Meneladani Ibrahim (3): Ujian dan Kematangan Hidup
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Keteladanan Nabi Ibrahim berikutnya adalah bahwa hidup ini merupakan perjalanan dari satu titik ke titik yang sama. Bagaikan tawaf, berputar berkeliling dengan irama dan tujuan yang sama. Namun perlu diingat, Ka'bah harus selalu menjadi sentra perputaran itu.
Allah harus menjadi pusat perputaran hidup manusia. Kaya atau miskin Allah menjadi pusat kehidupan. Kuat atau lemah Allah menjadi pusat kehidupan. Merasakan kemudahan atau kesulitan hidup Allah tetap menjadi pusat kehidupan.
Ibrahim sendiri menegaskan bahwa dirinya terus bergerak menuju kepada Allah:
اني ذاهب الي ربي
"Sesungguhnya aku berjalan menuju Tuhanku."
Realita hidup yang demikian menuntut kematangan atau kedewasaan dalam menjalaninya. Tanpa kedewasaan manusia akan menjadi cengeng dan lemah. Untuk menumbuhkan kematangan dan kedewasaan hidup itulah manusia akan ditempa dengan berbagai ujian.
Di sinilah Ibrahim tampil sebagai sosok tauladan yang sangat luar biasa. Beliau mengalami tempaan itu dari awal perjalanan hidupnya hingga mencapai puncak kematangannya. Ragam bentuk ujian yang Allah SWT berikan kepada Ibrahim itu bukan karena ketidaksukaan. Tapi karena kecintaan-Nya kepadanya. Ibrahim sendiri adalah sosok hamba-Nya yang dijuluki "khalilullah" (kekasih Allah).
Dari ujian keluarga, sahabat hingga ujian publik dan kekuasaan. Ujian yang bersifat emosional, spiritual keimanan, hingga kepada yang bersifat fisikal dan material. Cobaan besar pertama yang Ibrahim harus lalui adalah ketika menyampaikan kebenaran kepada masyarakatnya. Dengan caranya Ibrahim berjuang menegakkan Kalimah Tauhid, beliau ditangkap bahkan dieksekusi dengan hukuman mati.
Tapi kematangan mentalitas dalam keimanan yang solid itu tidak menjadikannya gentar sedikitpun. Di saat tawaran bantuan para malaikat silih berganti, semuanya ditampik dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah yang punya kuasa sejati.
Dengan keyakinan inilah Allah memerintahkan api yang menggunung itu menjadi dingin bahkan menyenangkan bagi Ibrahim:
يا نار كوني بردا و سلاما علي ابراهيم
"(Wahai api, dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim)."
Kuasa Allah berlaku. Api yang panas menjadi dingin bahkan menyenangkan Ibrahim dengan kuasaNya. Sebuah peristiwa yang melampaui daya nalar manusia yang kerap dibatasi oleh segala keterbatasaannya.
Skill Komunikasi dalam Berdakwah
Ada sebuah catatan menarik yang terjadi ketika terjadi dialog antara sang raja dan Ibrahim sebelum eksekusi itu terjadi: "Kamukah yang merusak tuhan-tuhan kami Wahai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Tapi patung besar itulah sendiri yang melakukannya. Tanyakan kepadanya jika mereka mampu berbicara."
Sang raja menjawab: "Engkau tahu kalau mereka itu tidak berbicara."
Yang segera direspons oleh Ibrahim dengan kecerdikan dan logika: "Lalu wajarkah kalian menyembah mereka selain Allah? Sedangkan mereka tidak memberi manfaat apa-apa?"
Pelajaran terpenting dari dialog antara Ibrahim dan raja itu adalah bahwa seorang Muslim, apalagi para ulama dan Dai harus memiliki ketajaman logika, sekaligus kapabilitas dalam mengkomunikasikan kebenaran.
Kelemahan logika dan ketidakmampuan mengkomunikasikan kebenaran melahirkan Dai-dai yang kerap bermain dogma, mudah menyalahkan, bahkan mengkafirkan. Yang lebih berbahaya lagi ketika para Dai melakukan dakwah dengan metode bolduzer. Menghancurkan segala harapan hidayah atas nama dakwah. Bahkan lebih berbahaya meruntuhkan keindahan wajah Islam itu sendiri.
(bersambung)!
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Keteladanan Nabi Ibrahim berikutnya adalah bahwa hidup ini merupakan perjalanan dari satu titik ke titik yang sama. Bagaikan tawaf, berputar berkeliling dengan irama dan tujuan yang sama. Namun perlu diingat, Ka'bah harus selalu menjadi sentra perputaran itu.
Allah harus menjadi pusat perputaran hidup manusia. Kaya atau miskin Allah menjadi pusat kehidupan. Kuat atau lemah Allah menjadi pusat kehidupan. Merasakan kemudahan atau kesulitan hidup Allah tetap menjadi pusat kehidupan.
Ibrahim sendiri menegaskan bahwa dirinya terus bergerak menuju kepada Allah:
اني ذاهب الي ربي
"Sesungguhnya aku berjalan menuju Tuhanku."
Realita hidup yang demikian menuntut kematangan atau kedewasaan dalam menjalaninya. Tanpa kedewasaan manusia akan menjadi cengeng dan lemah. Untuk menumbuhkan kematangan dan kedewasaan hidup itulah manusia akan ditempa dengan berbagai ujian.
Di sinilah Ibrahim tampil sebagai sosok tauladan yang sangat luar biasa. Beliau mengalami tempaan itu dari awal perjalanan hidupnya hingga mencapai puncak kematangannya. Ragam bentuk ujian yang Allah SWT berikan kepada Ibrahim itu bukan karena ketidaksukaan. Tapi karena kecintaan-Nya kepadanya. Ibrahim sendiri adalah sosok hamba-Nya yang dijuluki "khalilullah" (kekasih Allah).
Dari ujian keluarga, sahabat hingga ujian publik dan kekuasaan. Ujian yang bersifat emosional, spiritual keimanan, hingga kepada yang bersifat fisikal dan material. Cobaan besar pertama yang Ibrahim harus lalui adalah ketika menyampaikan kebenaran kepada masyarakatnya. Dengan caranya Ibrahim berjuang menegakkan Kalimah Tauhid, beliau ditangkap bahkan dieksekusi dengan hukuman mati.
Tapi kematangan mentalitas dalam keimanan yang solid itu tidak menjadikannya gentar sedikitpun. Di saat tawaran bantuan para malaikat silih berganti, semuanya ditampik dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah yang punya kuasa sejati.
Dengan keyakinan inilah Allah memerintahkan api yang menggunung itu menjadi dingin bahkan menyenangkan bagi Ibrahim:
يا نار كوني بردا و سلاما علي ابراهيم
"(Wahai api, dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim)."
Kuasa Allah berlaku. Api yang panas menjadi dingin bahkan menyenangkan Ibrahim dengan kuasaNya. Sebuah peristiwa yang melampaui daya nalar manusia yang kerap dibatasi oleh segala keterbatasaannya.
Skill Komunikasi dalam Berdakwah
Ada sebuah catatan menarik yang terjadi ketika terjadi dialog antara sang raja dan Ibrahim sebelum eksekusi itu terjadi: "Kamukah yang merusak tuhan-tuhan kami Wahai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Tapi patung besar itulah sendiri yang melakukannya. Tanyakan kepadanya jika mereka mampu berbicara."
Sang raja menjawab: "Engkau tahu kalau mereka itu tidak berbicara."
Yang segera direspons oleh Ibrahim dengan kecerdikan dan logika: "Lalu wajarkah kalian menyembah mereka selain Allah? Sedangkan mereka tidak memberi manfaat apa-apa?"
Pelajaran terpenting dari dialog antara Ibrahim dan raja itu adalah bahwa seorang Muslim, apalagi para ulama dan Dai harus memiliki ketajaman logika, sekaligus kapabilitas dalam mengkomunikasikan kebenaran.
Kelemahan logika dan ketidakmampuan mengkomunikasikan kebenaran melahirkan Dai-dai yang kerap bermain dogma, mudah menyalahkan, bahkan mengkafirkan. Yang lebih berbahaya lagi ketika para Dai melakukan dakwah dengan metode bolduzer. Menghancurkan segala harapan hidayah atas nama dakwah. Bahkan lebih berbahaya meruntuhkan keindahan wajah Islam itu sendiri.
(bersambung)!
(rhs)