Mesin Pembunuh Digital Israel Bernama Habsora atau Injil

Selasa, 05 Desember 2023 - 11:15 WIB
loading...
Mesin Pembunuh Digital Israel Bernama Habsora atau Injil
Anak-anak Palestina yang menjadi korban gesida Israel. Foto/Ilustarsi: Al Jazeera
A A A
Perang Israel di Gaza telah menyebabkan serangan baru dan mematikan di daerah kantong Palestina . Serangan gencar tersebut, didukung oleh sistem kecerdasan buatan (AI) yang menurut para ahli tidak pandang bulu dan pada dasarnya salah.

Sistem AI itu bertajuk Habsora. Itu adalah Bahasa Ibrani untuk menyebut Injil . AI ini konon dapat menghasilkan target dengan kecepatan lebih cepat dari sebelumnya, memfasilitasi apa yang oleh seorang mantan perwira intelijen disebut sebagai "pabrik pembunuhan massal".



Sistem senjata ini dipromosikan dapat dengan cepat dan otomatis mengidentifikasi target, jauh lebih cepat dibandingkan metode lama.

"Jika dalam kampanye pengeboman sebelumnya, tentara Israel secara manual memilih 50 target per hari, kini sistem baru menyediakan 100 target," tulis Dr Marc Owen Jones dalam artikelnya berjudul "Fact or fiction? Israeli maps and AI do not save Palestinian lives" yang dilansir Al Jazeera 4 Desember 2023. .

Menurut salah satu sumber yang dikutip majalah +972, senjata ini telah mengubah tentara Israel menjadi “pabrik pembunuhan massal”, lebih fokus pada “kuantitas dan bukan kualitas”.

Majalah tersebut melaporkan bahwa tentara Israel yang menggunakan sistem penargetan AI mengetahui jumlah warga sipil yang akan mereka bunuh; itu ditampilkan dalam kategori "kerusakan tambahan" di file target.

Tentara Israel telah mengategorikan ambang batas kematian warga sipil, berkisar antara lima hingga ratusan. Perintah “collateral damage five”, misalnya, berarti tentara Israel diberi wewenang untuk membunuh target yang juga akan membunuh 5 warga sipil.



Dalam konteks yang lebih tinggi, “komando militer Israel dengan sadar menyetujui pembunuhan ratusan warga sipil Palestina dalam upaya membunuh seorang komandan militer Hamas”, majalah +972 melaporkan.

Para pejabat mengakui kepada media tersebut bahwa rumah anggota Hamas dan faksi bersenjata Palestina lainnya yang berpangkat lebih rendah sengaja dijadikan sasaran, bahkan jika itu berarti membunuh semua orang di dalam gedung tersebut.

Salah satu kasus menunjukkan intelijen tentara Israel menyetujui pembunuhan ratusan warga Palestina untuk membunuh satu anggota Hamas.

"Ini adalah pertama kalinya mereka berbicara tentang bagaimana warga sipil menjadi sasaran dalam skala besar hanya karena menyerang satu sasaran militer berdasarkan teknologi AI,” kata Anwar Mhajne, profesor ilmu politik di Stonehill College, Massachusetts, kepada Middle East Eye.

Mengingat bahwa Israel menganggap 30.000 anggota Hamas di Gaza sebagai target potensial, hal ini berarti bahwa “pemusnahan” gerakan tersebut akan mengakibatkan banyak korban jiwa warga sipil. "Jika kita menggunakan kerusakan tambahan lima terendah, perkiraan paling konservatif berjumlah 150.000 warga sipil," jelas Dr Marc Owen Jones yang Asisten Profesor Studi Timur Tengah dan Humaniora Digital di Universitas Hamad bin Khalifa ini.



Tentu saja, seiring dengan digantikannya para pemimpin Hamas yang terbunuh, menurut Dr Marc Owen Jones, ratusan warga Palestina lainnya akan terbunuh karena sistem AI menghasilkan lebih banyak target baru.

"Karena Hamas tidak dapat dikalahkan secara militer, satu-satunya hasil logis dari hal ini adalah pembunuhan terus-menerus atau pemindahan semua orang di Gaza," tambah Dr Marc Owen Jones.

Elemen lain yang mengganggu dari AI adalah ia mereproduksi bias yang telah dilatihnya. Secara historis, Israel kurang memperhatikan kehidupan warga sipil dalam pemboman yang dilakukannya. Kita harus bertanya-tanya sejauh mana AI yang penuh rahasia ini telah belajar mengasosiasikan warga Palestina dengan “teroris Hamas” berdasarkan perilaku tentara Israel di masa lalu. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa mereka mampu menghasilkan begitu banyak “target” baru untuk pengeboman.

Propaganda Presisi

Dr Marc Owen Jones mengatakan Israel gemar menyombongkan moralitas dan kemampuan serangannya yang berteknologi tinggi dan presisi, yang ironisnya hanya sebagai cara untuk membela diri terhadap klaim penyerangan terhadap warga sipil tanpa pandang bulu dan tuduhan kejahatan perang.



Karakterisasi kecanggihan teknologi tentara Israel ini juga digunakan oleh AS untuk membantu membenarkan dukungannya terhadap Israel. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, misalnya, menyatakan bahwa “Israel memiliki… salah satu militer tercanggih di dunia. Ia mampu menetralisir ancaman yang ditimbulkan oleh Hamas dan meminimalkan kerugian terhadap laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tidak bersalah.”

Namun semakin AS dan Israel mempromosikan narasi kehebatan teknologinya, Dr Marc Owen Jones mengatakan, semakin besar pula unsur bahaya hukum yang mereka timbulkan.

“Semakin besar kemampuan presisi seorang penyerang, semakin kuat karakterisasi serangan yang menyerang warga sipil atau objek sipil sebagai serangan yang sembrono,” tambah profesor hukum internasional Michael Schmitt.

Dengan kata lain, tentara berteknologi tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk mencoba dan “membuktikan” bahwa mereka tidak gegabah. Semakin Israel dan AS membanggakan kehebatan teknis Israel, semakin banyak orang mempertanyakan mengapa begitu banyak warga sipil yang terbunuh.



Satu-satunya jawaban adalah Israel memiliki senjata presisi, namun masih menargetkan orang tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, teknologi canggih, bukannya memenuhi tujuan presisi dan pencegahan, malah dijadikan senjata sebagai alat pembunuhan dan pemusnahan massal. "Dengan kata lain, apa yang kita lihat di Gaza adalah genosida yang dibantu oleh AI," demikian Dr Marc Owen Jones. "Fokus sistem Habsora adalah pada kuantitas, bukan kualitas."

Kementerian Kesehatan Palestina mengumumkan pada hari Senin bahwa jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai 15.899 sejak perang dimulai pada 7 Oktober. Kementerian menyatakan bahwa 70 persen dari mereka yang terbunuh adalah anak-anak dan perempuan.

Militer Israel dilaporkan yakin telah membunuh 1.000-2.000 anggota Hamas di Gaza sejak 7 Oktober.

“Kita berbicara tentang ribuan warga sipil yang terbunuh [karena penggunaan] teknologi tersebut,” kata Mona Shtaya, peneliti non-residen di Tahrir Institute for Middle East Policy yang berbasis di Washington, kepada MEE.

Bukan Hal Baru

Menurut Shtaya, penggunaan AI oleh Israel sebagai alat militer dan pengawasan bukanlah hal baru dan juga bukan hal yang tidak terduga.



“AI adalah bagian dari sistem pengawasan yang lebih besar, dimana warga Palestina hidup di bawah pengawasan terus-menerus,” katanya.

Pada tahun 2021, investigasi Washington Post mengungkapkan bahwa tentara Israel menggunakan program pengenalan wajah yang ekstensif untuk meningkatkan pengawasan mereka terhadap warga Palestina di kota Hebron di Tepi Barat yang diduduki. Tentara juga memasang kamera pemindai wajah di seluruh kota “untuk membantu tentara di pos pemeriksaan mengidentifikasi warga Palestina bahkan sebelum mereka menunjukkan kartu identitas mereka”.

Pada tahun yang sama, Amazon Web Service dan Google menandatangani kesepakatan senilai $1,2 miliar dengan pemerintah Israel yang dikenal sebagai Project Nimbus. Karyawan di kedua perusahaan ini memperingatkan bahwa layanan cloud ini "memungkinkan pengawasan lebih lanjut dan pengumpulan data yang melanggar hukum mengenai warga Palestina, dan memfasilitasi perluasan pemukiman ilegal Israel di tanah Palestina".

Israel juga dilaporkan menggunakan AI dalam serangan besar sebelumnya di Gaza pada tahun 2021, yang disebut sebagai “perang AI pertama di dunia”. Selama pertempuran 11 hari ini, drone dilaporkan membunuh warga sipil, merusak sekolah dan klinik medis, serta meratakan gedung-gedung bertingkat.



Kini, sistem yang lebih maju digunakan dalam perang di Gaza untuk memprediksi jumlah korban sipil yang akan ditimbulkan oleh serangan tersebut.

Eksportir Senjata

Israel juga merupakan eksportir senjata terbesar ke-10 di dunia, dengan reputasi yang sangat kuat dalam bidang keamanan siber dan persenjataan AI.

“Mereka menguji sesuatu terhadap warga Palestina. Itulah sebabnya Israel memimpin dalam pengembangan keamanan siber dan AI, karena mereka memiliki tempat pengujian,” kata Mhajne.

“Tidak ada yang berbicara dengan mereka tentang bagaimana mereka mengembangkannya dan bagaimana mereka mengujinya. Saya jamin bahwa teknologi ini, setelah perang, akan dijual ke setiap rezim represif yang Anda kenal.”

Shtaya setuju, dan mengatakan bahwa teknologi peperangan AI seperti Habsora “hanya digunakan untuk mengesankan, dan membuat pekerjaan mereka lebih mudah dalam menghancurkan Jalur Gaza”.

Meskipun sistem ini masih berada di tangan militer Israel saat ini, pakar Israel yakin hal itu akan berubah.

“Di masa depan, orang-orang yang bekerja di sana akan beralih ke sektor swasta dan membuat barang-barang serupa dan mengekspornya, tentu saja,” katanya, seraya mengklaim bahwa penjualan senjata Israel telah meroket. “Perang ini sudah berdampak besar bagi pedagang dan ekspor senjata Israel.”



Meskipun banyak yang menyerukan agar Israel bertanggung jawab atas tindakannya di Gaza, dengan peringatan dari badan-badan PBB bahwa tindakan tersebut dapat mengarah pada tuduhan kejahatan perang dan genosida, meminta pertanggungjawaban Israel atas penggunaan AI mungkin akan lebih rumit.

Meskipun beberapa negara dan organisasi internasional mengatur penggunaan AI untuk keperluan militer dengan menyatakan bahwa penggunaan AI harus tetap berada dalam batas-batas hukum internasional, hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada peraturan khusus AI terkait peperangan.

Selain itu, Israel sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengatur penggunaan teknologi baru ini, meskipun hal itu berarti membunuh lebih banyak warga sipil.

Komite Internasional Palang Merah percaya bahwa AI dapat menjadi alat yang memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam konflik dan membantu menghindari korban sipil. Shtaya juga meyakini kemajuan teknologi ini, jika digunakan dengan benar, secara umum dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

“Sangat menyakitkan dan menyedihkan melihat teknologi seperti ini digunakan oleh negara untuk menindas masyarakat dan membuat hidup mereka lebih sulit, hanya untuk mendapatkan hukuman kolektif,” katanya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2327 seconds (0.1#10.140)