Syuriyah PBNU: Haji Non Visa Sah tapi Cacat dan Pelakunya Berdosa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa haji dengan non atau tidak prosedural itu sah tetapi cacat dan pelakunya berdosa. Keputusan ini merupakan salah satu hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang digelar pada Selasa 28 Mei 2024 lalu di Jakarta.
"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa," dikutip dalam Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang diterima SINDOnews, Kamis (30/5/2024).
PBNU mengatakan hajinya masih dianggap sah karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji dan larangan agama yang berwujud dalam larangan Pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal.
Sedangkan hajinya dianggap cacat dan yang bersangkutan karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, karena melanggar aturan syari'at yang mewajibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian, baik itu Pemerintah Arab Saudi maupun Pemerintah Indonesia. Termasuk di dalamnya yang melarang haji tanpa visa haji karena larangan tersebut benar dan sah menurut syari'at dan akal sehat.
"Oleh karena itu wajib ditaati oleh semua pihak. Selain itu, pemerintah memiliki kewenangan untuk tadlyiqul ibahah (membatasi hal-hal yang diperbolehkan), termasuk pembatasan kuota haji dengan menetapkan regulasi. Pembatasan oleh pemerintah tersebut sesuai dengan substansi syariat Islam, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan rakyatnya," tulisnya.
Kedua, praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non haji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jemaah haji lainnya.
"Dalam hal ini, praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga
memperparah kepadatan jemaah di Armuzna maupun di Makkah, yang berpotensi mempersempit ruang gerak jemaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jemaah lain," jelasnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pengurus Besar Harian Syuriyah merekomendasikan agar pemerintah dapat menumbuhkan kesadaran supaya masyarakat tidak melakukan haji non prosedural.
Hal ini perlu sosialisasi regulasi tentang larangan haji non prosedural secara optimal dan sosialisasi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.
Sebagai informasi, musyawarah itu dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Serta diikuti oleh jajaran pengurus seperti KH Afifuddin Muhajir, KH Musthofa Aqiel Siraj, KH Masdar F Masudi, KH Sadid Jauhari, KH Abd Wahid Zamas, KH Kafabihi Mahrus, KH M Cholil Nafis, KH Muhibbul Aman Aly, KH Nurul Yaqin, KH Faiz Syukron Makmun, KH Sarmidi Husna, KH Aunullah A’la Habib, KH Muhyiddin Thohir, KH Moqsith Ghozalie, KH Reza A Zahid, KH Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH Abd Lathif Malik.
Turut hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama (Kemenag), Staf Khusus Menteri Agama Ishfah Abidal Aziz, dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa," dikutip dalam Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang diterima SINDOnews, Kamis (30/5/2024).
PBNU mengatakan hajinya masih dianggap sah karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji dan larangan agama yang berwujud dalam larangan Pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal.
Sedangkan hajinya dianggap cacat dan yang bersangkutan karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, karena melanggar aturan syari'at yang mewajibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian, baik itu Pemerintah Arab Saudi maupun Pemerintah Indonesia. Termasuk di dalamnya yang melarang haji tanpa visa haji karena larangan tersebut benar dan sah menurut syari'at dan akal sehat.
"Oleh karena itu wajib ditaati oleh semua pihak. Selain itu, pemerintah memiliki kewenangan untuk tadlyiqul ibahah (membatasi hal-hal yang diperbolehkan), termasuk pembatasan kuota haji dengan menetapkan regulasi. Pembatasan oleh pemerintah tersebut sesuai dengan substansi syariat Islam, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan rakyatnya," tulisnya.
Kedua, praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non haji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jemaah haji lainnya.
"Dalam hal ini, praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga
memperparah kepadatan jemaah di Armuzna maupun di Makkah, yang berpotensi mempersempit ruang gerak jemaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jemaah lain," jelasnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pengurus Besar Harian Syuriyah merekomendasikan agar pemerintah dapat menumbuhkan kesadaran supaya masyarakat tidak melakukan haji non prosedural.
Hal ini perlu sosialisasi regulasi tentang larangan haji non prosedural secara optimal dan sosialisasi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.
Sebagai informasi, musyawarah itu dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Serta diikuti oleh jajaran pengurus seperti KH Afifuddin Muhajir, KH Musthofa Aqiel Siraj, KH Masdar F Masudi, KH Sadid Jauhari, KH Abd Wahid Zamas, KH Kafabihi Mahrus, KH M Cholil Nafis, KH Muhibbul Aman Aly, KH Nurul Yaqin, KH Faiz Syukron Makmun, KH Sarmidi Husna, KH Aunullah A’la Habib, KH Muhyiddin Thohir, KH Moqsith Ghozalie, KH Reza A Zahid, KH Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH Abd Lathif Malik.
Turut hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama (Kemenag), Staf Khusus Menteri Agama Ishfah Abidal Aziz, dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
(kri)