Penaklukan Yerusalem: Kisah Khalifah Umar Menolak Salat di Gereja
loading...
A
A
A
Penaklukan Yerusalem dan kisah Khalifah Umar bin Khattab menolak salat di gereja dikisahkan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Haekal mengisahkan, saat Khalifah Umar bin Khattab mendatangi Yerusalem, keesokan harinya pagi-pagi Severinus, Uskup Agung Baitulmuqadas datang berkunjung. Ia mengajak berkeliling kota untuk memperlihatkan peninggalan-peninggalan kuno di kota itu serta ke tempat-tempat ziarah umatnya.
Alangkah banyaknya peninggalan-peninggalan kuno di Baitulmuqadas. Ini adalah kota para rasul dan para nabi: ke sana Nabi Musa pergi bersama orang-orang Israil ketika keluar dari Mesir; di sana pula cerita penyaliban Almasih, dan di tempat ini didirikan Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis).
Orang-orang Kristiani mengatakan, bahwa jasadnya dimakamkan di tempat ini dan dari sini ia naik ke langit. Di tempat ini terdapat pula peninggalan-peninggalan para nabi seperti mihrab Nabi Daud dan batu Nabi Yakub , yaitu batu yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah Nabi bahwa Rasulullah dari sinilah naik ketika mikraj.
Di samping itu masih ada lagi reruntuhan Kuil Sulaiman yang masih dikenang sebagai seorang raja agung, dan nabi-nabi yang lain.
Dari peninggalan-peninggalan puing-puing itu banyak juga terdapat rumah-rumah ibadah orang pagan yang dibangun oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak Roma, dan sebelum itu juga didirikan oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak Mesir.
Boleh jadi tak ada yang disembunyikan oleh Severinus kepada Umar, dan semua yang memang sudah terkenal mengenai cerita tempat-tempat ibadah itu diceritakannya kembali kepada Umar, dan yang demikian ini banyak sekali.
Sementara kedua orang ini sedang di Gereja Anastasis, waktu salat pun tiba. Uskup itu meminta kepada Umar melaksanakan salat di tempat itu, karena itu juga rumah Tuhan. Akan tetapi Umar menolak dengan alasan di waktu-waktu yang akan datang khawatir jejaknya diikuti oleh kaum Muslimin, karena mereka akan menganggap apa yang dikerjakan Umar itu sebagai teladan yang baik [sunnah mustahabbah].
Kalau mereka sampai melakukan itu, orang-orang Kristiani akan dikeluarkan dari gereja mereka dan ini menyalahi perjanjian yang ada. Dengan alasan yang sama juga ia menolak salat di Gereja Konstantin di dekat Gereja Anastasis itu.
Di ambang pintu Gereja itu mereka sudah menghamparkan permadani untuk salat, tetapi Umar melakukan salat di tempat lain di dekat Batu Suci di reruntuhan Kuil Sulaiman.
Di tempat inilah kaum Muslimin kemudian mendirikan mesjid yang mewah, yaitu Masjidilaqsa [al-Masjid al-Aqsa]. Pada masa Umar mesjid yang didirikan itu sangat sederhana, seperti Masjid Nabawi di Medinah ketika dulu dibangun.
Beberapa orientalis berpendapat, bahwa Umar menolak salat di Gereja Anastasis itu karena di dalamnya ada gambar-gambar dan patung-patung, dan dia mengemukakan alasan seperti yang sudah kita sebutkan tadi dengan menyembunyikan sebab yang sebenarnya, dan untuk menjaga jangan sampai menyinggung perasaan Uskup Agung yang sudah tua itu.
Sudah tentu, kata Haekal, penafsiran ini tidak benar untuk suatu peristiwa sejarah yang begitu penting dalam hubungan antaragama yang beraneka macam di berbagai tempat di dunia ini.
Bukti ketidakbenaran ini, bahwa sesudah itu Umar pun datang mengunjungi Kanisat al-Mahd (Church of the Nativity) atau Gereja Buaian di Bethlehem, diantar oleh Severinus sesudah mengunjungi Gereja Anastasis. Tiba waktu salat ia pun salat di tempat itu.
Di situ juga ada patung-patung, gambar-gambar dan salib-salib seperti yang terdapat dalam Gereja Anastasis, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi yang dikhawatirkannya jika salat di tempat demikian kelak dijadikan teladan oleh kaum Muslimin lalu mereka yang lebih berhak dikeluarkan dari sana.
Setelah itu ia membuat perjanjian khusus dengan Uskup Agung itu agar gereja ini hanya untuk kaum Nasrani dan jangan ada dari pihak Muslimin yang memasukinya lebih dari satu orang untuk satu kali.
Menurut Haekal, dalam hal ini kita teringat pada Sa’d bin Abi Waqqas ketika menggunakan Ruang Sidang Kisra sebagai tempat salat untuk kaum Muslimin tanpa mengganggu patung-patung yang ada di dalamnya, padahal ia mampu membuat semua itu setelah Mada’in dibebaskan dan dia yang berkuasa di Istana itu.
Haekal mengisahkan, saat Khalifah Umar bin Khattab mendatangi Yerusalem, keesokan harinya pagi-pagi Severinus, Uskup Agung Baitulmuqadas datang berkunjung. Ia mengajak berkeliling kota untuk memperlihatkan peninggalan-peninggalan kuno di kota itu serta ke tempat-tempat ziarah umatnya.
Alangkah banyaknya peninggalan-peninggalan kuno di Baitulmuqadas. Ini adalah kota para rasul dan para nabi: ke sana Nabi Musa pergi bersama orang-orang Israil ketika keluar dari Mesir; di sana pula cerita penyaliban Almasih, dan di tempat ini didirikan Kanisat al-Qiyamah (Gereja Anastasis).
Orang-orang Kristiani mengatakan, bahwa jasadnya dimakamkan di tempat ini dan dari sini ia naik ke langit. Di tempat ini terdapat pula peninggalan-peninggalan para nabi seperti mihrab Nabi Daud dan batu Nabi Yakub , yaitu batu yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah Nabi bahwa Rasulullah dari sinilah naik ketika mikraj.
Di samping itu masih ada lagi reruntuhan Kuil Sulaiman yang masih dikenang sebagai seorang raja agung, dan nabi-nabi yang lain.
Dari peninggalan-peninggalan puing-puing itu banyak juga terdapat rumah-rumah ibadah orang pagan yang dibangun oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak Roma, dan sebelum itu juga didirikan oleh penguasa-penguasa Palestina dari pihak Mesir.
Boleh jadi tak ada yang disembunyikan oleh Severinus kepada Umar, dan semua yang memang sudah terkenal mengenai cerita tempat-tempat ibadah itu diceritakannya kembali kepada Umar, dan yang demikian ini banyak sekali.
Sementara kedua orang ini sedang di Gereja Anastasis, waktu salat pun tiba. Uskup itu meminta kepada Umar melaksanakan salat di tempat itu, karena itu juga rumah Tuhan. Akan tetapi Umar menolak dengan alasan di waktu-waktu yang akan datang khawatir jejaknya diikuti oleh kaum Muslimin, karena mereka akan menganggap apa yang dikerjakan Umar itu sebagai teladan yang baik [sunnah mustahabbah].
Kalau mereka sampai melakukan itu, orang-orang Kristiani akan dikeluarkan dari gereja mereka dan ini menyalahi perjanjian yang ada. Dengan alasan yang sama juga ia menolak salat di Gereja Konstantin di dekat Gereja Anastasis itu.
Baca Juga
Di ambang pintu Gereja itu mereka sudah menghamparkan permadani untuk salat, tetapi Umar melakukan salat di tempat lain di dekat Batu Suci di reruntuhan Kuil Sulaiman.
Di tempat inilah kaum Muslimin kemudian mendirikan mesjid yang mewah, yaitu Masjidilaqsa [al-Masjid al-Aqsa]. Pada masa Umar mesjid yang didirikan itu sangat sederhana, seperti Masjid Nabawi di Medinah ketika dulu dibangun.
Beberapa orientalis berpendapat, bahwa Umar menolak salat di Gereja Anastasis itu karena di dalamnya ada gambar-gambar dan patung-patung, dan dia mengemukakan alasan seperti yang sudah kita sebutkan tadi dengan menyembunyikan sebab yang sebenarnya, dan untuk menjaga jangan sampai menyinggung perasaan Uskup Agung yang sudah tua itu.
Sudah tentu, kata Haekal, penafsiran ini tidak benar untuk suatu peristiwa sejarah yang begitu penting dalam hubungan antaragama yang beraneka macam di berbagai tempat di dunia ini.
Bukti ketidakbenaran ini, bahwa sesudah itu Umar pun datang mengunjungi Kanisat al-Mahd (Church of the Nativity) atau Gereja Buaian di Bethlehem, diantar oleh Severinus sesudah mengunjungi Gereja Anastasis. Tiba waktu salat ia pun salat di tempat itu.
Di situ juga ada patung-patung, gambar-gambar dan salib-salib seperti yang terdapat dalam Gereja Anastasis, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi yang dikhawatirkannya jika salat di tempat demikian kelak dijadikan teladan oleh kaum Muslimin lalu mereka yang lebih berhak dikeluarkan dari sana.
Setelah itu ia membuat perjanjian khusus dengan Uskup Agung itu agar gereja ini hanya untuk kaum Nasrani dan jangan ada dari pihak Muslimin yang memasukinya lebih dari satu orang untuk satu kali.
Menurut Haekal, dalam hal ini kita teringat pada Sa’d bin Abi Waqqas ketika menggunakan Ruang Sidang Kisra sebagai tempat salat untuk kaum Muslimin tanpa mengganggu patung-patung yang ada di dalamnya, padahal ia mampu membuat semua itu setelah Mada’in dibebaskan dan dia yang berkuasa di Istana itu.