Bingung Ikut Jemaah yang Mana? Ini Jawaban Ustaz Ahmad Sarwat
loading...
A
A
A
Seorang jemaah bertanya kepada Ustaz Ahmad Sarwat tentang jemaah atau golongan mana yang harus diikuti agar selamat dunia akhirat. Jemaah tersebut kebingungan lantaran saat ini banyak golongan jemaah muslim seperti Salafiyah, Tarbiyah, jamaah Tabligh dan lainnya.
Dai yang juga pendiri Rumah Fiqih Indonesia memberi jawaban singkat yang mencerahkan sebagaimana dilansir dari rumahfiqih. Kata Ustaz Ahmad Sarwat, jemaah muslim di masa Rasulullah ï·º hanya ada satu saja. Tidak ada umat muslim yang bingung masa itu karena mereka langsung dipimpin manusia mulia, baginda Nabi Muhammad ï·º.
Sedangkan masa sekarang umat muslim sudah begitu banyak. Bahkan populasinya mencapai 1,5 miliar lebih. Masing-masing mengaku jemaah paling benar, paling dekat dengan Nabi, paling lurus, paling istiqamah dan lain. Mirisnya, satu jemaah dengan jemaah lain saling menjelekkan dan saling membongkar kejelekan sesama muslin.
Muncul pertanyaan, seperti apakah jemaah muslimin yang ideal saat ini? Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan jawabannya bisa ada bisa tidak. Kalau sekadar jamaah muslimin, tentu ada. Tapi kalau yang ideal, rasanya belum.
"Tidak benar logika yang mengatakan kalau seorang muslim tidak ikut kelompok tertentu, dianggap telah kafir atau bukan muslim. Juga keliru pemahaman yang mengatakan bahwa siapa yang keluar dari suatu kelompok, maka dia telah keluar dari jamaah. Dan kalau keluar dari jamaah, maka keluar pula dari Islam. Dan kalau keluar dari Islam, maka halal darahnya, lalu matinya mati jahiliyah. Ini adalah cara pandang yang sesat dan tak bisa dibenarkan," terang Ustaz Sarwat.
Yang benar, lanjut Ustaz Sarwat, semua muslim di dunia sekarang ini adalah bagian dari jemaah muslimin. Dan jamaah muslimin tetap masih ada, cuma wujudnya kurang ideal. Kurang idealnya disebabkan berbagai faktor, di antaranya:
1. Keawaman Umat Islam Terhadap Agamanya (Al-Jahlu Anil Islam)
Di dalam tubuh jamaah muslimin saat ini masih banyak orang Islam yang kurang mendapatkan akses untuk mengenal dan mendalami syariat Islam. Secara status sudah muslim dan bagian dari jamaah muslimin, tetapi secara kualitas, masih banyak yang harus diperbaiki.
Masih begitu banyaknya umat Islam yang belum bisa shalat, tidak mengerti tata cara wudhu, mandi janabah, hukum najis dan detail-detail syariah yang lain. Jangankan mengerti tafsir Al-Qur'an, membacanya saja pun masih terbata-bata dan tidak bisa-bisa.
Kemajuan ilmu-ilmu syariah di masa lalu dan warisan jutaan jilid kitab, tinggal kenangan manis saja. Para ulama sudah wafat duluan dipanggil Allah, yang tersisa hanya tokoh-tokoh agama tanpa ilmu. Penampilan luar memang agak mirip dengan ulama, tetapi ilmunya kosong. Majelis ilmu kemudian bermetamorfosis menjadi panggung lawak dan hiburan, walaupun masih ada bau-bau pengajian.
Bahasa Arab tidak dipakai lagi, bahkan para ustaz, kiyai, penceramah dan tokoh-tokoh agama pun tidak bisa berbahasa Arab. Maka mustahil mereka punya akses terhadap ilmu-ilmu syariah yang menjadi warisan tak ternilai harganya, karena mereka buta huruf dan tidak paham bahasanya.
Sekolah Islam dan kampus milik umat Islam sudah tidak lagi mengajarkan detail syariah, kurikulumnya sudah lama berganti dengan kurikulum yang rendah mutunya. Wajar kalau alumni dan lulusannya masih terbilang sangat awam. Lalu bagaimana dengan sekolah dan kampus umum? Tentu jauh lebih awam lagi.
Penghafal Quran masih cukup banyak, bahkan qari' dan qari'ah yang suaranya merdu dan nafasnya panjang masih terus bermunculan lewat beragam MTQ. Sayangnya, jarang sekali kita temukan tempat dilahirkannya para mufassir yang mengerti hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
2. Terurainya Tali Persaudaraan (Al-Furqah wa At-Tafakkuk wa Inhilalurrawabith)
Salah satu hambatan utama dalam tubuh jemaah muslimin sekarang ini adalah adanya perpecahan internal umat Islam sendiri. Tiap orang yang punya massa bikin kelompok sendiri-sendiri, masing-masing membanggakan kelompoknya dan menjelekkan kelompok lain.
Berkelompok itu tidak dilarang, tetapi saling menjelekkan itu haram, apalagi saling menyakiti dan merasa paling besar sendiri, jauh lebih haram lagi. Berbagai kelompok umat Islam itu kadang dimotori oleh elit yang rajin memprovokasi anggotanya agar selalu membanggakan diri. Slogannya adalah "mari kita besarkan kelompok kita".
Perjuangan dan jihad yang dilakukan bukan lagi semata demi keseluruhan umat Islam, tetapi dibatasi hanya untuk kelompoknya saja. Memperjuangkan kelompok sudah dianggap memperjuangkan Islam. Konyolnya, menggebuki kelompok lain, juga dianggap jihad dan perjuangan.
Masing-masing kelompok mendirikan amil zakat dan lembaga infaq sendiri-sendiri. Biar kalau ada yang berzakat, infaq atau sedekah, bantuannya tidak disalurkan kepada semua umat Islam, tetapi khusus hanya untuk fakir miskin yang berafiliasi kepada kelompoknya.
Bahkan tiap kelompok mendirikan lembaga fatwa sendiri-sendiri. Lembaga ini tidak didirikan demi kepentingan seluruh umat Islam, tetapi khusus hanya untuk kepentingan kelompok. Prinsip yang berkembang adalah jam'iyah qabla islam. Untuk kepentingan kelompok kita dulu, baru nanti kalau ada sisanya buat di luar kelompok.
3. Elit Berebutan Kekuasaan Duniawi (Mushara'atul Hukkam 'alad-Dunia)
Umat Islam semakin lemah lagi ketika para penguasa dan elitnya tidak pernah berhenti dari memperebutkan jabatan dan kursi kekuasaan. Alasannya kadang lucu dan aneh, logikanya pun susah dipahami.
Kalau bukan saya yang jadi penguasa, maka penguasa lain pasti kafir atau sekuler. Maka apapun yang terjadi, saya harus jadi penguasa. Karena cuma saya satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menjamin tegaknya Islam. Tanpa saya, Islam akan hancur. Bila saya tidak berkuasa, Islam pasti lenyap.
Sekilas kalimat di atas sangat menyentuh, ngakunya si calon penguasa ingin menegakkan Islam dan hukum-hukumnya. Tetapi ketika ada syarat bahwa yang berkuasa itu harus dirinya dan tidak boleh orang lain, maka kalimat itu jadi amat memalukan.
Dai yang juga pendiri Rumah Fiqih Indonesia memberi jawaban singkat yang mencerahkan sebagaimana dilansir dari rumahfiqih. Kata Ustaz Ahmad Sarwat, jemaah muslim di masa Rasulullah ï·º hanya ada satu saja. Tidak ada umat muslim yang bingung masa itu karena mereka langsung dipimpin manusia mulia, baginda Nabi Muhammad ï·º.
Sedangkan masa sekarang umat muslim sudah begitu banyak. Bahkan populasinya mencapai 1,5 miliar lebih. Masing-masing mengaku jemaah paling benar, paling dekat dengan Nabi, paling lurus, paling istiqamah dan lain. Mirisnya, satu jemaah dengan jemaah lain saling menjelekkan dan saling membongkar kejelekan sesama muslin.
Muncul pertanyaan, seperti apakah jemaah muslimin yang ideal saat ini? Ustaz Ahmad Sarwat mengatakan jawabannya bisa ada bisa tidak. Kalau sekadar jamaah muslimin, tentu ada. Tapi kalau yang ideal, rasanya belum.
"Tidak benar logika yang mengatakan kalau seorang muslim tidak ikut kelompok tertentu, dianggap telah kafir atau bukan muslim. Juga keliru pemahaman yang mengatakan bahwa siapa yang keluar dari suatu kelompok, maka dia telah keluar dari jamaah. Dan kalau keluar dari jamaah, maka keluar pula dari Islam. Dan kalau keluar dari Islam, maka halal darahnya, lalu matinya mati jahiliyah. Ini adalah cara pandang yang sesat dan tak bisa dibenarkan," terang Ustaz Sarwat.
Yang benar, lanjut Ustaz Sarwat, semua muslim di dunia sekarang ini adalah bagian dari jemaah muslimin. Dan jamaah muslimin tetap masih ada, cuma wujudnya kurang ideal. Kurang idealnya disebabkan berbagai faktor, di antaranya:
1. Keawaman Umat Islam Terhadap Agamanya (Al-Jahlu Anil Islam)
Di dalam tubuh jamaah muslimin saat ini masih banyak orang Islam yang kurang mendapatkan akses untuk mengenal dan mendalami syariat Islam. Secara status sudah muslim dan bagian dari jamaah muslimin, tetapi secara kualitas, masih banyak yang harus diperbaiki.
Masih begitu banyaknya umat Islam yang belum bisa shalat, tidak mengerti tata cara wudhu, mandi janabah, hukum najis dan detail-detail syariah yang lain. Jangankan mengerti tafsir Al-Qur'an, membacanya saja pun masih terbata-bata dan tidak bisa-bisa.
Kemajuan ilmu-ilmu syariah di masa lalu dan warisan jutaan jilid kitab, tinggal kenangan manis saja. Para ulama sudah wafat duluan dipanggil Allah, yang tersisa hanya tokoh-tokoh agama tanpa ilmu. Penampilan luar memang agak mirip dengan ulama, tetapi ilmunya kosong. Majelis ilmu kemudian bermetamorfosis menjadi panggung lawak dan hiburan, walaupun masih ada bau-bau pengajian.
Bahasa Arab tidak dipakai lagi, bahkan para ustaz, kiyai, penceramah dan tokoh-tokoh agama pun tidak bisa berbahasa Arab. Maka mustahil mereka punya akses terhadap ilmu-ilmu syariah yang menjadi warisan tak ternilai harganya, karena mereka buta huruf dan tidak paham bahasanya.
Sekolah Islam dan kampus milik umat Islam sudah tidak lagi mengajarkan detail syariah, kurikulumnya sudah lama berganti dengan kurikulum yang rendah mutunya. Wajar kalau alumni dan lulusannya masih terbilang sangat awam. Lalu bagaimana dengan sekolah dan kampus umum? Tentu jauh lebih awam lagi.
Penghafal Quran masih cukup banyak, bahkan qari' dan qari'ah yang suaranya merdu dan nafasnya panjang masih terus bermunculan lewat beragam MTQ. Sayangnya, jarang sekali kita temukan tempat dilahirkannya para mufassir yang mengerti hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
2. Terurainya Tali Persaudaraan (Al-Furqah wa At-Tafakkuk wa Inhilalurrawabith)
Salah satu hambatan utama dalam tubuh jemaah muslimin sekarang ini adalah adanya perpecahan internal umat Islam sendiri. Tiap orang yang punya massa bikin kelompok sendiri-sendiri, masing-masing membanggakan kelompoknya dan menjelekkan kelompok lain.
Berkelompok itu tidak dilarang, tetapi saling menjelekkan itu haram, apalagi saling menyakiti dan merasa paling besar sendiri, jauh lebih haram lagi. Berbagai kelompok umat Islam itu kadang dimotori oleh elit yang rajin memprovokasi anggotanya agar selalu membanggakan diri. Slogannya adalah "mari kita besarkan kelompok kita".
Perjuangan dan jihad yang dilakukan bukan lagi semata demi keseluruhan umat Islam, tetapi dibatasi hanya untuk kelompoknya saja. Memperjuangkan kelompok sudah dianggap memperjuangkan Islam. Konyolnya, menggebuki kelompok lain, juga dianggap jihad dan perjuangan.
Masing-masing kelompok mendirikan amil zakat dan lembaga infaq sendiri-sendiri. Biar kalau ada yang berzakat, infaq atau sedekah, bantuannya tidak disalurkan kepada semua umat Islam, tetapi khusus hanya untuk fakir miskin yang berafiliasi kepada kelompoknya.
Bahkan tiap kelompok mendirikan lembaga fatwa sendiri-sendiri. Lembaga ini tidak didirikan demi kepentingan seluruh umat Islam, tetapi khusus hanya untuk kepentingan kelompok. Prinsip yang berkembang adalah jam'iyah qabla islam. Untuk kepentingan kelompok kita dulu, baru nanti kalau ada sisanya buat di luar kelompok.
3. Elit Berebutan Kekuasaan Duniawi (Mushara'atul Hukkam 'alad-Dunia)
Umat Islam semakin lemah lagi ketika para penguasa dan elitnya tidak pernah berhenti dari memperebutkan jabatan dan kursi kekuasaan. Alasannya kadang lucu dan aneh, logikanya pun susah dipahami.
Kalau bukan saya yang jadi penguasa, maka penguasa lain pasti kafir atau sekuler. Maka apapun yang terjadi, saya harus jadi penguasa. Karena cuma saya satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menjamin tegaknya Islam. Tanpa saya, Islam akan hancur. Bila saya tidak berkuasa, Islam pasti lenyap.
Sekilas kalimat di atas sangat menyentuh, ngakunya si calon penguasa ingin menegakkan Islam dan hukum-hukumnya. Tetapi ketika ada syarat bahwa yang berkuasa itu harus dirinya dan tidak boleh orang lain, maka kalimat itu jadi amat memalukan.