Kisah Presiden Richard Nixon Mengeluh Hadapi Lobi Yahudi Amerika

Rabu, 25 Oktober 2023 - 12:40 WIB
loading...
Kisah Presiden Richard Nixon Mengeluh Hadapi Lobi Yahudi Amerika
Richard Nixon. Foto/Ilustrasi: The Independent
A A A
Pengakuan Presiden Amerika Serikat , Richard Nixon, tersebut tercatat dalam memoarnya. "Salah satu masalah besar yang saya hadapi... adalah sikap pro Israel yang pantang menyerah dan picik di dalam segmen-segmen yang sangat luas dan berpengaruh dari komunitas Yahudi Amerika, Kongres , media, dan di kalangan intelektual dan budaya," ujarnya.

"Dalam seperempat abad sejak akhir Perang Dunia II sikap ini telah menjadi begitu berurat berakar sehingga banyak yang menganggap bahwa tidak pro Israel berarti anti-Israel, atau bahkan anti-Semit. Saya telah berusaha namun gagal meyakinkan mereka bahwa masalahnya bukanlah demikian," lanjut Nixon.

Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan sementara para aktivis Yahudi mengemukakan isu-isu yang begitu beragam seperti hak-hak asasi manusia dan kemiskinan di seluruh dunia, American Israel Public Affairs Committee atau AIPAC dan komite-komite aksi politik pro Israel fokus pada satu-satunya isu yakni tentang Israel.

"Memang demikianlah halnya sejak munculnya upaya lobi terorganisasi atas nama Israel pada 1950an," tulis Paul Findley dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).



Sebagaimana dikatakan oleh Presiden AIPAC Davis Steiner pada 1992: "Saya percaya pada kesetiaan politik, dan jika seseorang telah berbuat baik untuk Israel, tidak soal siapa pun dia --bahkan seandainya saudara saya menentang mereka-- saya akan tetap mendukung mereka sebab mereka telah berbuat baik untuk Israel."

Hampir Mustahil

Selain Nixon, keluhan serupa dikemukakan pada 1956 oleh Menteri Luar Negeri John Foster Dulles. Dia mengeluh pada kawan-kawannya:

"Saya sadar betapa hampir mustahilnya menjalankan suatu kebijaksanaan luar negeri [di Timur Tengah] yang tidak disetujui oleh orang-orang Yahudi di negeri ini. [Mantan Menteri Luar Negeri George] Marshall dan [mantan Menteri Pertahanan James] Forrestal mengetahui hal itu."

Menurut Paul Findley, Dulles di kemudian hari berbicara tentang kontrol luar biasa yang dijalankan orang-orang Yahudi atas media berita dan perang kata-kata yang telah ditanamkan orang-orang Yahudi pada para anggota kongres.

"Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa pengaruh Yahudi di sini sangat menguasai panggung dan membuat Kongres hampir mustahil melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Kedutaan Besar Israel praktis mendikte Kongres melalui orang-orang Yahudi yang berpengaruh di negeri ini," ujarnya.



Pengaruh semacam itu bukan kebetulan. Pelopor AIPAC, Komite Zionis Amerika untuk Urusan Publik, pertama-tama menanyai 750 kandidat Dewan dan Senat pada 1954. Satu-satunya pertanyaan yang diajukan pada setiap kandidat adalah pandangannya terhadap Israel dan Timur Tengah.

Hal itu seterusnya menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan sikap AIPAC terhadap kandidat tersebut. Direktur Eksekutif AIPAC Thomas Dine sangat bangga akan fokus tentang Israel. Dia berkata: "Kami berpikiran tunggal mengenai isu tunggal."

Uang Yahudi

Kesatuan pikiran semacam itulah yang menyebabkan keberhasilan AIPAC yang begitu mengagumkan dalam membantu para pendukung kuat Israel untuk dapat dipilih menjadi anggota Kongres.

Keberhasilan itu terutama dari penganggaran dana yang besar untuk kampanye para politisi yang menyuarakan dukungan pada Israel.

Meskipun AIPAC secara hukum tidak boleh memberikan uang pada para kandidat, banyak komite aksi politik pro Israel yang bertindak berdasarkan rating kandidat AIPAC dan menyalurkan dana mereka sesuai dengan itu.

Sebuah telaah pada 1991 oleh Pusat untuk Politik Responsif menunjukkan bahwa komite-komite aksi politik (PACs) pro Israel menyumbangkan $4 juta untuk para kandidat kongres dalam pemilihan tahun 1990, dan para penyumbang individual pada PACs tersebut juga menyerahkan $3,6 juta pada kandidat-kandidat yang sama.



Semua penerima itu adalah para pendukung kuat Israel. 16 Orang yang sedang memegang jabatan di Senat menerima lebih dari $100.000 masing-masing dari dua sumber.

Di antara para penerimanya yang tertinggi adalah Carl Levin (Demokrat dari Michigan), $563.073; Paul Simon (Demokrat dari Illinois), $449.417; Tom Harkin (Demokrat dari Iowa), $344.650; Clairborne Pell (Demokrat dari Rhode Island), $225.811; dan Mitch McConnell (Republik dari Kentucky), $213.900. Penerima tertinggi dari Dewan adalah Mel Levine (Demokrat dari California), $89.779; Sydney R. Yates (Demokrat dari Illinois), $72.250; David R. Obey (Demokrat dari Wisconsin), $57.949; Ron Wyden (Demokrat dari Oregon), $53.340; dan Wayne Owens (Demokrat dari Utah), $52.450.39

The Wall Street Journal melaporkan bahwa delapan puluh PACs pro Israel membelanjakan $6.931.728 dalam pemilihan tahun 1986, yang menjadikan mereka penyumbang terbesar dari PACs di negeri itu. Yang kedua adalah makelar PACs sebanyak $6.290.108, disusul oleh Asosiasi Medis Amerika sebanyak $5.702.133 40

Telaah lain menunjukkan bahwa para senator yang memberikan suara yang mendukung perundang-undangan pro Israel pada 1985-1986 menerima rata-rata $54.223 dari PACs pro Israel; mereka yang memberikan suara sebaliknya menerima rata-rata $166.

Para senator yang terpilih atau terpilih kembali pada 1986 menerima $1,9 juta dari PACs pro Israel, hampir tiga kali lipat dari yang mereka kumpulkan dari PACs semua kelompok ideologi lainnya.

Seperti yang telah ditulis oleh pengarang Edward Tivnan: "Beberapa politisi Amerika yang ambisius tidak dapat memimpikan jabatan yang lebih tinggi tanpa mengharapkan uang Yahudi."



Wakil Presiden Dan Quayle berkata: "Sebagai orang Amerika Anda mempunyai hak untuk menyuarakan dukungan Anda pada Negara Israel... Akses menuju proses politik bukanlah keistimewaan suatu kelompok. Itu adalah hak."

Bereskan Kongres

Saat berlangsungnya perang 1973, terjadi suatu pertemuan menegangkan antara Laksamana Thomas Moorer, pemimpin Gabungan Kepala Staf, dan atase militer Israel Mordecai Gur.

Gur menuntut agar Amerika Serikat memberi Israel pesawat-pesawat tempur yang dilengkapi misil anti-tank udara-ke-darat Maverick. Moorer menjelaskan bahwa Amerika Serikat hanya memiliki satu skuadron pesawat-pesawat semacam itu dan bahwa Kongres "akan mencak-mencak" jika yang itu diberikan.

Moorer mengenang: "Gur berkata padaku, 'Anda dapatkan pesawat-pesawat itu; saya akan bereskan Kongres.'"

Moorer menambahkan: "Dan dia berhasil. Saya belum pernah melihat seorang Presiden --saya tidak peduli siapa pun dia-- yang berani menentang mereka [orang-orang Israel]. Ini benar-benar memusingkan. Mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan."

Contoh lain terjadi saat berlangsungnya perang yang sama ketika Israel merasa bahwa Amerika Serikat tidak menyediakan pasokan yang mencukupi baginya.



Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Simcha Dinitz, mengancam Menteri Luar Negeri Henry Kissinger bahwa "jika sistem angkutan udara besar-besaran Amerika ke Israel tidak segera dimulai maka saya akan tahu bahwa Amerika Serikat mengingkari janji-janji dan kebijaksanaannya, dan kami harus menarik kesimpulan-kesimpulan sangat serius dari semua ini."

Kalb bersaudara, yang banyak mewawancarai Dinitz untuk biografi mereka tentang Kissinger, memberikan penilaian atas perkataan ini: "Dinitz tidak harus menterjemahkan pesannya. Kissinger dengan segera memahami bahwa orang-orang Israel akan segera 'go public' dan bahwa akan timbul sentimen pro Israel yang akan berdampak sangat buruk terhadap pemerintahan yang memang telah lemah itu."

Presiden Carter

Paul Findley memberi contoh intimidasi lainnya yang melibatkan Presiden Carter dan Menteri Luar Negeri Israel Moshe Dayan.

Dalam suatu pertemuan pada 1977 mengenai proses perdamaian, Carter tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan dan berkata: "Mari kita bicara politik."

Carter mengakui bahwa dia berada dalam kesulitan politik dengan Kongres dan orang-orang Yahudi Amerika. Pengakuan naif ini memberikan pada Dayan suatu keuntungan perundingan yang penting. Dayan memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya.



Dia mengemukakan pada Presiden Carter sejumlah syarat untuk menyetujui perdamaian dengan Mesir: tidak boleh ada tekanan Amerika untuk memaksakan suatu penyelesaian, tidak ada potongan dalam bantuan militer dan ekonomi pada Israel, dan, akhirnya, suatu pernyataan oleh Amerika Serikat bahwa Israel tidak harus kembali ke perbatasan-perbatasan tahun 1967.

Menurut Paul Findley, jika syarat-syarat ini disetujui Carter, maka "Dayan dapat mengatakan pada orang-orang Yahudi Amerika bahwa persetujuan telah tercapai dan mereka akan senang."

Dayan menambahkan: "Namun jika dia mengatakan bahwa Israel berbicara dengan PLO mengenai suatu negara Palestina, maka akan timbul kecaman di Amerika Serikat dan Israel."

Ini hampir sama dengan pemerasan, menurut pendapat beberapa diplomat AS, namun Carter tidak memprotes apa pun dan hanya mengemukakan pernyataan lunak bahwa suatu konfrontasi juga tidak akan mendatangkan kebaikan pada Israel.

Pada 1972, Yitzhak Rabin tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan publiknya bagi kampanye pemilihan kembali Richard Nixon ketika Rabin berkedudukan sebagai duta besar Israel di Washington.

Dalam suatu wawancara pada radio nasional Israel, Rabin berkata: "Sementara kita menghargai dukungan dalam bentuk kata-kata yang kita dapatkan dari satu kamp, kita harus lebih memilih dukungan dalam bentuk perbuatan yang kita dapatkan dari kamp lainnya."

The Washington Post merasa begitu tersinggung dengan apa yang disebutnya campur tangan Rabin dalam politik dalam negeri Amerika sehingga dia dengan keras mengecam Rabin dalam sebuah tajuk rencana berjudul: "Diplomat Yang Tidak Diplomatis."



Hari Kekejian

Pada pertemuan AIPAC tahun 1992, Direktur Eksekutif AIPAC Dine secara langsung menentang Presiden Bush karena perkataannya pada bulan September sebelumnya yang mengecam upaya-upaya lobi AIPAC untuk mendapatkan garansi pinjaman $10 miliar bagi Israel.

Dine mengatakan bahwa Bush telah "mempertanyakan hak para warga negara Amerika... untuk melakukan lobi dalam masalah ini. Tanggal 12 September 1992 menjadi hari kekejian bagi komunitas Amerika pro-Israel. Seperti gajah India, kita tidak akan lupa. Kita tidak akan pergi. Kita ada di sini. Dan kita tidak mau diintimidasi."

Dine mengatakan bahwa masalah garansi pinjaman $10 milyar belum lewat: "Kita tidak dapat dan tidak mau menyerah sampai kita berhasil. Pada akhirnya, kita akan berhasil, mendapatkan garansi ini. Tugas kita baru saja dimulai. Kita perlu mendapatkan kawan-kawan baru untuk dibawa ke kongres."

Pada 1992 AIPAC terkena serangkaian pukulan keras. Pada bulan Agustus Yitzhak Rabin, yang baru menjabat sebagai perdana menteri, secara terbuka mencela organisasi itu. Karena semangatnya untuk melicinkan jalan guna mendapatkan persetujuan Bush yang diharapkan atas garansi pinjaman $10 miliar untuk Israel, dan pada saat yang sama menguatkan kontrol pribadinya atas hubungan AS-Israel.



Rabin menujukan kata-kata keras pada para pemimpin AIPAC: "Kalian telah gagal dalam segalanya. Kalian telah kalah perang. Kalian menciptakan terlalu banyak permusuhan."

Pada bulan November Presiden AIPAC David Steiner meletakkan jabatannya ketika koran-koran mempublikasikan klaim-klaimnya menyangkut pengaruh lobi yang kuat di kalangan staf presiden terpilih, Bill Clinton.

Pada pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum, sebagian dari para pendukung lobi yang paling vokal dan dapat dipercaya ternyata kalah; yang menonjol di antara mereka adalah Senator W. Kasten, Jr., dan Wakil Stephen J. Solarz dari New York, Mel Levine dari California, dan Lawrence J. Smith dari Florida.

Meskipun terjadi kemunduran, ramalan-ramalan tentang "pencairan" di AIPAC tidaklah berdasar. Dengan anggaran tahunan $15 juta dan lebih dari 55.000 pendukung kuat, banyak di antaranya yang mempunyai pengaruh politik, kelangsungan hidup lobi itu tetap terjamin.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1368 seconds (0.1#10.140)