Hikmah Puasa Menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi

Senin, 25 Maret 2024 - 11:55 WIB
loading...
Hikmah Puasa Menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi
Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syari (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Tokoh pemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir, Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitabnya berjudul "Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu" menyebutkan dalam uraiannya tentang hikmah puasa , antara lain ia katakan:

Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.

Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang di balik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta'ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan - (publicity)-nya.

Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman , dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan).



Ia merasa malu kepada Allah jika tampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.

Oleh karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar.

Nurcholish Madjid dalam bukunya berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Yayasan Paramadina, 1994 mengatakan dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti pendidikan Ilahi melalui ibadah puasa ialah penanaman dan pengukuhan kesadaran yang sedalam-dalamnya akan ke-MahaHadir-an (omnipresence) Tuhan.

"Adalah kesadaran ini yang melandasi ketakwaan atau merupakan hakikat ketakwaan itu, dan yang membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji," ujarnya.

Dengan begitu, dapat diharapkan ia akan tampil sebagai seorang yang berbudi pekerti luhur, ber-akhlaq karimah.

Kesadaran akan hakikat Allah yang Maha Hadir itu dan konsekuensinya yang diharapkan dalam tingkah laku manusia, digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci :



"Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [ QS al-Mujadalah/58 :7]

Sekali lagi, kata Cak Nur, dari keterangan di atas itu tampak bahwa puasa adalah suatu ibadat yang berdimensi kerahasiaan atau keprivatan (privacy) yang amat kuat. Dari situ juga dapat ditarik pengertian bahwa puasa adalah yang pertama dan utama merupakan sarana pendidikan tanggung jawab pribadi.

Ia bertujuan mendidik agar kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat dan tempat.

"Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup ini dengan santai, enteng dan remeh, melainkan dengan penuh kesungguhan dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan kepada Khaliq kita secara pribadi," tuturnya.

Tentang betapa dimensi pribadi (personal tanggung jawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu, Kitab Suci al-Qur'an memberi gambaran amat kuat sebagai berikut:



"Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat memperdaya. [ QS Luqman/31 :33]

Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela. [ QS. al-Baqarah/2 :48 dan 123)]
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2714 seconds (0.1#10.140)