Puasa Lahir dan Batin: Tak Sebatas Menahan Lapar dan Dahaga
loading...
A
A
A
Puasa itu ada dua: puasa lahir dan puasa batin. Abul Qashim al-Qusyairi an-Naisaburi dalam bukunya berjudul "Lathaif al-Isyarat" menjelaskan puasa lahir sebatas menahan (dari lapar dan dahaga) dari segala sesuatu yang membatalkan disertai dengan niat.
Sementara puasa batin adalah puasanya hati (qalb) dari segala penyakitnya; puasa jiwa (roh) dari semua bentuk kenyamanan dan ketenangan; puasa sirr dari segala bentuk pengawasan.
Al-Qusyairi juga menjelaskan, "Bagi siapa yang sekadar menahan sesuatu yang membatalkan maka akhir dari puasanya ketika tersingkapnya malam. Dan siapa yang puasa menahan diri beragam kecemburuan (aghyar), maka puncak puasanya dengan menyaksikan al-Haqq".
Ini seperti isyarat hadis Nabi Muhammad SAW , “Shumu wa afthiru li ruyatihi.” Penggalan hadis ini dalam pandangan kaum sufi memiliki makna yang berbeda dari makna lahiriahnya. Huruf ha dhamir di akhir kalimat ini merujuk kepada Allah SWT.
Demikian pula pernyataan terakhir di atas secara lahir diartikan dengan: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal (bulan) Ramadan, dan berbukalah tatkala melihat hilal bulan Syawal.”
Sementara itu, bagi kaum khawas (khusus) maka puasa mereka benar-benar untuk Allah SWT. Karena mereka menyaksikan Allah, berbuka bersama-Nya, penerimaan mereka karena Allah, dan mereka senantiasa diliputi Allah.
Pada ayat berikutnya, penafsiran Al-Qusyairi pun beranjak pada penentuan masa atau waktu (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Dalam hal ini, Al-Qusyairi membagi tipologi puasa beserta karakteristiknya masing-masing:
Pertama, siapa yang melihat bulan (Ramadhan) maka dia akan berpuasa karena Allah, dan dia pun berhak mendapatkan pahala. Puasa karena Allah itu juga menegaskan penghambaan kepada-Nya. Dia menjadi sifat setiap hamba. Puasa lahiriah ini sekadar menegakkan aspek-aspek lahiriah semata, seperti syarat dan rukunnya.
Kedua, puasa batiniah berarti menyaksikan pencipta bulan. Dia akan berpuasa bersama Allah, dan akan diberi balasan berupa kedekatan (Al-qurbah) bersama Allah SWT. Maka dari itu, puasa bersama Allah berarti dia sedang meluruskan kehendaknya, sekaligus menjadi karakter bagi orang yang berkemauan kuat. Dia tidak sekadar mengikuti aspek-aspek lahiriah, namun lebih dari itu, puasa bersama Allah berarti menahan diri melalui isyarat-isyarat hakikat.
Bagi orang yang berpuasa dengan jiwanya, dia akan dipuaskan dengan pakaian yang indah-indah dan minuman yang sangat nikmat dengan campuran jahe. Dan siapa di antara manusia yang berpuasa dengan hatinya dia akan dikaruniai tegukan mahabbah (cinta) dengan kenikmatan yang sepatutnya.
Puncaknya, bagi siapa yang berpuasa dengan sirr-nya mereka adalah segolongan manusia yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, “ … dan Tuhan akan memberi mereka minuman yang bersih.”
Minuman yang bersih, suci, dan segar. Minuman yang tak akan membuat dahaga untuk selamanya. Demikianlah, puasa telah menjadi karakter para sufi, seperti tampak dalam kutipan-kutipan menarik Al-Ghazali dalam risalah Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin:
Seorang pemuka ulama pernah berkata, “Peganglah ilmu, lapar, lemah (khumul), dan puasa. Karena ilmu adalah cahaya yang menerangi, dan lapar adalah hikmah.”
Dia juga mengutip Abu Yazid yang menyatakan, “Tak sehari pun aku lapar karena Allah, melainkan aku melihat satu pintu hikmah di hatiku yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
Kelemahan menjadi istirahat sekaligus keselamatan, dan puasa merupakan sifat sandaran yang tak tertandingi oleh apa pun. Seperti firman Allah SWT., “Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” ( QS Asy-Syura [42] : 11) Maka, barang siapa mengenakan sifat ini, darinya akan memancarkan ilmu, makrifat, dan penyaksian.
Sementara puasa batin adalah puasanya hati (qalb) dari segala penyakitnya; puasa jiwa (roh) dari semua bentuk kenyamanan dan ketenangan; puasa sirr dari segala bentuk pengawasan.
Al-Qusyairi juga menjelaskan, "Bagi siapa yang sekadar menahan sesuatu yang membatalkan maka akhir dari puasanya ketika tersingkapnya malam. Dan siapa yang puasa menahan diri beragam kecemburuan (aghyar), maka puncak puasanya dengan menyaksikan al-Haqq".
Ini seperti isyarat hadis Nabi Muhammad SAW , “Shumu wa afthiru li ruyatihi.” Penggalan hadis ini dalam pandangan kaum sufi memiliki makna yang berbeda dari makna lahiriahnya. Huruf ha dhamir di akhir kalimat ini merujuk kepada Allah SWT.
Demikian pula pernyataan terakhir di atas secara lahir diartikan dengan: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal (bulan) Ramadan, dan berbukalah tatkala melihat hilal bulan Syawal.”
Sementara itu, bagi kaum khawas (khusus) maka puasa mereka benar-benar untuk Allah SWT. Karena mereka menyaksikan Allah, berbuka bersama-Nya, penerimaan mereka karena Allah, dan mereka senantiasa diliputi Allah.
Pada ayat berikutnya, penafsiran Al-Qusyairi pun beranjak pada penentuan masa atau waktu (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Dalam hal ini, Al-Qusyairi membagi tipologi puasa beserta karakteristiknya masing-masing:
Pertama, siapa yang melihat bulan (Ramadhan) maka dia akan berpuasa karena Allah, dan dia pun berhak mendapatkan pahala. Puasa karena Allah itu juga menegaskan penghambaan kepada-Nya. Dia menjadi sifat setiap hamba. Puasa lahiriah ini sekadar menegakkan aspek-aspek lahiriah semata, seperti syarat dan rukunnya.
Kedua, puasa batiniah berarti menyaksikan pencipta bulan. Dia akan berpuasa bersama Allah, dan akan diberi balasan berupa kedekatan (Al-qurbah) bersama Allah SWT. Maka dari itu, puasa bersama Allah berarti dia sedang meluruskan kehendaknya, sekaligus menjadi karakter bagi orang yang berkemauan kuat. Dia tidak sekadar mengikuti aspek-aspek lahiriah, namun lebih dari itu, puasa bersama Allah berarti menahan diri melalui isyarat-isyarat hakikat.
Bagi orang yang berpuasa dengan jiwanya, dia akan dipuaskan dengan pakaian yang indah-indah dan minuman yang sangat nikmat dengan campuran jahe. Dan siapa di antara manusia yang berpuasa dengan hatinya dia akan dikaruniai tegukan mahabbah (cinta) dengan kenikmatan yang sepatutnya.
Puncaknya, bagi siapa yang berpuasa dengan sirr-nya mereka adalah segolongan manusia yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, “ … dan Tuhan akan memberi mereka minuman yang bersih.”
Minuman yang bersih, suci, dan segar. Minuman yang tak akan membuat dahaga untuk selamanya. Demikianlah, puasa telah menjadi karakter para sufi, seperti tampak dalam kutipan-kutipan menarik Al-Ghazali dalam risalah Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin:
Seorang pemuka ulama pernah berkata, “Peganglah ilmu, lapar, lemah (khumul), dan puasa. Karena ilmu adalah cahaya yang menerangi, dan lapar adalah hikmah.”
Baca Juga
Dia juga mengutip Abu Yazid yang menyatakan, “Tak sehari pun aku lapar karena Allah, melainkan aku melihat satu pintu hikmah di hatiku yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
Kelemahan menjadi istirahat sekaligus keselamatan, dan puasa merupakan sifat sandaran yang tak tertandingi oleh apa pun. Seperti firman Allah SWT., “Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” ( QS Asy-Syura [42] : 11) Maka, barang siapa mengenakan sifat ini, darinya akan memancarkan ilmu, makrifat, dan penyaksian.
(mhy)