Begini Jawaban Nabi Adam saat Nabi Musa Menyalahkannya
loading...
A
A
A
Nabi Muhammad SAW pernah menceritakan kisah perdebatan antara Nabi Adam dan Nabi Musa . Dalam perdebatan itu, Nabi Musa as menyalahkan Nabi Adam as sebab lantaran perbuatannya menyebabkan umat manusia keluar dari surga.
"Wahai Adam, dirimulah yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri. Allah telah meniupkan pada dirimu dari roh-Nya. Namun engkaulah yang telah menyengsarakan manusia dan membuat mereka keluar dari surga," ujar Nabi Musa.
Nabi Adam menjawab, "Wahai Musa, sebagai orang yang telah Allah sucikan dengan kalam-Nya, mengapa engkau menyakiti diriku atas amal perbuatan yang telah aku lakukan? Allah telah mencatat (mentakdirkan) hal itu atas diriku sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi ini."
Hadis ini dari Abu Hurairah ra . Rasulullah berkata, "Nabi Adam dapat menyalahkan Nabi Musa dalam perdebatan itu."
Hadis perdebatan antara Nabi Adam dan Nabi Musa tersebut tercatat dalam kitab Sunan Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah.
Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor , Guru Besar Universitas Islam Yordania, dalam buku "Kisah-Kisah Shahih Dalam Al-Qur’an dan Sunnah" menjelaskan kisah ini hanya bisa diketahui melalui wahyu, karena ia berbicara tentang pertemuan yang tidak disaksikan oleh manusia.
Pertemuan ini terwujud atas dasar permintaan dari Nabi Musa. "Kita tidak tahu bagaimana hal ini terwujud, akan tetapi kita yakin bahwa ia terjadi karena berita Rasulullah SAW pastilah benar," tulisnya.
Pertemuan seperti ini terjadi manakala Rasulullah SAW bertemu dengan para Nabi dan Rasul di malam Isra' dan beliau salat berjamaah dengan mereka sebagai imam di masjid Al-Aqsa. Dan pada saat Mikraj ke langit beliau berbincang dengan sebagian dari mereka.
Tujuan Nabi Musa dengan pertemuan itu adalah untuk berbincang-bincang langsung dengan Nabi Adam dan menyalahkannya karena Nabi Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari surga lantaran dosa yang dilakukannya.
Akan tetapi pada saat itu Nabi Adam mengemukakan alasan yang membuat Nabi Musa terdiam.
Beratnya Dunia
Kehidupan dunia adalah kelelahan dan kepayahan.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." ( QS Al-Balad : 4).
Kelelahan ini terlihat di dalam segala urusan. Suapan yang dimakan oleh seseorang tidak diperoleh kecuali dengan kelelahan.
Seteguk minum juga demikian. Bahkan pakaian dan tempat tinggal. Lebih dari semua itu, penyakit-penyakit yang menimpa manusia, musuh-musuh dan kawan-kawannya mendatangkan problem baginya. Gangguan pun bisa datang dari anak-anak dan kerabatnya.
Nabi Musa telah merasakan apa yang dirasakannya dari Fir'aun dan bala tentaranya. Dia kabur dari Mesir ke Madyan setelah membunuh laki-laki Qibti.
Di Madyan, Musa menggembala kambing selama sepuluh atau delapan tahun. Dan setelah Allah mengangkatnya menjadi Rasul, Nabi Musa menghadapi Fir'aun.
Nabi Musa menghadapi kebengalan dan kenakalan Bani Israil. Mungkin pada suatu waktu terbetik di pikiran Nabi Musa bahwa penyebab kelelahan ini adalah Nabi Adam, yang telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari Surga.
Pada masa itu, Allah telah meminta Nabi Adam agar tinggal di surga setelah menciptakannya. Allah mengizinkan buah-buahnya dan sungai-sungainya kecuali satu pohon. Allah menjamin kepada Adam tidak akan lapar dan telanjang, dia juga tidak akan haus dan tidak terkena sengatan matahari.
Manakala Adam durhaka kepada Tuhannya dengan memakan pohon terlarang, maka Allah menurunkannya dari rumah kekekalan ke rumah kelelahan, dan manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan perjuangan yang berat.
Oleh karena itu, ketika Musa bertemu dengan bapaknya, Adam, dia mencelanya atas perbuatannya yang membuat dirinya dan anak cucunya keluar dari Surga.
Dalam perbincangan tersebut Musa mengingatkan Adam akan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepadanya, di mana Allah menciptakannya dengan tangan-Nya, sementara makhluk yang lain diciptakan dengan kata "Kun".
Allah meniupkan roh-Nya padanya, menyuruh para Malaikat bersujud kepadanya, mengizinkannya tinggal di Surga; dan barangsiapa diberi kemuliaan itu oleh Allah, maka tidak sepantasnya ia tidak mendurhakai-Nya sehingga tidak menurunkan dirinya dan anak cucunya dari Surga.
Adam merespon celaan Musa dengan celaan juga. Adam membantah ucapan Musa. Dia mengingkari Musa, bagaimana sikap menyalahkan ini bisa keluar dari orang seperti Musa.
Adam menyebutkan keutamaan Musa yang diberikan Allah kepadanya. Adam berkata kepada Musa, "Kamu Musa yang telah diangkat oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya. Dia memberimu Lauh yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu. Dia mendekatkanmu kepada-Nya ketika kamu bermunajat. Berapa lama kamu mendapati Allah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?"
Adam bertanya, "Apakah kamu mendapati, 'Dan Adam durhaka kepada Tuhannya, maka dia sesat (QS Thaha: 121). " Musa menjawab, "Ya."
Adam berkata, "Apakah kamu menyalahkanku karena satu perbuatan yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?"
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa Adam mengungguli ucapan Musa.
Mungkin ada yang bertanya, "Bagaimana bisa itu? Bagaimana Adam unggul dalam argumennya?" Jawabannya adalah bahwa Musa menyalahkan Adam karena Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari Surga.
Maka Adam menjawabnya, "Saya tidak mengeluarkan kalian dari Surga, akan tetapi Allahlah yang menjadikan keluarnya diriku sebagai karena aku memakan pohon."
Maka pengeluaran Adam bukan sesuatu yang lazim jika ia tidak diinginkan oleh Allah Tabaraka wa Taala, karena mungkin saja Allah mengampuninya tanpa mengeluarkannya dari Surga dan mungkin juga Allah menghukum Adam dengan hukuman lain, bukan dengan mengeluarkannya dari Surga, akan tetapi hikmah-Nya menuntut mengeluarkan Adam dari Surga karena kebaikan yang banyak dan besar yang diketahui oleh-Nya.
Oleh karena itu, Adam mencela Musa atas celaannya kepadanya karena satu perkara yang telah dikehendaki dan ditakdirkan oleh Allah dan hal itu sendiri bukan sesuatu yang lazim dari perbuatan Adam.
"Ya Musa, Allah telah mengangkatmu dengan Kalam-Nya dan Dia menulis untukmu dengan tangan-Nya, apakah kamu menyalahkanku hanya karena perkara yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?" ujar Nabi Adam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Maka Adam mengungguli Musa." Tiga kali.
Kisah tersebut berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab wafat Musa, 6/440, no. 3407; dalam Kitab Tafsir, bab 'Dan Aku memilihmu untuk diri-Ku' (QS. Thaha: 41), 8/434, no. 4736; dalam Kitabul Qadar, bab dialog Adam dengan Musa, 11/505, no. 6614; di Kitabut Tauhid, bab keterangan tentang firman Allah, "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung." (QS. An-Nisa: 164)
Hadis ini membantah para pendusta takdir, karena hadis ini menetapkan takdir terdahulu dan dalil-dalil yang menetapkan takdir adalah dalil-dalil yang ketetapannya pasti dan dalalah-nya juga pasti, maka tidak ada peluang untuk mendustakan dan mengingkari takdir.
Barangsiapa mendustakannya, maka dia tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya.
Hadis ini dicatut oleh kelompok Jabariiyah di mana –kata mereka– hamba adalah orang yang terpaksa dalam perbuatannya. Padahal, kata Menurut Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor, hadis ini tidak menunjukkan itu. Adam tidak membantah Musa dengan cara ini. Dan masalahnya adalah seperti yang telah aku jelaskan dan aku tetapkan.
"Wahai Adam, dirimulah yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri. Allah telah meniupkan pada dirimu dari roh-Nya. Namun engkaulah yang telah menyengsarakan manusia dan membuat mereka keluar dari surga," ujar Nabi Musa.
Nabi Adam menjawab, "Wahai Musa, sebagai orang yang telah Allah sucikan dengan kalam-Nya, mengapa engkau menyakiti diriku atas amal perbuatan yang telah aku lakukan? Allah telah mencatat (mentakdirkan) hal itu atas diriku sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi ini."
Hadis ini dari Abu Hurairah ra . Rasulullah berkata, "Nabi Adam dapat menyalahkan Nabi Musa dalam perdebatan itu."
Hadis perdebatan antara Nabi Adam dan Nabi Musa tersebut tercatat dalam kitab Sunan Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah.
Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor , Guru Besar Universitas Islam Yordania, dalam buku "Kisah-Kisah Shahih Dalam Al-Qur’an dan Sunnah" menjelaskan kisah ini hanya bisa diketahui melalui wahyu, karena ia berbicara tentang pertemuan yang tidak disaksikan oleh manusia.
Pertemuan ini terwujud atas dasar permintaan dari Nabi Musa. "Kita tidak tahu bagaimana hal ini terwujud, akan tetapi kita yakin bahwa ia terjadi karena berita Rasulullah SAW pastilah benar," tulisnya.
Pertemuan seperti ini terjadi manakala Rasulullah SAW bertemu dengan para Nabi dan Rasul di malam Isra' dan beliau salat berjamaah dengan mereka sebagai imam di masjid Al-Aqsa. Dan pada saat Mikraj ke langit beliau berbincang dengan sebagian dari mereka.
Tujuan Nabi Musa dengan pertemuan itu adalah untuk berbincang-bincang langsung dengan Nabi Adam dan menyalahkannya karena Nabi Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari surga lantaran dosa yang dilakukannya.
Akan tetapi pada saat itu Nabi Adam mengemukakan alasan yang membuat Nabi Musa terdiam.
Beratnya Dunia
Kehidupan dunia adalah kelelahan dan kepayahan.
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." ( QS Al-Balad : 4).
Kelelahan ini terlihat di dalam segala urusan. Suapan yang dimakan oleh seseorang tidak diperoleh kecuali dengan kelelahan.
Seteguk minum juga demikian. Bahkan pakaian dan tempat tinggal. Lebih dari semua itu, penyakit-penyakit yang menimpa manusia, musuh-musuh dan kawan-kawannya mendatangkan problem baginya. Gangguan pun bisa datang dari anak-anak dan kerabatnya.
Nabi Musa telah merasakan apa yang dirasakannya dari Fir'aun dan bala tentaranya. Dia kabur dari Mesir ke Madyan setelah membunuh laki-laki Qibti.
Di Madyan, Musa menggembala kambing selama sepuluh atau delapan tahun. Dan setelah Allah mengangkatnya menjadi Rasul, Nabi Musa menghadapi Fir'aun.
Nabi Musa menghadapi kebengalan dan kenakalan Bani Israil. Mungkin pada suatu waktu terbetik di pikiran Nabi Musa bahwa penyebab kelelahan ini adalah Nabi Adam, yang telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari Surga.
Pada masa itu, Allah telah meminta Nabi Adam agar tinggal di surga setelah menciptakannya. Allah mengizinkan buah-buahnya dan sungai-sungainya kecuali satu pohon. Allah menjamin kepada Adam tidak akan lapar dan telanjang, dia juga tidak akan haus dan tidak terkena sengatan matahari.
Manakala Adam durhaka kepada Tuhannya dengan memakan pohon terlarang, maka Allah menurunkannya dari rumah kekekalan ke rumah kelelahan, dan manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan perjuangan yang berat.
Oleh karena itu, ketika Musa bertemu dengan bapaknya, Adam, dia mencelanya atas perbuatannya yang membuat dirinya dan anak cucunya keluar dari Surga.
Dalam perbincangan tersebut Musa mengingatkan Adam akan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepadanya, di mana Allah menciptakannya dengan tangan-Nya, sementara makhluk yang lain diciptakan dengan kata "Kun".
Allah meniupkan roh-Nya padanya, menyuruh para Malaikat bersujud kepadanya, mengizinkannya tinggal di Surga; dan barangsiapa diberi kemuliaan itu oleh Allah, maka tidak sepantasnya ia tidak mendurhakai-Nya sehingga tidak menurunkan dirinya dan anak cucunya dari Surga.
Adam merespon celaan Musa dengan celaan juga. Adam membantah ucapan Musa. Dia mengingkari Musa, bagaimana sikap menyalahkan ini bisa keluar dari orang seperti Musa.
Adam menyebutkan keutamaan Musa yang diberikan Allah kepadanya. Adam berkata kepada Musa, "Kamu Musa yang telah diangkat oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya. Dia memberimu Lauh yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu. Dia mendekatkanmu kepada-Nya ketika kamu bermunajat. Berapa lama kamu mendapati Allah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?"
Adam bertanya, "Apakah kamu mendapati, 'Dan Adam durhaka kepada Tuhannya, maka dia sesat (QS Thaha: 121). " Musa menjawab, "Ya."
Adam berkata, "Apakah kamu menyalahkanku karena satu perbuatan yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?"
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa Adam mengungguli ucapan Musa.
Mungkin ada yang bertanya, "Bagaimana bisa itu? Bagaimana Adam unggul dalam argumennya?" Jawabannya adalah bahwa Musa menyalahkan Adam karena Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari Surga.
Maka Adam menjawabnya, "Saya tidak mengeluarkan kalian dari Surga, akan tetapi Allahlah yang menjadikan keluarnya diriku sebagai karena aku memakan pohon."
Maka pengeluaran Adam bukan sesuatu yang lazim jika ia tidak diinginkan oleh Allah Tabaraka wa Taala, karena mungkin saja Allah mengampuninya tanpa mengeluarkannya dari Surga dan mungkin juga Allah menghukum Adam dengan hukuman lain, bukan dengan mengeluarkannya dari Surga, akan tetapi hikmah-Nya menuntut mengeluarkan Adam dari Surga karena kebaikan yang banyak dan besar yang diketahui oleh-Nya.
Oleh karena itu, Adam mencela Musa atas celaannya kepadanya karena satu perkara yang telah dikehendaki dan ditakdirkan oleh Allah dan hal itu sendiri bukan sesuatu yang lazim dari perbuatan Adam.
"Ya Musa, Allah telah mengangkatmu dengan Kalam-Nya dan Dia menulis untukmu dengan tangan-Nya, apakah kamu menyalahkanku hanya karena perkara yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum Dia menciptakanku?" ujar Nabi Adam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Maka Adam mengungguli Musa." Tiga kali.
Kisah tersebut berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab wafat Musa, 6/440, no. 3407; dalam Kitab Tafsir, bab 'Dan Aku memilihmu untuk diri-Ku' (QS. Thaha: 41), 8/434, no. 4736; dalam Kitabul Qadar, bab dialog Adam dengan Musa, 11/505, no. 6614; di Kitabut Tauhid, bab keterangan tentang firman Allah, "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung." (QS. An-Nisa: 164)
Hadis ini membantah para pendusta takdir, karena hadis ini menetapkan takdir terdahulu dan dalil-dalil yang menetapkan takdir adalah dalil-dalil yang ketetapannya pasti dan dalalah-nya juga pasti, maka tidak ada peluang untuk mendustakan dan mengingkari takdir.
Barangsiapa mendustakannya, maka dia tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya.
Hadis ini dicatut oleh kelompok Jabariiyah di mana –kata mereka– hamba adalah orang yang terpaksa dalam perbuatannya. Padahal, kata Menurut Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor, hadis ini tidak menunjukkan itu. Adam tidak membantah Musa dengan cara ini. Dan masalahnya adalah seperti yang telah aku jelaskan dan aku tetapkan.
(mhy)