Meneladani Ibrahim (2): Kesungguhan dalam Proses Mencari Hidayah
loading...
A
A
A
Keteladanan pertama dari sejarah perjalanan hidup Nabi Ibrahim 'alaihissalam adalah bahwa dalam proses menemukan mutiara iman diperlukan pencarian yang sungguh-sungguh. Tapi dengan kesungguhan dua instrumen yang Allah berikan kepada manusia: akal dan hati.
Kesungguhan hati itulah yang diekspresikan dalam Al-Qur'an :
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين
"Dan mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsinin."
Tapi manusia juga diciptakan dengan daya nalar. Karenanya pada diri manusia ada kuriositas (keingintahuan) yang tinggi. Karenanya, proses menemukan hakikat iman memerlukan rasionalitas yang tajam pula. Kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim di tengah rimba kuriositasnya (keingin tahuan) itu dikisahkan secara cantik dalam Al-Quran, Surah Al-An'am: 76-79.
Dari proses analisa dan pengamatan panjang melalui metode at-tafkiir fil-khalq, dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari, pada akhirnya mengantar Ibrahim sampai kepada kesimpulan:
اني وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين
"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, menerima agama yang lurus. Dan aku tidaklah Aku termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya."
Maka keyakinan bukanlah perasaan atau bentuk emosi semata. Tapi sebuah kemantapan jiwa melalui cerna rasionalitas yang kokoh. Keimanan yang dilandasi oleh rasa emosi semata akan melahirkan karakter keagamaan yang sempit, dan kerap kali melahirkan prilaku emosional, bahkan irrational yang destruktif.
Di sinilah rahasianya kenapa ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada baginda Rasul adalah perintah untuk memaksimalkan daya nalar. Perintah membaca: اقرأ (iqra').
Rasionalitas sesungguhnya memang menjadi salah satu karakter ajaran Islam, sekaligus kunci kekuatannya. Dengan pemikiran dan rasionalitas yang luas akan tumbuh al-Yaqiin atau keyakinan hati yang solid.
Suasana hati dengan keyakinan seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Qur'an:
كشجرةطيبة اصلها ثابت وفرعها في السماء تؤتي أكلها كل حين باذن ربها
"Bagaikan pohon yang bagus, akarnya menghunjam ke dalam tanah, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya."
Sungguh di zaman sekarang ini umat dituntut untuk membangun keseimbangan iman dan rasionalitas. Berbagai prilaku destruktif yang terjadi akhir-akhir ini seringkali disebabkan oleh emosi yang terimbangi oleh pemikiran yang rasional.
Keimanan yang solid melahirkan kekuatan dan kematangan hidup. Rasionalitas berpikir yang sehat melahirkan kedewasaan dan kebijaksanaan (hikmah) dalam berpikir dan bersikap. Saya sangat yakin, bangsa dan dunia kita saat ini memerlukan manusia-manusia seperti ini.
Mereka itulah manusia-manusia Ulul al-Baab. Solid dan mapan hatinya, tajam daya nalarnya. Mereka ini yang digambarkan dalam Al-Qur'an:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض.
"Mereka yang mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dan mereka yang memikirkan ciptaan Allah, baik yang di langit maupun yang dibumi."
(Bersambung)!
Kesungguhan hati itulah yang diekspresikan dalam Al-Qur'an :
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين
"Dan mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsinin."
Tapi manusia juga diciptakan dengan daya nalar. Karenanya pada diri manusia ada kuriositas (keingintahuan) yang tinggi. Karenanya, proses menemukan hakikat iman memerlukan rasionalitas yang tajam pula. Kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim di tengah rimba kuriositasnya (keingin tahuan) itu dikisahkan secara cantik dalam Al-Quran, Surah Al-An'am: 76-79.
Dari proses analisa dan pengamatan panjang melalui metode at-tafkiir fil-khalq, dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari, pada akhirnya mengantar Ibrahim sampai kepada kesimpulan:
اني وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين
"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, menerima agama yang lurus. Dan aku tidaklah Aku termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya."
Maka keyakinan bukanlah perasaan atau bentuk emosi semata. Tapi sebuah kemantapan jiwa melalui cerna rasionalitas yang kokoh. Keimanan yang dilandasi oleh rasa emosi semata akan melahirkan karakter keagamaan yang sempit, dan kerap kali melahirkan prilaku emosional, bahkan irrational yang destruktif.
Di sinilah rahasianya kenapa ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada baginda Rasul adalah perintah untuk memaksimalkan daya nalar. Perintah membaca: اقرأ (iqra').
Rasionalitas sesungguhnya memang menjadi salah satu karakter ajaran Islam, sekaligus kunci kekuatannya. Dengan pemikiran dan rasionalitas yang luas akan tumbuh al-Yaqiin atau keyakinan hati yang solid.
Suasana hati dengan keyakinan seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Qur'an:
كشجرةطيبة اصلها ثابت وفرعها في السماء تؤتي أكلها كل حين باذن ربها
"Bagaikan pohon yang bagus, akarnya menghunjam ke dalam tanah, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya."
Sungguh di zaman sekarang ini umat dituntut untuk membangun keseimbangan iman dan rasionalitas. Berbagai prilaku destruktif yang terjadi akhir-akhir ini seringkali disebabkan oleh emosi yang terimbangi oleh pemikiran yang rasional.
Keimanan yang solid melahirkan kekuatan dan kematangan hidup. Rasionalitas berpikir yang sehat melahirkan kedewasaan dan kebijaksanaan (hikmah) dalam berpikir dan bersikap. Saya sangat yakin, bangsa dan dunia kita saat ini memerlukan manusia-manusia seperti ini.
Mereka itulah manusia-manusia Ulul al-Baab. Solid dan mapan hatinya, tajam daya nalarnya. Mereka ini yang digambarkan dalam Al-Qur'an:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض.
"Mereka yang mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dan mereka yang memikirkan ciptaan Allah, baik yang di langit maupun yang dibumi."
(Bersambung)!
(rhs)