Negara Israel, Hadiah Inggris untuk Kaum Yahudi
loading...
A
A
A
Negara Israel bisa dibilang adalah hadiah Inggris untuk kaum Yahudi . Ini terjadi setelahKhilafah Utsmaniyah runtuh. Sebelumnya, Zionis internasional gagal merayu penguasa Ottoman, Sultan Abdul Hamid II , yang kala itu Palestina menjadi wilayah Kekhalifahan Utsmani .
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah" (Maktabah al-Iman, 2011) memaparkan kala itu, tahun 1909, Sultan Abdul Hamid mengeluarkan pernyataan keras kepada Yahudi:
“Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku mengabdi kepada kaum Muslimin dan kepada Islam itu sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah Utsmaniyah. Sekali lagi aku tidak akan menerima tawaran kalian!”
Pernyataan Sultan Abdul Hamid ini tentu menjadi penghalang besar bagi konspirasi Yahudi dalam mewujudkan cita-citanya. Pernyataan itu pun dipastikan membuat Yahudi terus berupaya menghancurkan Sultan Abdul Hamid II.
Hermawati dalam bukunya berjudul "Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi"(PT RajaGrafindo Persada, 2005) menyebut Ide Restorasi Yahudi beriringan kuat dengan kepentingan imperialis. Ketertarikan Eropa kepada Palestina di abad ke-19 dapat dibagi dalam dua tingkat.
Pertama, dimensi politik di antara pemerintahan Eropa karena letak geografis Palestina sangat strategis yang berada di lingkungan dunia Arab (Islam).
Kedua, aspirasi sosial yang sangat terkait dengan berkembangnya ide perang Salib damai (peaceful Crusade) di kalangan orang-orang Kristen Ortodok dan Yahudi untuk menguasai Yerusalem.
Permasalahan bangsa ini nampak sangat rumit, karena bangsa Yahudi ingin mendirikan tanah air nasional di sebuah wilayah dengan posisi mereka sebagai kelompok minoritas di tengah penduduk Palestina-Arab.
Sekalipun demikian, pada tahun 1917 Inggris mengeluarkan Deklasrasi Balfour dan menjanjikan akan menghadiahkan sebuah tanah air kepada Yahudi di Palestina.
Pada sisi lain Palestina adalah bagian dari Daulah Islamiyah di bawah Turki ‘Utsmâni. Akan tetapi dengan dikuasai wilayah ini oleh Inggris (1917), seterusnya dicaplok sebagian besar (48%) oleh Yahudi-Israel, Palestina yang mayoritas penduduknya Muslim menjadi tidak merdeka.
Pihak Inggris membayangkan bahwasanya tanah air Yahudi akan menjadi dalih bagi klaim Inggris untuk menguasai negeri ini. Mereka juga membayangkan bahwasanya mereka akan menggalang dukungan dari warga Yahudi di Rusia dan Amerika dalam peperangan mereka dan menghalangi inisiatif yang sama dari pihak Jerman.
Ira M. Lapidus dalam buku berjudul "Sejarah Sosial Ummat Islam" mengatakan dalam melaksanakan maksudnya ini, mereka mengabaikan komitmen terhadap bangsa Arab. Seusai peperangan, Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan mandat kepada Inggris untuk merealisasikan tujuan pembangunan sebuah tanah air nasional bangsa Yahudi.
Pada Perang Dunia I (1914-1918), Turki Utsmani bergabung dengan Poros sentral (Jerman, Austria-Hungaria) melawan sekutu. Namun pada 1916, Inggris dan Prancis bersekongkol untuk membagi wilayah Timur Tengah dan terkenal dalam Perjanjian Sykes Picot.
Dalam Deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris mendukung pembentukan Negara Yahudi di tanah Palestina.
Setelah Deklarasi Balfour pada 2 Nopember 1917 gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi ke Palestina. Sesuai keputusan Konferensi Zionisme Internasional ke-1 di Bazel pada 1897 gerakan migrasi dan penguasaan tanah Palestina.
Lima Cara
ZA Maulani dalam buku "Zionisme: Gerakan menaklukkan Dunia" menyebut gerakan ini dilakukan dengan 5 cara sebagai berikut:
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah" (Maktabah al-Iman, 2011) memaparkan kala itu, tahun 1909, Sultan Abdul Hamid mengeluarkan pernyataan keras kepada Yahudi:
“Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku mengabdi kepada kaum Muslimin dan kepada Islam itu sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah Utsmaniyah. Sekali lagi aku tidak akan menerima tawaran kalian!”
Pernyataan Sultan Abdul Hamid ini tentu menjadi penghalang besar bagi konspirasi Yahudi dalam mewujudkan cita-citanya. Pernyataan itu pun dipastikan membuat Yahudi terus berupaya menghancurkan Sultan Abdul Hamid II.
Hermawati dalam bukunya berjudul "Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi"(PT RajaGrafindo Persada, 2005) menyebut Ide Restorasi Yahudi beriringan kuat dengan kepentingan imperialis. Ketertarikan Eropa kepada Palestina di abad ke-19 dapat dibagi dalam dua tingkat.
Pertama, dimensi politik di antara pemerintahan Eropa karena letak geografis Palestina sangat strategis yang berada di lingkungan dunia Arab (Islam).
Kedua, aspirasi sosial yang sangat terkait dengan berkembangnya ide perang Salib damai (peaceful Crusade) di kalangan orang-orang Kristen Ortodok dan Yahudi untuk menguasai Yerusalem.
Permasalahan bangsa ini nampak sangat rumit, karena bangsa Yahudi ingin mendirikan tanah air nasional di sebuah wilayah dengan posisi mereka sebagai kelompok minoritas di tengah penduduk Palestina-Arab.
Sekalipun demikian, pada tahun 1917 Inggris mengeluarkan Deklasrasi Balfour dan menjanjikan akan menghadiahkan sebuah tanah air kepada Yahudi di Palestina.
Pada sisi lain Palestina adalah bagian dari Daulah Islamiyah di bawah Turki ‘Utsmâni. Akan tetapi dengan dikuasai wilayah ini oleh Inggris (1917), seterusnya dicaplok sebagian besar (48%) oleh Yahudi-Israel, Palestina yang mayoritas penduduknya Muslim menjadi tidak merdeka.
Pihak Inggris membayangkan bahwasanya tanah air Yahudi akan menjadi dalih bagi klaim Inggris untuk menguasai negeri ini. Mereka juga membayangkan bahwasanya mereka akan menggalang dukungan dari warga Yahudi di Rusia dan Amerika dalam peperangan mereka dan menghalangi inisiatif yang sama dari pihak Jerman.
Ira M. Lapidus dalam buku berjudul "Sejarah Sosial Ummat Islam" mengatakan dalam melaksanakan maksudnya ini, mereka mengabaikan komitmen terhadap bangsa Arab. Seusai peperangan, Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan mandat kepada Inggris untuk merealisasikan tujuan pembangunan sebuah tanah air nasional bangsa Yahudi.
Pada Perang Dunia I (1914-1918), Turki Utsmani bergabung dengan Poros sentral (Jerman, Austria-Hungaria) melawan sekutu. Namun pada 1916, Inggris dan Prancis bersekongkol untuk membagi wilayah Timur Tengah dan terkenal dalam Perjanjian Sykes Picot.
Dalam Deklarasi Balfour tahun 1917, Inggris mendukung pembentukan Negara Yahudi di tanah Palestina.
Setelah Deklarasi Balfour pada 2 Nopember 1917 gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi ke Palestina. Sesuai keputusan Konferensi Zionisme Internasional ke-1 di Bazel pada 1897 gerakan migrasi dan penguasaan tanah Palestina.
Lima Cara
ZA Maulani dalam buku "Zionisme: Gerakan menaklukkan Dunia" menyebut gerakan ini dilakukan dengan 5 cara sebagai berikut: