebutkan di atas tidak menunjukkan keharaman.

Oleh karenanya maka makna larangan dalam hadis di awal wacana ini dibawa kepada makna makruh tanzih. (An-Nawawi, hlm: 1258).

Demikian pula konsekuensi logisnya bahwa tidak memotong rambut dan kuku adalah mustahab menurut Imam Syafi’i. Karena ittiba’ terhadap nash ada dua pilihan, bisa wajib atau mustahab. Dan menentang apa yang ada di dalam nash bisa pula dua kemungkinan yaitu: haram atau makruh. Sedangkan dalam masalah hadits di atas, telah dibuktikan kemakruhan dari makna larangan tersebut. Sehingga mengikuti larangan itu hukum sebaliknya adalah mustahab (disukai). (As-Sya’rani, (1) hlm:52).

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa: Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa memotong rambut dan kuku ketika masuk tanggal 10 Dzulhijjah bagi yang hendak kurban, adalah boleh, tidak makruh dan tidak haram.

Imam Malik dalam sebagian riwayat mengatakan makruh. Akan tetapi dalam riwayat lain beliau mengatakan tidak makruh. Imam Syafi’i mengatakan makruh berdasarkah hadis dari Aisyah di dalam Shahih Bukhari. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan haram berdasarkah dzahir hadis larangan tersebut.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2128 seconds (0.1#10.140)