Catatan Perang Arab-Israel 1973: Kegagalan Intelijen Militer Israel Paling Besar
loading...
A
A
A
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan kesombongan Israel terhadap bangsa Arab telah menyesatkan bukan hanya dunia melainkan juga diri mereka sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian, Israel mengalami salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika mereka tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir - Syria terhadap pasukan pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973.
"Padahal bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan negara-negara Arab," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan, kurang dari dua bulan sebelum perang, berkata pada staf umum: "Keseimbangan kekuatan terlalu menguntungkan kita sehingga hal itu akan menetralkan pertimbangan-pertimbangan dan motif-motif Arab untuk memperbarui permusuhan."
Jenderal Ariel Sharon juga menyatakan bahwa "tidak ada sasaran antara Baghdad dan Khartoum, termasuk Lybia, yang tidak dapat direbut oleh angkatan bersenjata kita."
Dia meyakinkan orang-orang Israel bahwa "dengan perbatasan-perbatasan kita sekarang ini, kita tidak menghadapi masalah keamanan."
Begitu besarnya rasa percaya diri Israel sehingga pada 15 Juli ia memutuskan memotong tiga bulan masa wajib militer yang berlangsung tiga tahun, sejak tahun berikutnya.
Paul Findley mengatakan kegagalan intelijen Israel adalah akibat kepercayaan diri yang berlebihan pada kekuatan sendiri serta sikapnya yang meremehkan semangat Arab.
Sejak akhir perang 1967, pasukan Israel telah menduduki wilayah Arab, dan menolak untuk menarik diri di bawah ketentuan Resolusi PBB 242. Dalam suatu kunjungan ke Gedung Putih bersama Presiden Nixon pada Maret 1973, Perdana Menteri Israel Golda Meir berkata: "Kami belum pernah berada dalam keadaan yang begitu baik."
Meir berkata bahwa dia bersedia mengadakan pembicaraan damai namun meninggalkan kesan kuat bahwa dia tidak tergesa-gesa untuk melihat adanya suatu inisiatif diplomatik. Ketika Meir kembali ke tanah air, dia berkata "tidak ada dasar atau alasan untuk mengubah kebijaksanaan kita."
Menteri Pertahanan Moshe Dayan mendesak orang-orang Israel agar menetap di wilayah-wilayah pendudukan sebab tidak ada harapan akan adanya perundingan-perundingan Arab-Israel dalam waktu "sepuluh hingga lima belas tahun."
Pada waktu yang hampir bersamaan, sebuah poll menunjukkan bahwa mayoritas orang Israel tidak bersedia mengembalikan sebagian besar wilayah-wilayah pendudukan.
Pada April 1973, Presiden Mesir Anwar Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan... Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di muka saya oleh Israel --dengan restu Amerika... Telah tiba waktunya untuk sebuah kejutan... Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi."
Namun, kala itu, tidak ada pejabat tinggi di Israel atau Amerika yang menaruh perhatian.
Omong Kosong
Perdana Menteri Israel Golda Meir mengklaim memenangkan perang itu. "Kami memenangkan Perang Yom Kippur," ujarnya.
Paul Findley mengatakan itu omong kosong. Faktanya, Israel "memenangkan" perang 1973 sebagaimana Lyndon Johnson "memenangkan" Tet Offensive pada 1968 di Vietnam yang membawa bencana.
Negara-negara Arab mendapatkan kembali sebagian besar kehormatan diri mereka dari hasil-hasil awal mereka di medan perang. Ini benar terutama dalam kaitannya dengan tindakan Mesir yang secara spektakuler melintasi Terusan Suez, yang oleh hampir semua tokoh militer di seluruh dunia diyakini tidak mungkin dapat dilakukan mengingat kubu Israel yang demikian kuat sepanjang tepi timur terusan.
"Padahal bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan negara-negara Arab," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan, kurang dari dua bulan sebelum perang, berkata pada staf umum: "Keseimbangan kekuatan terlalu menguntungkan kita sehingga hal itu akan menetralkan pertimbangan-pertimbangan dan motif-motif Arab untuk memperbarui permusuhan."
Jenderal Ariel Sharon juga menyatakan bahwa "tidak ada sasaran antara Baghdad dan Khartoum, termasuk Lybia, yang tidak dapat direbut oleh angkatan bersenjata kita."
Dia meyakinkan orang-orang Israel bahwa "dengan perbatasan-perbatasan kita sekarang ini, kita tidak menghadapi masalah keamanan."
Begitu besarnya rasa percaya diri Israel sehingga pada 15 Juli ia memutuskan memotong tiga bulan masa wajib militer yang berlangsung tiga tahun, sejak tahun berikutnya.
Paul Findley mengatakan kegagalan intelijen Israel adalah akibat kepercayaan diri yang berlebihan pada kekuatan sendiri serta sikapnya yang meremehkan semangat Arab.
Sejak akhir perang 1967, pasukan Israel telah menduduki wilayah Arab, dan menolak untuk menarik diri di bawah ketentuan Resolusi PBB 242. Dalam suatu kunjungan ke Gedung Putih bersama Presiden Nixon pada Maret 1973, Perdana Menteri Israel Golda Meir berkata: "Kami belum pernah berada dalam keadaan yang begitu baik."
Meir berkata bahwa dia bersedia mengadakan pembicaraan damai namun meninggalkan kesan kuat bahwa dia tidak tergesa-gesa untuk melihat adanya suatu inisiatif diplomatik. Ketika Meir kembali ke tanah air, dia berkata "tidak ada dasar atau alasan untuk mengubah kebijaksanaan kita."
Menteri Pertahanan Moshe Dayan mendesak orang-orang Israel agar menetap di wilayah-wilayah pendudukan sebab tidak ada harapan akan adanya perundingan-perundingan Arab-Israel dalam waktu "sepuluh hingga lima belas tahun."
Pada waktu yang hampir bersamaan, sebuah poll menunjukkan bahwa mayoritas orang Israel tidak bersedia mengembalikan sebagian besar wilayah-wilayah pendudukan.
Pada April 1973, Presiden Mesir Anwar Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan... Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di muka saya oleh Israel --dengan restu Amerika... Telah tiba waktunya untuk sebuah kejutan... Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi."
Namun, kala itu, tidak ada pejabat tinggi di Israel atau Amerika yang menaruh perhatian.
Omong Kosong
Perdana Menteri Israel Golda Meir mengklaim memenangkan perang itu. "Kami memenangkan Perang Yom Kippur," ujarnya.
Paul Findley mengatakan itu omong kosong. Faktanya, Israel "memenangkan" perang 1973 sebagaimana Lyndon Johnson "memenangkan" Tet Offensive pada 1968 di Vietnam yang membawa bencana.
Negara-negara Arab mendapatkan kembali sebagian besar kehormatan diri mereka dari hasil-hasil awal mereka di medan perang. Ini benar terutama dalam kaitannya dengan tindakan Mesir yang secara spektakuler melintasi Terusan Suez, yang oleh hampir semua tokoh militer di seluruh dunia diyakini tidak mungkin dapat dilakukan mengingat kubu Israel yang demikian kuat sepanjang tepi timur terusan.