5 Konsep Pemerataan dalam Ekonomi Islam Menurut Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Islam menuntut kepada setiap orang yang mampu bekerja hendaklah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam kerjanya, sehingga ia dapat mencukupi dirinya dan keluarganya. Hanya saja, ada di antara anggota masyarakat yang tidak mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan.
Di sisi lain, ada juga yang mampu bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber ma'isyah mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk mempersiapkan lapangan kerja yang sesuai bagi mereka.
Ada pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya saja pemasukan mereka belum mencukupi standar yang layak, karena sedikitnya pemasukan (income) atau banyaknya keluarga yang ditanggung atau mahalnya harga barang atau karena sebab-sebab yang lain.
Lalu, bagaimana peran sistem Islam terhadap mereka itu? Apakah akan membiarkan mereka untuk menjadi umpan kemiskinan dan kebutuhan yang siap menerkamnya? Atau memberikan solusi terhadap problematika mereka?
"Jelas bahwa sistem Islam tidak membiarkan mereka menjadi miskin dan terlantar, tetapi berupaya mewujudkan bagi mereka kehidupan yang layak," ujar Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyebut di antaranya dengan konsep-konsep berikut ini:
1. Memberikan nafkah kepada sanak kerabat
Islam telah mewajibkan atas seseorang yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada keluarganya yang membutuhkan, sebagai bentuk silaturrahim dan pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknnya kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan." ( QS Al Isra' : 26)
Barangsiapa yang tidak melaksanakan kewajiban ini untuk keluarganya, maka ia terkena hukuman. Adapun mengenai syarat-syarat memberikan nafkah, ukurannya, siapa yang wajib dan siapa yang tidak wajib, para fugaha' mempunyai rincian yang detail mengenai ini semua. Kita bisa menunjuk dalam bab "Nafaqaat" dari kitab-kitab fiqih yang ada.
2. Kewajiban zakat
Zakat merupakan faridhah maliyah (kewajiban berkenaan dengan harta) dan bersifat sosial. Dia merupakan rukun yang ketiga dari rukun Islam.
Barangsiapa yang tidak mau menunaikan zakat karena pelit maka ia dita'zir (hukuman yang mendidik) atau diambil secara paksa. Apabila ia memiliki kekuatan untuk melawan, maka diperangi sampai takluk dan mau melaksanakannya.
Apabila secara terang-terangan ia mengingkari akan wajibnya, sedang dia bukan orang yang baru dalam berislam, maka pantaslah dihukumi murtad dan keluar dari agama Islam.
Harus dipahami bahwa zakat bukanlah hibah (pemberian) seorang kaya raya kepada si fakir, sama sekali bukan. Akan tetapi itu merupakan hak yang pasti bagi si fakir dan kewajiban atas para muzakki tempat daulah (negara) berwenang untuk memungutnya, kemudian membagikannya kepada yang berhak menerimanya melalui para pegawai zakat yang di sebut dengan istilah "Badan Amil Zakat."
Oleh karena itulah Rasulullah SAW mengatakan, "Dipungut dari aghniya' (orang-orang kaya) mereka (kaum Muslimin), kemudian diberikan kepada fuqara' (kaum Muslimin)" sehingga seakan seperti pajak yang dipungut, bukan tathawwu' (sedekah) yang diberikan dengan kerelaan hati.
Zakat dalam banyak hal berbeda dengan pajak yang diambil dari para pekerja dan usahawan sampai para pedagang kaki lima para pegawai untuk membiayai kepentingan pemerintah dan perangkatnya. "Sering kita lihat bahwa dalam praktiknya pajak itu diambil dari kaum fuqara' untuk diberikan kepada aghiya'," ujar al-Qardhawi.
Di sisi lain, ada juga yang mampu bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber ma'isyah mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk mempersiapkan lapangan kerja yang sesuai bagi mereka.
Ada pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya saja pemasukan mereka belum mencukupi standar yang layak, karena sedikitnya pemasukan (income) atau banyaknya keluarga yang ditanggung atau mahalnya harga barang atau karena sebab-sebab yang lain.
Lalu, bagaimana peran sistem Islam terhadap mereka itu? Apakah akan membiarkan mereka untuk menjadi umpan kemiskinan dan kebutuhan yang siap menerkamnya? Atau memberikan solusi terhadap problematika mereka?
"Jelas bahwa sistem Islam tidak membiarkan mereka menjadi miskin dan terlantar, tetapi berupaya mewujudkan bagi mereka kehidupan yang layak," ujar Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi menyebut di antaranya dengan konsep-konsep berikut ini:
1. Memberikan nafkah kepada sanak kerabat
Islam telah mewajibkan atas seseorang yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada keluarganya yang membutuhkan, sebagai bentuk silaturrahim dan pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknnya kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan." ( QS Al Isra' : 26)
Barangsiapa yang tidak melaksanakan kewajiban ini untuk keluarganya, maka ia terkena hukuman. Adapun mengenai syarat-syarat memberikan nafkah, ukurannya, siapa yang wajib dan siapa yang tidak wajib, para fugaha' mempunyai rincian yang detail mengenai ini semua. Kita bisa menunjuk dalam bab "Nafaqaat" dari kitab-kitab fiqih yang ada.
2. Kewajiban zakat
Zakat merupakan faridhah maliyah (kewajiban berkenaan dengan harta) dan bersifat sosial. Dia merupakan rukun yang ketiga dari rukun Islam.
Barangsiapa yang tidak mau menunaikan zakat karena pelit maka ia dita'zir (hukuman yang mendidik) atau diambil secara paksa. Apabila ia memiliki kekuatan untuk melawan, maka diperangi sampai takluk dan mau melaksanakannya.
Apabila secara terang-terangan ia mengingkari akan wajibnya, sedang dia bukan orang yang baru dalam berislam, maka pantaslah dihukumi murtad dan keluar dari agama Islam.
Harus dipahami bahwa zakat bukanlah hibah (pemberian) seorang kaya raya kepada si fakir, sama sekali bukan. Akan tetapi itu merupakan hak yang pasti bagi si fakir dan kewajiban atas para muzakki tempat daulah (negara) berwenang untuk memungutnya, kemudian membagikannya kepada yang berhak menerimanya melalui para pegawai zakat yang di sebut dengan istilah "Badan Amil Zakat."
Oleh karena itulah Rasulullah SAW mengatakan, "Dipungut dari aghniya' (orang-orang kaya) mereka (kaum Muslimin), kemudian diberikan kepada fuqara' (kaum Muslimin)" sehingga seakan seperti pajak yang dipungut, bukan tathawwu' (sedekah) yang diberikan dengan kerelaan hati.
Zakat dalam banyak hal berbeda dengan pajak yang diambil dari para pekerja dan usahawan sampai para pedagang kaki lima para pegawai untuk membiayai kepentingan pemerintah dan perangkatnya. "Sering kita lihat bahwa dalam praktiknya pajak itu diambil dari kaum fuqara' untuk diberikan kepada aghiya'," ujar al-Qardhawi.