Genosida Israel: Ketika Mesir Ketakutan dengan Serangan Zionis di Rafah

Selasa, 20 Februari 2024 - 12:16 WIB
loading...
Genosida Israel: Ketika Mesir Ketakutan dengan Serangan Zionis di Rafah
Pengungsi Palestina di Rafah. Foto/Ilustrasi: MEE
A A A
Pihak berwenang Mesir tampaknya sudah merencanakan masuknya pengungsi Palestina dari Rafah ke negerinya. Namun mereka tampaknya lebih memilih menjaga hubungan dengan Israel .

Ketika militer Israel merencanakan serangan darat di kota Rafah di Gaza , di selatan perbatasan Mesir, Negeri Pramida itu bersiap menghadapi kemungkinan terburuk - dengan krisis kemanusiaan dan ancaman terhadap perjanjian damai dengan Israel yang semakin dekat.

Rafah adalah tempat perlindungan terakhir bagi hampir 1,4 juta warga Palestina yang melarikan diri dari pemboman ganas Israel di Jalur Gaza. Dulunya ditetapkan sebagai “zona aman” bagi mereka yang terpaksa mengungsi akibat perang Israel di Gaza, namun belakangan ini menjadi sasaran pemboman udara mematikan oleh pesawat Israel dan quadcopter yang dikendalikan dari jarak jauh.



Sebelum perang, kota ini adalah rumah bagi sekitar 250.000 orang. Kini, pengungsi Palestina, termasuk 600.000 anak-anak, berdesakan di tenda darurat di area seluas 62 km persegi. Pekerja bantuan mengatakan kepada MEE minggu ini bahwa operasi darat Israel di daerah padat penduduk akan menyebabkan “bencana” kemanusiaan dan layanan kesehatan.

Ditambah lagi dengan kemungkinan penempatan pasukan Israel di sepanjang perbatasan Mesir dengan Gaza, dapat berdampak pada perjanjian perdamaian dengan Israel – meskipun hal ini dibantah oleh Menteri Luar Negeri Sameh Shoukri.

Ketika Israel dan Mesir menandatangani perjanjian perdamaian tahun 1979, kota Rafah terpecah. Pasukan Israel menarik diri dari semenanjung Sinai yang mereka duduki sejak tahun 1967, dan perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza dibuat, membagi Rafah menjadi dua bagian: satu bagian Mesir dan satu lagi bagian Palestina.

Salah satu ketentuan utama perjanjian itu adalah menetapkan empat zona di Sinai dan Israel sebagai zona demiliterisasi. Rafah di sisi Mesir termasuk dalam Zona C, yang hanya memungkinkan pengerahan pasukan polisi sipil bersenjatakan senjata ringan, serta pasukan penjaga perdamaian PBB.



Namun Israel memberikan pengecualian terhadap ketentuan ini selama satu dekade terakhir, ketika pemerintahan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut untuk melawan pemberontakan.

Kunci untuk menjaga perdamaian dan keamanan di sepanjang perbatasan adalah Rute Philadelphi, yang juga dikenal sebagai Koridor Philadelphi: zona penyangga demiliterisasi sepanjang 14 km dan lebar 100 meter di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Mesir. Israel, yang pasukannya kemudian menduduki Gaza, diberi kendali atas koridor tersebut berdasarkan perjanjian tahun 1979.

Kemudian, setelah Kesepakatan Philadelphi tahun 2005 dan keluarnya Israel dari Gaza, Otoritas Palestina mengambil alih koridor tersebut, dan sejak tahun 2007 Hamas telah mengawasi wilayah tersebut.

Bulan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel harus menduduki kembali koridor tersebut. “Koridor Philadelphi – atau lebih tepatnya, titik penghentian di selatan [Gaza] – harus berada di tangan kita,” katanya.

Jelas bahwa pengaturan lain tidak akan menjamin demiliterisasi yang kita inginkan.”

Sebagai tanggapan, pemerintah Mesir mengatakan pendudukan kembali koridor tersebut akan melanggar perjanjian damai.



Perjanjian Mesir-Israel

Menurut Djaouida Siaci, seorang pengacara internasional, pendudukan Israel di koridor Philadelphi dan setiap pengerahan tank di sana merupakan “pelanggaran terang-terangan” terhadap perjanjian perdamaian.

“Ini akan dianggap sebagai pendudukan ilegal di jalur sempit itu,” katanya kepada Middle East Eye.

Mohannad Sabry, seorang pakar dan penulis Sinai, setuju dengan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa pendudukan kembali tersebut merupakan “pelanggaran penuh” terhadap ketentuan keamanan perjanjian tersebut.

Bahkan ketika pasukan Israel menduduki Gaza sebelum tahun 2005, koridor Philadelphi tetap menjadi zona penyangga demiliterisasi, kata Sabry.

Namun, Sabry berpendapat, bahkan jika Israel melanggar perjanjian tersebut, konfrontasi militer penuh dengan Mesir sangat kecil kemungkinannya.

“Perjanjian damai tidak akan berhasil. Seperti yang dikatakan Menteri Shoukri, perjanjian itu akan tetap utuh,” katanya.

“Pernyataan bolak-balik di media adalah untuk konsumsi publik. Yang penting adalah apa yang terjadi secara tertutup, dalam pertemuan koordinasi intelijen di Kairo dan ibu kota lainnya.”



Joost Hiltermann, seorang analis di lembaga think tank International Crisis Group, mengatakan penangguhan perjanjian tersebut “tidak akan terjadi”.

“Hubungan antara Israel dan Mesir tetap kuat, meskipun apa yang terjadi di Gaza.”

Menurut Sabry, Mesir tidak berbuat banyak untuk menghadapi invasi Israel ke Gaza, meskipun hampir 30.000 warga Palestina terbunuh dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi ke perbatasannya.

Kekhawatiran utama Mesir mengenai serangan Rafah adalah masuknya warga Palestina dalam jumlah besar, bukannya perdamaian dengan Israel.

“Pendudukan kembali Rafah, termasuk atau tidak termasuk Koridor Philadelphi, pada dasarnya tidak ditolak,” kata Sabry. “Itu diterima dalam keadaan tertentu.”
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3261 seconds (0.1#10.140)