Kisah Presiden Richard Nixon Mengeluh Hadapi Lobi Yahudi Amerika
loading...
A
A
A
Pengakuan Presiden Amerika Serikat , Richard Nixon, tersebut tercatat dalam memoarnya. "Salah satu masalah besar yang saya hadapi... adalah sikap pro Israel yang pantang menyerah dan picik di dalam segmen-segmen yang sangat luas dan berpengaruh dari komunitas Yahudi Amerika, Kongres , media, dan di kalangan intelektual dan budaya," ujarnya.
"Dalam seperempat abad sejak akhir Perang Dunia II sikap ini telah menjadi begitu berurat berakar sehingga banyak yang menganggap bahwa tidak pro Israel berarti anti-Israel, atau bahkan anti-Semit. Saya telah berusaha namun gagal meyakinkan mereka bahwa masalahnya bukanlah demikian," lanjut Nixon.
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan sementara para aktivis Yahudi mengemukakan isu-isu yang begitu beragam seperti hak-hak asasi manusia dan kemiskinan di seluruh dunia, American Israel Public Affairs Committee atau AIPAC dan komite-komite aksi politik pro Israel fokus pada satu-satunya isu yakni tentang Israel.
"Memang demikianlah halnya sejak munculnya upaya lobi terorganisasi atas nama Israel pada 1950an," tulis Paul Findley dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden AIPAC Davis Steiner pada 1992: "Saya percaya pada kesetiaan politik, dan jika seseorang telah berbuat baik untuk Israel, tidak soal siapa pun dia --bahkan seandainya saudara saya menentang mereka-- saya akan tetap mendukung mereka sebab mereka telah berbuat baik untuk Israel."
Hampir Mustahil
Selain Nixon, keluhan serupa dikemukakan pada 1956 oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles. Dia mengeluh pada kawan-kawannya:
"Saya sadar betapa hampir mustahilnya menjalankan suatu kebijaksanaan luar negeri [di Timur Tengah] yang tidak disetujui oleh orang-orang Yahudi di negeri ini. [Mantan Menteri Luar Negeri George] Marshall dan [mantan Menteri Pertahanan James] Forrestal mengetahui hal itu."
Menurut Paul Findley, Dulles di kemudian hari berbicara tentang kontrol luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi atas media berita dan perang kata-kata yang telah ditanamkan orang-orang Yahudi pada para anggota kongres.
"Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa pengaruh Yahudi di sini sangat menguasai panggung dan membuat Kongres hampir mustahil melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Kedutaan Besar Israel praktis mendikte Kongres melalui orang-orang Yahudi yang berpengaruh di negeri ini," ujarnya.
Pengaruh semacam itu bukan kebetulan. Pelopor AIPAC, Komite Zionis Amerika untuk Urusan Publik, pertama-tama menanyai 750 kandidat Dewan dan Senat pada 1954. Satu-satunya pertanyaan yang diajukan pada setiap kandidat adalah pandangannya terhadap Israel dan Timur Tengah.
Hal itu seterusnya menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan sikap AIPAC terhadap kandidat tersebut. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine sangat bangga akan fokus tentang Israel. Dia berkata: "Kami berpikiran tunggal mengenai isu tunggal."
Uang Yahudi
Kesatuan pikiran semacam itulah yang menyebabkan keberhasilan AIPAC yang begitu mengagumkan dalam membantu para pendukung kuat Israel untuk dapat dipilih menjadi anggota Kongres.
Keberhasilan itu terutama dari penganggaran dana yang besar untuk kampanye para politisi yang menyuarakan dukungan pada Israel.
Meskipun AIPAC secara hukum tidak boleh memberikan uang pada para kandidat, banyak komite aksi politik pro Israel yang bertindak berdasarkan rating kandidat AIPAC dan menyalurkan dana mereka sesuai dengan itu.
Sebuah telaah pada 1991 oleh Pusat untuk Politik Responsif menunjukkan bahwa komite-komite aksi politik (PACs) pro Israel menyumbangkan $4 juta untuk para kandidat kongres dalam pemilihan tahun 1990, dan para penyumbang individual pada PACs tersebut juga menyerahkan $3,6 juta pada kandidat-kandidat yang sama.
"Dalam seperempat abad sejak akhir Perang Dunia II sikap ini telah menjadi begitu berurat berakar sehingga banyak yang menganggap bahwa tidak pro Israel berarti anti-Israel, atau bahkan anti-Semit. Saya telah berusaha namun gagal meyakinkan mereka bahwa masalahnya bukanlah demikian," lanjut Nixon.
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan sementara para aktivis Yahudi mengemukakan isu-isu yang begitu beragam seperti hak-hak asasi manusia dan kemiskinan di seluruh dunia, American Israel Public Affairs Committee atau AIPAC dan komite-komite aksi politik pro Israel fokus pada satu-satunya isu yakni tentang Israel.
"Memang demikianlah halnya sejak munculnya upaya lobi terorganisasi atas nama Israel pada 1950an," tulis Paul Findley dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Sebagaimana dikatakan oleh Presiden AIPAC Davis Steiner pada 1992: "Saya percaya pada kesetiaan politik, dan jika seseorang telah berbuat baik untuk Israel, tidak soal siapa pun dia --bahkan seandainya saudara saya menentang mereka-- saya akan tetap mendukung mereka sebab mereka telah berbuat baik untuk Israel."
Hampir Mustahil
Selain Nixon, keluhan serupa dikemukakan pada 1956 oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles. Dia mengeluh pada kawan-kawannya:
"Saya sadar betapa hampir mustahilnya menjalankan suatu kebijaksanaan luar negeri [di Timur Tengah] yang tidak disetujui oleh orang-orang Yahudi di negeri ini. [Mantan Menteri Luar Negeri George] Marshall dan [mantan Menteri Pertahanan James] Forrestal mengetahui hal itu."
Menurut Paul Findley, Dulles di kemudian hari berbicara tentang kontrol luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi atas media berita dan perang kata-kata yang telah ditanamkan orang-orang Yahudi pada para anggota kongres.
"Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa pengaruh Yahudi di sini sangat menguasai panggung dan membuat Kongres hampir mustahil melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Kedutaan Besar Israel praktis mendikte Kongres melalui orang-orang Yahudi yang berpengaruh di negeri ini," ujarnya.
Pengaruh semacam itu bukan kebetulan. Pelopor AIPAC, Komite Zionis Amerika untuk Urusan Publik, pertama-tama menanyai 750 kandidat Dewan dan Senat pada 1954. Satu-satunya pertanyaan yang diajukan pada setiap kandidat adalah pandangannya terhadap Israel dan Timur Tengah.
Hal itu seterusnya menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan sikap AIPAC terhadap kandidat tersebut. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine sangat bangga akan fokus tentang Israel. Dia berkata: "Kami berpikiran tunggal mengenai isu tunggal."
Uang Yahudi
Kesatuan pikiran semacam itulah yang menyebabkan keberhasilan AIPAC yang begitu mengagumkan dalam membantu para pendukung kuat Israel untuk dapat dipilih menjadi anggota Kongres.
Keberhasilan itu terutama dari penganggaran dana yang besar untuk kampanye para politisi yang menyuarakan dukungan pada Israel.
Meskipun AIPAC secara hukum tidak boleh memberikan uang pada para kandidat, banyak komite aksi politik pro Israel yang bertindak berdasarkan rating kandidat AIPAC dan menyalurkan dana mereka sesuai dengan itu.
Sebuah telaah pada 1991 oleh Pusat untuk Politik Responsif menunjukkan bahwa komite-komite aksi politik (PACs) pro Israel menyumbangkan $4 juta untuk para kandidat kongres dalam pemilihan tahun 1990, dan para penyumbang individual pada PACs tersebut juga menyerahkan $3,6 juta pada kandidat-kandidat yang sama.