Muslim Pelaku Dosa Besar Tidak Kafir, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Paham yang menamakan dirinya "Jamaah Attakfir," "Jamaah Alhijrah," "fundamentalis Islam" dan sebagainya, menganggap orang yang melakukan dosa besar dan tidak mau berhenti adalah kafir . Bahkan ada yang beranggapan bahwa orang-orang Islam pada umumnya tidak Muslim, salat mereka dan ibadat lainnya tidak sah, karena murtad . Lalu bagaimana pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah ?
Pakar hadis dari Mazhab Hanafi, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan: “Kami tidak mengafirkan seorang ahlil qiblat pun dengan sebab suatu dosa, selama dia tidak menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, ‘Dosa apapun tidak akan membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.”
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi adalah penulis kitab akidah "Al-Aqidah Ath-Thahawiyah" yang diakui dan digunakan seluruh mazhab Ahlus Sunnah
Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Alusy Syaikh menjelaskan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi hendak menyampaikan bahwa dosa yang dilakukan kaum muslimin tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat Khawârij.
"Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan ahlul qiblat tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah," ujarnya dalam kitab "Syarhu ‘Aqîdah ath-Thahawiyah".
Menurutnya, dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Ja’far ath-Thahawi telah menyelisihi Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.
Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz mengingatkan bahwa masalah ini termasuk masalah besar. Yaitu masalah mengkafirkan orang yang menisbatkan diri kepada orang Islam, yaitu orang yang istikamah dalam keislaman dan keimanannya, jika ia melakukan perbuatan suatu dosa.
Menurut Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz, kaidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah menyatakan bahwa orang yang telah masuk Islam dengan yakin, maka dia tidak bisa dikeluarkan hanya karena perbuatan dosa yang dia lakukan.
Dia juga tidak bisa keluar dari Islam dengan semua perbuatan dosa yang diharamkan Allah Taala yang dilakukannya. Namun sebagai akibat dari perbuatan dosa-dosa ‘amaliyahnya harus ada istihlâl. Maksudnya dia meyakini bahwa perbuatan dosa itu halal, bukan dosa, bukan perkara yang diharamkan. Inilah jalan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. "Mereka tidak menjatuhkan vonis kafir kepada (pelaku dosa), tetapi mereka menyatakannya salah, sesat, atau fâsik," ujar Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz.
Jadi kita katakan, “Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertobat."
Apa yang dikatakan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi tersebut memuat penetapan akidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.
Pakar hadis dari Mazhab Hanafi, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan: “Kami tidak mengafirkan seorang ahlil qiblat pun dengan sebab suatu dosa, selama dia tidak menghalalkannya. Kami juga tidak mengatakan, ‘Dosa apapun tidak akan membahayakan pelakunya asalkan ada keimanan.”
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi adalah penulis kitab akidah "Al-Aqidah Ath-Thahawiyah" yang diakui dan digunakan seluruh mazhab Ahlus Sunnah
Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz Alusy Syaikh menjelaskan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi hendak menyampaikan bahwa dosa yang dilakukan kaum muslimin tidak serta merta menjadikannya kafir, sebagaimana pendapat Khawârij.
"Namun juga tidak berarti bahwa perbuatan dosa yang dilakukan ahlul qiblat tidak berdampak atau berakibat apa-apa bagi pelakunya, sebagaimana pendapat kaum Murji’ah," ujarnya dalam kitab "Syarhu ‘Aqîdah ath-Thahawiyah".
Menurutnya, dengan pernyataan tersebut, Imam Abu Ja’far ath-Thahawi telah menyelisihi Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.
Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz mengingatkan bahwa masalah ini termasuk masalah besar. Yaitu masalah mengkafirkan orang yang menisbatkan diri kepada orang Islam, yaitu orang yang istikamah dalam keislaman dan keimanannya, jika ia melakukan perbuatan suatu dosa.
Menurut Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz, kaidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah menyatakan bahwa orang yang telah masuk Islam dengan yakin, maka dia tidak bisa dikeluarkan hanya karena perbuatan dosa yang dia lakukan.
Dia juga tidak bisa keluar dari Islam dengan semua perbuatan dosa yang diharamkan Allah Taala yang dilakukannya. Namun sebagai akibat dari perbuatan dosa-dosa ‘amaliyahnya harus ada istihlâl. Maksudnya dia meyakini bahwa perbuatan dosa itu halal, bukan dosa, bukan perkara yang diharamkan. Inilah jalan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. "Mereka tidak menjatuhkan vonis kafir kepada (pelaku dosa), tetapi mereka menyatakannya salah, sesat, atau fâsik," ujar Syaikh Shâlih bin Abdul Azîz.
Jadi kita katakan, “Dia mukmin dengan sebab imannya, fasik dengan sebab dosa besarnya, muslim dengan sebab tauhidnya. Dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan dengan terang-terangan dan belum bertobat."
Apa yang dikatakan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi tersebut memuat penetapan akidah Ahlus Sunnah yang berbeda dengan Khawârij, Mu’tazilah dan Murji’ah.
(mhy)