3 Ayat Al-Quran yang Dijadikan Dasar Beberapa Ulama Melarang Nyanyian
loading...
A
A
A
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk melarang --paling sedikit dalam arti memakruhkan-- nyanyian, yaitu: surat Al-Isra (17) : 64, Al-Najm (53) : 59-61, dan Luqman (31) : 6.
Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:
"Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) di antara mereka (manusia) dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang beralas kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak, dan beri janjilah mereka. Tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali tipuan belaka."
Quraish menyebut kata suaramu dalam ayat di atas menurut sementara ulama adalah nyanyian. Tetapi benarkah demikian?
"Membatasi arti suara dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan kalaupun itu diartikan nyanyian, maka nyanyian yang dimaksud adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat ini. Dan suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini," ujar Quraish Shihab.
Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:
"Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini (adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu samidun" (QS Al-Najm [53]: 59-61).
Quraish mengatakan kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian.
Tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti --Mujam Maqayis Al-Lughah-- dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.
Dengan demikian, kata Quraish, kata samidun dalam ayat tersebut dapat diartikan lengah karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain
Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI kata samidun diartikan seperti keterangan di atas, yakni lengah. Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti nyanyian maka nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau me1engahkan mereka (1ari peristiwa yang seharusnya memilukan mereka.
Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6:
"Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa al-hadits (kata-kata yang tidak berguna) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang menghinakan."
Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna (lahwa al-hadits) sebagai nyanyian.
Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara, kata Quraish, bukan saja karena lahwa al-hadits tidak berarti nyanyian, tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia.
"Jadi masalahnya bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada dampak yang diakibatkanya," ujar Quraish.
Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:
"Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) di antara mereka (manusia) dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang beralas kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak, dan beri janjilah mereka. Tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali tipuan belaka."
Quraish menyebut kata suaramu dalam ayat di atas menurut sementara ulama adalah nyanyian. Tetapi benarkah demikian?
"Membatasi arti suara dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar, dan kalaupun itu diartikan nyanyian, maka nyanyian yang dimaksud adalah yang didendangkan oleh setan, sebagaimana bunyi ayat ini. Dan suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini," ujar Quraish Shihab.
Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:
"Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini (adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu samidun" (QS Al-Najm [53]: 59-61).
Quraish mengatakan kata samidun diartikan oleh yang melarang seni suara dengan arti dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) dalam arti demikian.
Tetapi dalam kamus-kamus bahasa seperti --Mujam Maqayis Al-Lughah-- dijelaskan bahwa akar kata samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majazi dapat diartikan serius atau tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.
Dengan demikian, kata Quraish, kata samidun dalam ayat tersebut dapat diartikan lengah karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain
Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departemen Agama RI kata samidun diartikan seperti keterangan di atas, yakni lengah. Kalaupun kata di atas dibatasi dalam arti nyanyian maka nyanyian yang dikecam di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang menertawakan adanya hari kiamat, dan atau me1engahkan mereka (1ari peristiwa yang seharusnya memilukan mereka.
Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6:
"Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa al-hadits (kata-kata yang tidak berguna) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang menghinakan."
Mereka mengartikan kata-kata yang tidak berguna (lahwa al-hadits) sebagai nyanyian.
Pendapat ini jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara, kata Quraish, bukan saja karena lahwa al-hadits tidak berarti nyanyian, tetapi juga karena seandainya kalimat tersebut diartikan nyanyian, yang dikecam di sini adalah bila kata-kata yang tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia.
"Jadi masalahnya bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada dampak yang diakibatkanya," ujar Quraish.
(mhy)