Kisah Kaum Yahudi Membuat Perjanjian Damai dengan Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Di pagi hari ketika Ka'ab bin al-Asyraf dibunuh, orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin sekutu mereka ketakutan. Lalu mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata, “Kawan kami tadi malam diserang. Dia salah seorang pemimpin kami. Sepanjang yang kami ketahui, dia dibunuh tanpa berbuat kesalahan ataupun mengalami suatu peristiwa.”
Rasulullah SAW menanggapi, “Seandainya dia diam seperti orang lain yang berpendapat sama, dia tidak akan terbunuh...” Lalu, beliau mengajak mereka menuliskan kesepakatan yang harus dipatuhi bersama-sama. Mereka setuju, dan sebuah dokumen pun ditulis antara mereka dan beliau di bawah pohon di rumah Ramlah binti al-Harits.
Abu Dawud as-Sijistani menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Ka'ab bin Malik dari ayahnya mengenai insiden pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf. Dalam riwayat ini dituturkan, setelah mereka membunuhnya, orang-orang Yahudi dan musyrikin ketakutan.
Pagi harinya mereka mendatangi Nabi dan mengadu, “Sahabat kami diserang dan dibunuh.”
Seusai memberikan tanggapan, beliau mengajak mereka menuliskan sebuah perjanjian untuk ditaati kedua belah pihak. Tak lama berselang, beliau menuliskan piagam perdamaian antara dirinya, orang-orang Yahudi, dan kaum muslimin secara umum.”
Di sini, kata al-Jamil, kita harus memperhatikan frasa “piagam perdamaian antara dirinya, orang-orang Yahudi, dan kaum muslimin secara umum” karena tidak sekadar menyebutkan “antara Nabi dan orang-orang Yahudi”.
Ibnu Syabah menuturkan riwayat yang sama, mengenai pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf, tetapi dengan sedikit perbedaan. Dalam riwayatnya disebutkan, “Rasulullah mengajak mereka merumuskan sebuah piagam yang berisi solusi atas berbagai urusan manusia, terutama antara mereka, dirinya, dan kaum muslimin.”
Al-Jamil mengatakan terlihat jelas dari ketiga riwayat di atas, ada tiga versi berbeda mengenai Piagam Madinah: dokumen yang ditulis antara Rasulullah, orang-orang Yahudi, dan kaum musyrikin sekutu mereka.
Dalam riwayat pertama disebutkan, “Mereka setuju, dan sebuah dokumen pun ditulis antara mereka dan beliau.”
Adapun dalam riwayat kedua, “Tak lama berselang, beliau menuliskan piagam perdamaian, sebuah piagam antara dirinya, orang-orang Yahudi, dan kaum muslimin secara umum.”
Dan, dalam riwayat ketiga, “Rasulullah mengajak mereka merumuskan sebuah piagam yang berisi solusi atas berbagai urusan manusia.”
Setelah Perang Badar
Hanya saja, Muhammad bin Ka'ab atau Ibnu Ka'ab al-Quradhi menuturkan bahwa setibanya Rasulullah di Madinah, seluruh Yahudi membuat perjanjian damai dengan beliau. Mereka menuliskan sebuah dokumen kesepakatan. Peristiwa ini terjadi diperkirakan setelah Rasulullah SAW dan kaum muslimin berhasil mengalahkan kafir Quraisy dalam perang Badar.
Beliau menyamakan setiap kelompok beserta sekutu masing-masing untuk kemudian menyepakati jaminan keamanan antara pihaknya dan pihak mereka dengan beberapa persyaratan. "Salah satu syarat yang diajukan adalah mereka tidak boleh membantu musuh dalam upaya menyerang beliau," tulis Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya yang diterjemahkan Indi Aunullah berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah".
Al-Quradhi tidak memerinci waktu terjadinya kesepakatan tersebut, apakah segera setelah Rasulullah tiba di Madinah atau setelah Perang Badar. "Adapun menurut hemat saya, berdasarkan rangkaian berbagai peristiwa, kesepakatan umum dengan orang-orang Yahudi terjadi setelah peristiwa di Badar, barangkali tak lama setelah penulisan dokumen antara kaum Muhajirin dan Anshar," ujar al-Jamil.
Menurutnya, yang patut diperhatikan dalam riwayat Ibnu Ka'ab itu adalah kalimat, “Beliau menyamakan setiap kelompok beserta sekutu masing-masing”.
Tampaknya, kata al-Jamil, rahasia keberhasilan sang Nabi dalam membuat kesepakatan dengan orang-orang Yahudi terletak pada cakupannya.
Pada periode pasca-Badar ini, beliau tidak membuat kesepakatan individual seperti yang terjadi pada periode pra-Badar. Beliau membuat kesepakatan dengan kelompok-kelompok Yahudi melalui sekutu Arab mereka, kabilah Aus dan Khazraj. Tentu, hal ini lebih bisa menjamin penghormatan terhadap kesepakatan.
Dengan kata lain, ujar al-Jamil lagi, kabilah Aus dan Khazraj menjadi penjamin bagi sesama kaumnya. Seperti sudah diketahui, Bani Quraizhah dan Bani Nadhir adalah sekutu Aus, sedangkan Bani Qainuqa adalah sekutu Khazraj.”
"Maka tidak mustahil jika dua kabilah besar ini, sebagai sekutu orang-orang Yahudi Madinah, memainkan peran aktif dalam mempengaruhi mereka untuk bergabung dalam perjanjian yang disepakati bersama kaum muslimin: Piagam Madinah," ujarnya.
Al-Jamil mengatakan jika kita menerima hipotesis bahwa kesepakatan umum dengan orang-orang Yahudi itu dibuat setelah Perang Badar, bukan sebelumnya, tetap saja tidaklah mudah menentukan bulan dan tanggal pastinya.
Menurut Al-Jamil, yang jelas, ia dibuat sebelum terjadinya Perang Uhud. Ini adalah rentang waktu yang panjang. Sementara itu, relasi penuh ketegangan antara kedua pihak (umat Islam dan kaum Yahudi), terutama setelah pengusiran Bani Qainuqa, tidak akan bertahan selama ini.
"Oleh karena itulah, perlu dilihat lagi beberapa riwayat yang barangkali bisa membantu kita mengetahui bulan penulisan Piagam penanda perdamaian di antara dua kubu tersebut," ujar Al-Jamil.
Menurut al-Jamil, melalui berbagai versi riwayat yang barangkali asal-usulnya sama ini, kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “piagam” atau “dokumen” itu adalah kesepakatan umum dengan pihak Yahudi. Juga tidak mustahil bahwa yang dimaksud dengan “Yahudi” di sini adalah orang-orang Yahudi secara umum tanpa kecuali, karena tidak disebutkan nama kelompok tertentu.
Bahkan, kita bisa memberikan uraian kesimpulan yang lebih terperinci terhadap riwayat-riwayat tersebut. Kita bisa menyatakan bahwa Piagam Madinah ditulis di rumah Ramlah binti al-Haritss bahwa ia disepakati pada bulan Rabiul Awal tahun ke-3 dari masa hijrah Rasulullah, yaitu segera setelah terbunuhnya Ka'ab bin al-Asyraf, atau sekitar tujuh bulan setelah Perang Badar .
Rasulullah SAW menanggapi, “Seandainya dia diam seperti orang lain yang berpendapat sama, dia tidak akan terbunuh...” Lalu, beliau mengajak mereka menuliskan kesepakatan yang harus dipatuhi bersama-sama. Mereka setuju, dan sebuah dokumen pun ditulis antara mereka dan beliau di bawah pohon di rumah Ramlah binti al-Harits.
Abu Dawud as-Sijistani menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Ka'ab bin Malik dari ayahnya mengenai insiden pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf. Dalam riwayat ini dituturkan, setelah mereka membunuhnya, orang-orang Yahudi dan musyrikin ketakutan.
Pagi harinya mereka mendatangi Nabi dan mengadu, “Sahabat kami diserang dan dibunuh.”
Seusai memberikan tanggapan, beliau mengajak mereka menuliskan sebuah perjanjian untuk ditaati kedua belah pihak. Tak lama berselang, beliau menuliskan piagam perdamaian antara dirinya, orang-orang Yahudi, dan kaum muslimin secara umum.”
Di sini, kata al-Jamil, kita harus memperhatikan frasa “piagam perdamaian antara dirinya, orang-orang Yahudi, dan kaum muslimin secara umum” karena tidak sekadar menyebutkan “antara Nabi dan orang-orang Yahudi”.
Ibnu Syabah menuturkan riwayat yang sama, mengenai pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf, tetapi dengan sedikit perbedaan. Dalam riwayatnya disebutkan, “Rasulullah mengajak mereka merumuskan sebuah piagam yang berisi solusi atas berbagai urusan manusia, terutama antara mereka, dirinya, dan kaum muslimin.”
Al-Jamil mengatakan terlihat jelas dari ketiga riwayat di atas, ada tiga versi berbeda mengenai Piagam Madinah: dokumen yang ditulis antara Rasulullah, orang-orang Yahudi, dan kaum musyrikin sekutu mereka.
Dalam riwayat pertama disebutkan, “Mereka setuju, dan sebuah dokumen pun ditulis antara mereka dan beliau.”
Adapun dalam riwayat kedua, “Tak lama berselang, beliau menuliskan piagam perdamaian, sebuah piagam antara dirinya, orang-orang Yahudi, dan kaum muslimin secara umum.”
Dan, dalam riwayat ketiga, “Rasulullah mengajak mereka merumuskan sebuah piagam yang berisi solusi atas berbagai urusan manusia.”
Setelah Perang Badar
Hanya saja, Muhammad bin Ka'ab atau Ibnu Ka'ab al-Quradhi menuturkan bahwa setibanya Rasulullah di Madinah, seluruh Yahudi membuat perjanjian damai dengan beliau. Mereka menuliskan sebuah dokumen kesepakatan. Peristiwa ini terjadi diperkirakan setelah Rasulullah SAW dan kaum muslimin berhasil mengalahkan kafir Quraisy dalam perang Badar.
Beliau menyamakan setiap kelompok beserta sekutu masing-masing untuk kemudian menyepakati jaminan keamanan antara pihaknya dan pihak mereka dengan beberapa persyaratan. "Salah satu syarat yang diajukan adalah mereka tidak boleh membantu musuh dalam upaya menyerang beliau," tulis Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya yang diterjemahkan Indi Aunullah berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah".
Al-Quradhi tidak memerinci waktu terjadinya kesepakatan tersebut, apakah segera setelah Rasulullah tiba di Madinah atau setelah Perang Badar. "Adapun menurut hemat saya, berdasarkan rangkaian berbagai peristiwa, kesepakatan umum dengan orang-orang Yahudi terjadi setelah peristiwa di Badar, barangkali tak lama setelah penulisan dokumen antara kaum Muhajirin dan Anshar," ujar al-Jamil.
Menurutnya, yang patut diperhatikan dalam riwayat Ibnu Ka'ab itu adalah kalimat, “Beliau menyamakan setiap kelompok beserta sekutu masing-masing”.
Tampaknya, kata al-Jamil, rahasia keberhasilan sang Nabi dalam membuat kesepakatan dengan orang-orang Yahudi terletak pada cakupannya.
Pada periode pasca-Badar ini, beliau tidak membuat kesepakatan individual seperti yang terjadi pada periode pra-Badar. Beliau membuat kesepakatan dengan kelompok-kelompok Yahudi melalui sekutu Arab mereka, kabilah Aus dan Khazraj. Tentu, hal ini lebih bisa menjamin penghormatan terhadap kesepakatan.
Dengan kata lain, ujar al-Jamil lagi, kabilah Aus dan Khazraj menjadi penjamin bagi sesama kaumnya. Seperti sudah diketahui, Bani Quraizhah dan Bani Nadhir adalah sekutu Aus, sedangkan Bani Qainuqa adalah sekutu Khazraj.”
"Maka tidak mustahil jika dua kabilah besar ini, sebagai sekutu orang-orang Yahudi Madinah, memainkan peran aktif dalam mempengaruhi mereka untuk bergabung dalam perjanjian yang disepakati bersama kaum muslimin: Piagam Madinah," ujarnya.
Al-Jamil mengatakan jika kita menerima hipotesis bahwa kesepakatan umum dengan orang-orang Yahudi itu dibuat setelah Perang Badar, bukan sebelumnya, tetap saja tidaklah mudah menentukan bulan dan tanggal pastinya.
Menurut Al-Jamil, yang jelas, ia dibuat sebelum terjadinya Perang Uhud. Ini adalah rentang waktu yang panjang. Sementara itu, relasi penuh ketegangan antara kedua pihak (umat Islam dan kaum Yahudi), terutama setelah pengusiran Bani Qainuqa, tidak akan bertahan selama ini.
"Oleh karena itulah, perlu dilihat lagi beberapa riwayat yang barangkali bisa membantu kita mengetahui bulan penulisan Piagam penanda perdamaian di antara dua kubu tersebut," ujar Al-Jamil.
Menurut al-Jamil, melalui berbagai versi riwayat yang barangkali asal-usulnya sama ini, kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “piagam” atau “dokumen” itu adalah kesepakatan umum dengan pihak Yahudi. Juga tidak mustahil bahwa yang dimaksud dengan “Yahudi” di sini adalah orang-orang Yahudi secara umum tanpa kecuali, karena tidak disebutkan nama kelompok tertentu.
Bahkan, kita bisa memberikan uraian kesimpulan yang lebih terperinci terhadap riwayat-riwayat tersebut. Kita bisa menyatakan bahwa Piagam Madinah ditulis di rumah Ramlah binti al-Haritss bahwa ia disepakati pada bulan Rabiul Awal tahun ke-3 dari masa hijrah Rasulullah, yaitu segera setelah terbunuhnya Ka'ab bin al-Asyraf, atau sekitar tujuh bulan setelah Perang Badar .
(mhy)