Cinta Bersemi Dua Sejoli Nabi Palsu di Yamamah
loading...
A
A
A
MASIH dengan tokoh perempuan yang mengaku nabi. Dia adalah Sajah binti Al Harits ibn Suwaid ibn Aqfan . Menurut Muhammad Husain Haekal , sebenarnya segala cerita tentang Sajah aneh semua. Segala yang diceritakan orang mengenai dirinya lebih menyerupai cerita-cerita rekaan. (
)
Sajah bermaksud ke Yamamah. Di sebuah desa yang sekarang ini disebut al-Jibliyah. Dekat dengan Uyainah di lembah Hanifah wilayah Nejd. Desa tempat lahir dan tinggal nabi palsu lainnya bernama Musailamah. ( )
Sejarawan berbeda pendapat tentang nama Musailamah. Ada yang mengatakan ia adalah Musailamah bin Hubaib al-Hanafi. Yang lain mengatakan Musailamah bin Tsamamah bin Katsir bin Hubaib al-Hanafi. Ada yang mengatakan kunyahnya adalah Abu Tsamamah. Ada pula yang menyebutnya Abu Harun.Haekal bahkan menyebut Musailimah.
Usia Musailamah lebih tua dan lebih panjang dibanding Rasulullah . Ada yang menyebutkan ia terbunuh pada usia 150 tahun saat Perang Yamamah. Ia adalah seorang tokoh agama di Yamamah dan telah memiliki pengikut sebelum wahyu kerasulan datang kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebelum mengaku sebagai nabi, Musailamah sering menyusuri jalan-jalan. Masuk ke pasar-pasar yang ramai oleh masyarakat Arab maupun non-Arab. Berjumpa dengan orang-orang berbagai macam profesi di sana. Pasar yang ia kunjungi semisal pasar di wilayah al-Anbar dan Hirah.
Musailamah berkepribadian kuat (strong personality). Pandai bicara. Memiliki pengaruh di tengah bani Hanifah dan kabilah-kabilah tetangga. Tutur katanya lembut. Pandai menarik simpati, bagi laki-laki maupun wanita. Ia menyebut dirinya Rahman al-Yamamah.
Kembali ke soal Sajah binti Al Harits. Muhammad Husain Haekal dalam As-Siddiq Abu Bakr menyebut, setelah ia dan pasukannya sampai di Yamamah, Musailamah takut dan khawatir, bahwa bila ia sibuk menghadapinya, ia akan dikalahkan oleh pasukan Muslimin atau oleh kabilah-kabilah berdekatan. Karenanya ia memberikan hadiah kepada Sajah yang dikirimkan sebagai tanda meminta keamanan untuk dirinya sampai ia datang menemui perempuan itu. ( )
Sajah dan pasukannya berhenti di sebuah mata air dan Musailamah diizinkan datang. Setelah datang dengan empat puluh orang dari Banu Hanifah, ia berbicara berdua dengan Sajah. Ia bercerita kepada Sajah, bahwa tadinya ia berpendapat bumi ini separuh untuk Quraisy, tetapi orang-orang Quraisy itu kejam. Oleh karena itu, biarlah separuh bumi ini untuk Sajah.
Musailamah membacakan sebuah sajak yang sangat menyenangkan hati perempuan itu. Dia pun membalasnya dengan sajak serupa. Setelah itu mereka berdua berbincang-bincang lama sekali. Ternyata Sajah sangat mengagumi Musailamah dan mengagumi tutur katanya yang serba manis. Rencananya mengenai kaumnya juga menarik perhatiannya, dan dengan begitu akhirnya ia mengakui keunggulannya.
Setelah Musailamah menawarkan agar kenabiannya digabung saja dengan kenabian Sajah dan mengadakan ikatan perkawinan antara keduanya, hatinya goyah. Lamaran itu pun diterima.
Sejak itu Sajah pindah ke kemah Musailamah dan tinggal bersama selama tiga hari. Setelah kembali kepada masyarakatnya sendiri, Sajah mengatakan bahwa ia melihat Musailamah benar, dan karenanya ia menikah dengan laki-laki itu.
Menurut Haekal, dua sembahyang dicabut untuk kaumnya sebagai mas kawin . Tetapi setelah kaumnya tahu perkawinan itu tanpa mas kawin, mereka berkata kepada Sajah: "Kembalilah kepadanya. Tidak baik orang seperti kau kawin tanpa maskawin."
Setelah Sajah kembali, Musailamah menutup pintu bentengnya dan hanya mengutus orang menanyakan apa maksudnya. Kemudian ia mencabut dua macam sembahyang demi menghormati Sajah, sembahyang malam dan sembahyang subuh. Dengan demikian persoalan mereka berdua selesai dengan ketentuan separuh penghasilan Yamamah akan dibawa oleh Sajah dan yang separuh lagi akan dikirim sesuai dengan isi persetujuan.
Sajah membawa penghasilan itu kemudian ia kembali ke Mesopotamia. Beberapa orang ditinggalkan di tempat itu untuk membawa yang separuh lagi. Tetapi orang-orang itu hanya sekadar menunggu kedatangan pasukan Muslimin yang kemudian menyerang Musailamah dan membunuhnya. ( )
Selama itu Sajah tetap di Taglib hingga kemudian dipindahkan oleh Muawiyah ke Banu Tamim tatkala terjadi musim paceklik dan dia tinggal di sana sebagai seorang Muslimah yang baik hingga matinya.
Haekal mengatakan memang aneh sekali ceritanya. “Adakah yang lebih aneh daripada petualangannya yang keluar dari Mesopotamia untuk memerangi Abu Bakar, kemudian begitu cepat membatalkan niatnya setelah berbicara dengan Malik bin Nuwairah,” ujarnya.
Setelah itu berbalik pergi ke Yamamah hendak menemui Musailamah lalu kawin dengan laki-laki itu dan kembali lagi ke daerahnya, dan selanjutnya tinggal dengan sesama kaumnya seolah ia tak pernah keluar dari lingkungannya itu dan tak pernah kawin dengan orang luar! Tetapi, kata Haekal, apa yang terjadi dengan Musailamah lebih aneh lagi.
Sajah bermaksud ke Yamamah. Di sebuah desa yang sekarang ini disebut al-Jibliyah. Dekat dengan Uyainah di lembah Hanifah wilayah Nejd. Desa tempat lahir dan tinggal nabi palsu lainnya bernama Musailamah. ( )
Sejarawan berbeda pendapat tentang nama Musailamah. Ada yang mengatakan ia adalah Musailamah bin Hubaib al-Hanafi. Yang lain mengatakan Musailamah bin Tsamamah bin Katsir bin Hubaib al-Hanafi. Ada yang mengatakan kunyahnya adalah Abu Tsamamah. Ada pula yang menyebutnya Abu Harun.Haekal bahkan menyebut Musailimah.
Usia Musailamah lebih tua dan lebih panjang dibanding Rasulullah . Ada yang menyebutkan ia terbunuh pada usia 150 tahun saat Perang Yamamah. Ia adalah seorang tokoh agama di Yamamah dan telah memiliki pengikut sebelum wahyu kerasulan datang kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebelum mengaku sebagai nabi, Musailamah sering menyusuri jalan-jalan. Masuk ke pasar-pasar yang ramai oleh masyarakat Arab maupun non-Arab. Berjumpa dengan orang-orang berbagai macam profesi di sana. Pasar yang ia kunjungi semisal pasar di wilayah al-Anbar dan Hirah.
Musailamah berkepribadian kuat (strong personality). Pandai bicara. Memiliki pengaruh di tengah bani Hanifah dan kabilah-kabilah tetangga. Tutur katanya lembut. Pandai menarik simpati, bagi laki-laki maupun wanita. Ia menyebut dirinya Rahman al-Yamamah.
Kembali ke soal Sajah binti Al Harits. Muhammad Husain Haekal dalam As-Siddiq Abu Bakr menyebut, setelah ia dan pasukannya sampai di Yamamah, Musailamah takut dan khawatir, bahwa bila ia sibuk menghadapinya, ia akan dikalahkan oleh pasukan Muslimin atau oleh kabilah-kabilah berdekatan. Karenanya ia memberikan hadiah kepada Sajah yang dikirimkan sebagai tanda meminta keamanan untuk dirinya sampai ia datang menemui perempuan itu. ( )
Sajah dan pasukannya berhenti di sebuah mata air dan Musailamah diizinkan datang. Setelah datang dengan empat puluh orang dari Banu Hanifah, ia berbicara berdua dengan Sajah. Ia bercerita kepada Sajah, bahwa tadinya ia berpendapat bumi ini separuh untuk Quraisy, tetapi orang-orang Quraisy itu kejam. Oleh karena itu, biarlah separuh bumi ini untuk Sajah.
Musailamah membacakan sebuah sajak yang sangat menyenangkan hati perempuan itu. Dia pun membalasnya dengan sajak serupa. Setelah itu mereka berdua berbincang-bincang lama sekali. Ternyata Sajah sangat mengagumi Musailamah dan mengagumi tutur katanya yang serba manis. Rencananya mengenai kaumnya juga menarik perhatiannya, dan dengan begitu akhirnya ia mengakui keunggulannya.
Setelah Musailamah menawarkan agar kenabiannya digabung saja dengan kenabian Sajah dan mengadakan ikatan perkawinan antara keduanya, hatinya goyah. Lamaran itu pun diterima.
Sejak itu Sajah pindah ke kemah Musailamah dan tinggal bersama selama tiga hari. Setelah kembali kepada masyarakatnya sendiri, Sajah mengatakan bahwa ia melihat Musailamah benar, dan karenanya ia menikah dengan laki-laki itu.
Menurut Haekal, dua sembahyang dicabut untuk kaumnya sebagai mas kawin . Tetapi setelah kaumnya tahu perkawinan itu tanpa mas kawin, mereka berkata kepada Sajah: "Kembalilah kepadanya. Tidak baik orang seperti kau kawin tanpa maskawin."
Setelah Sajah kembali, Musailamah menutup pintu bentengnya dan hanya mengutus orang menanyakan apa maksudnya. Kemudian ia mencabut dua macam sembahyang demi menghormati Sajah, sembahyang malam dan sembahyang subuh. Dengan demikian persoalan mereka berdua selesai dengan ketentuan separuh penghasilan Yamamah akan dibawa oleh Sajah dan yang separuh lagi akan dikirim sesuai dengan isi persetujuan.
Sajah membawa penghasilan itu kemudian ia kembali ke Mesopotamia. Beberapa orang ditinggalkan di tempat itu untuk membawa yang separuh lagi. Tetapi orang-orang itu hanya sekadar menunggu kedatangan pasukan Muslimin yang kemudian menyerang Musailamah dan membunuhnya. ( )
Selama itu Sajah tetap di Taglib hingga kemudian dipindahkan oleh Muawiyah ke Banu Tamim tatkala terjadi musim paceklik dan dia tinggal di sana sebagai seorang Muslimah yang baik hingga matinya.
Haekal mengatakan memang aneh sekali ceritanya. “Adakah yang lebih aneh daripada petualangannya yang keluar dari Mesopotamia untuk memerangi Abu Bakar, kemudian begitu cepat membatalkan niatnya setelah berbicara dengan Malik bin Nuwairah,” ujarnya.
Setelah itu berbalik pergi ke Yamamah hendak menemui Musailamah lalu kawin dengan laki-laki itu dan kembali lagi ke daerahnya, dan selanjutnya tinggal dengan sesama kaumnya seolah ia tak pernah keluar dari lingkungannya itu dan tak pernah kawin dengan orang luar! Tetapi, kata Haekal, apa yang terjadi dengan Musailamah lebih aneh lagi.