Penaklukan Yerusalem: Kisah Khalifah Umar Menolak Salat di Gereja

Jum'at, 07 Juni 2024 - 16:05 WIB
loading...
A A A
Umar bin Khattab tidak akan merasa terganggu salat di gereja itu dengan segala gambar-gambar dan patung-patung yang ada di dalamnya.

Sebelum hijrah ke Madinah dulu Rasulullah salat di Kakbah yang masih penuh berhala dan patung-patung, selama itu tidak mengganggunya atau mengganggu seorang Muslim dan salatnya di tempat itu.

Tujuh tahun sesudah hijrah ia datang ke Makkah bersama 2000 kaum Muslimin melaksanakan umrah, lalu bertawaf di Kakbah sementara berhala-berhala masih banyak menghiasinya.

Bilal pun naik ke teratak Kakbah dan azan di sana untuk salat zuhur. Nabi Muhammad salat di situ bersama 2.000 Muslimin itu secara Islam.

Mengapa pula Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya tidak. akan salat di tempat yang di dalamnya terdapat gambar-gambar dan patung-patung, selama ajaran Islam tekanannya pada keimanan kepada Allah, dan segala amalannya tergantung pada niat, barang siapa imannya benar dan semata-mata demi Allah, maka ke mana pun ia menghadap di sanalah kehadiran Allah.

Adapun Nabi Muhammad menghancurkan berhala-berhala di sekeliling dan di dalam Kakbah ketika pembebasan Makkah sehingga Baitullah itµ bersih dari segala macam agama kecuali agama yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya itu supaya berhala-berhala tersebut tidak mengingatkan orang pada masa jahiliah lalu timbul kerinduannya ke sana.



Akan tetapi hati mereka yang sudah bersih, beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta ‘ala semata, mereka tak perlu khawatir di mana pun mereka salat. Mereka melihat kehadiran Allah dalam semua ciptaan-Nya, Mahasuci Dia dan Mahaagung dengan segala sebutan-Nya!

Penolakan Umar salat di Gereja Anastasis, menurut Haekal, adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah agama-agama serta hubungan pemeluknya masing-masing di berbagai tempat di dunia ini.

Hal ini memperlihatkan toleransi Islam dan kejujuran Umar dalam berpegang pada prinsip bahwa tak ada paksaan dalam soal agama, sekaligus melukiskan kebijakan Muslimin masa itu dan keteguhannya berpegang pada prinsip kebebasan menganut suatu keyakinan.

Berdakwah ke jalan Allah harus dilakukan dengan bijaksana dan pesan yang baik, dan ajak berdiskusi dengan cara yang lebih baik, sehingga akan ternyata permusuhan yang ada antara engkau dengan dia akan menjadi seperti teman dekat.

Sungguh luar biasa hal itu terjadi di tangan "Al-Faruq" (Umar) di Baitulmuqadas. Setelah itu Baitulmuqadas tetap menjadi poros peperangan yang tiada hentinya sambung-menyambung generasi demi generasi dan abad demi abad dan sampai masa kita sekarang ini pun menjadi pemicu timbulnya keangkuhan dan kebanggaan beragama, serta fanatisme kegolongan di pelbagai pelosok dunia, dan menjadi pokok pertentangan yang berkepanjangan antara umat-umat Kristiani, Yahudi dan Muslim.

Haekal mengatakan andaikata para pemimpin bangsa-bangsa itu mempunyai kesadaran seperti pada Umar masa itu, dan sama dengan dia melihat bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan dapat menempatkan mana yang 'untuk Kaisar dan mana yang untuk Tuhan,' dan tidak mendakwakan diri yang berhak atas Palestina atas nama Tanah yang Dijanjikan atau Kuil Sulaiman, tentu dunia akan bebas dari segala beban yang selama ini menghimpitnya di mana-mana, tak terkecuali benua demi benua dan bangsa demi bangsa.



Mungkin orang yang lebih adil dengan jujur akan menjawab: Kapankah manusia ini akan dapat beristirahat? Adakah jalan untuk mencapai kebahagiaan, kemuliaan dan kesejahteraan tanpa harus ada perselisihan? Bukankah sejarah dunia merupakan serangkaian mata rantai peperangan yang tak pernah putus, yang kadang dipicu atas nama agama, kadang atas nama kebebasan berkeyakinan?

Sebenarnya agama dan kebebasan berkeyakinan seperti yang mereka dakwakan itu tidak salah, tetapi mereka menggunakannya sebagai alasan untuk membenarkan perang dalam memuaskan ambisi dan nafsu saja, dan tak ada hubungannya baik dengan agama atau dengan kebebasan berkeyakinan sebelum menjadi kenyataan!

"Jawaban ini benar," kata Haekal. "Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dan nurani kemanusiaan itu baru masih dalam tingkat kekanak-kanakan, dan ajaran-ajaran para nabi dan rasul, para filusuf dan pemikir, dalam hati umat manusia belum memberi pengaruh seperti yang mereka harapkan."
(mhy)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2257 seconds (0.1#10.140)