Cahaya Keimanan Menyatukan Kembali Cinta yang Lama Terpisah
loading...
A
A
A
Cinta sejati, kemana pun ia pergi pasti akan kembali. Inilah kisah cinta putri sulung Rasulullah, Zainab Al-Kubra binti Muhammad bin ‘Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisahnya tentang kesetiaan suami istri yang dipisahkan oleh iman dan dipersatukan kembali oleh iman di batas ajalnya. Sangat mengharukan dan menggetarkan jiwa, yang bisa menjadi contoh keteladan pasangan muslim zaman sekarang.
Dirangkum dari buku "Nisaa' Haular Rasul/Mereka Adalah Para Shahabiyat' yang ditulis Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa ABu Nashr Asy-Syalabi, inilah kisah Zainab Al-Kubra;
Zainab terlahir dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid, 10 tahun sebelum diangkat ayahnya sebagai Nabi Allah. Semasa hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda terpandang di Makkah bernama, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiyallahu ‘anhamenghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. (Baca juga : Kisah Perempuan Penghuni Surga Karena Konsisten Menjaga Auratnya )
Tatkala cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa ta’ala membuka hati Zainab rradhiyallahu ‘anhauntuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda…
Orang-orang musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainabradhiyallahu ‘anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.
Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badar. Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.
Penduduk Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiyallahu ‘anhauntuk kebebasan suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!”
Kemudian mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu bersama salah seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.”
Berpisahlah Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang peristiwa Fathu Makkah , Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil meloloskan diri. (Baca juga : Masih Sering Mengeluh? Inilah Jawaban Al-Quran )
Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan.
Subuh pun tiba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri menunaikan salat Subuh. Saat itu, Zainab radhiyallahu ‘anhaberseru dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”
Usai salat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat sembari bertanya, “Kalian mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, “Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiyallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya.”
Setelah itu Rasulullah mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya.
Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?”
Mereka menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi janji.”
Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam.”
Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.
Enam tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri tercintanya, Zainab radhiyallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’ radhiyallahu ‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka …
Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan takdir-Nya. Tak lama setelah pertemuan itu atau satu tahun kemudian, Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya untuk selama-lamanya. Sayyidah Zainab wafat karena sakit yang masih membekas pada saat keguguran ketika berhijrah . Sang suami Abu Al "Ash menangisinya hingga menyebabkan orang-orang di sekitarnya turut menangis.
Kemudian datanglah ayahanda Zainab yang mulai Rasulullah dalam keadaan sedih dan mengucapkan selamat tinggal kemudian bersabda kepada para wanita :
"Basuhlah dengan bilangan yang ganjil, tiga atau lima kali dan yang terakhir dengan kapur barus atau sejenisnya. Apabila kalian selesai memandikannya beritahukanlah kepadaku. "Taktala mereka selesai memandikannya beliau memberikan , kain penutup dan bersabda,"Pakaikanlah ini kepadanya."
Di antara para shahabiyyah yang memandikan jenazah Zainab, ada Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah Zainab radhiyallahu ‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab radhiyallahu ‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu telah pergi. (Baca juga : Berkeluh Kesah, Dosa yang Sering Disepelekan Perempuan )
**
Inilah kisah Zainab Al-Kubra. Ridha suami telah dibawa serta oleh Zainab untuk menemaninya di alam kubur. Itu bayangan kecintaan Zainab, putri pemimpin para Nabi, kepada suaminya. Hampir sempurnalah sifat kewanitaannya. Seorang istri yang setia, sabar, berjuang dan bermujahadah.
Wallahu A'lam
Dirangkum dari buku "Nisaa' Haular Rasul/Mereka Adalah Para Shahabiyat' yang ditulis Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa ABu Nashr Asy-Syalabi, inilah kisah Zainab Al-Kubra;
Zainab terlahir dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid, 10 tahun sebelum diangkat ayahnya sebagai Nabi Allah. Semasa hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda terpandang di Makkah bernama, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiyallahu ‘anhamenghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. (Baca juga : Kisah Perempuan Penghuni Surga Karena Konsisten Menjaga Auratnya )
Tatkala cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa ta’ala membuka hati Zainab rradhiyallahu ‘anhauntuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda…
Orang-orang musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainabradhiyallahu ‘anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.
Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badar. Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.
Penduduk Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiyallahu ‘anhauntuk kebebasan suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!”
Kemudian mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu bersama salah seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.”
Berpisahlah Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang peristiwa Fathu Makkah , Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil meloloskan diri. (Baca juga : Masih Sering Mengeluh? Inilah Jawaban Al-Quran )
Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan.
Subuh pun tiba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri menunaikan salat Subuh. Saat itu, Zainab radhiyallahu ‘anhaberseru dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”
Usai salat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat sembari bertanya, “Kalian mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, “Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiyallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya.”
Setelah itu Rasulullah mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya.
Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?”
Mereka menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi janji.”
Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam.”
Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.
Enam tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri tercintanya, Zainab radhiyallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’ radhiyallahu ‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka …
Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan takdir-Nya. Tak lama setelah pertemuan itu atau satu tahun kemudian, Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya untuk selama-lamanya. Sayyidah Zainab wafat karena sakit yang masih membekas pada saat keguguran ketika berhijrah . Sang suami Abu Al "Ash menangisinya hingga menyebabkan orang-orang di sekitarnya turut menangis.
Kemudian datanglah ayahanda Zainab yang mulai Rasulullah dalam keadaan sedih dan mengucapkan selamat tinggal kemudian bersabda kepada para wanita :
"Basuhlah dengan bilangan yang ganjil, tiga atau lima kali dan yang terakhir dengan kapur barus atau sejenisnya. Apabila kalian selesai memandikannya beritahukanlah kepadaku. "Taktala mereka selesai memandikannya beliau memberikan , kain penutup dan bersabda,"Pakaikanlah ini kepadanya."
Di antara para shahabiyyah yang memandikan jenazah Zainab, ada Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah Zainab radhiyallahu ‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab radhiyallahu ‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu telah pergi. (Baca juga : Berkeluh Kesah, Dosa yang Sering Disepelekan Perempuan )
**
Inilah kisah Zainab Al-Kubra. Ridha suami telah dibawa serta oleh Zainab untuk menemaninya di alam kubur. Itu bayangan kecintaan Zainab, putri pemimpin para Nabi, kepada suaminya. Hampir sempurnalah sifat kewanitaannya. Seorang istri yang setia, sabar, berjuang dan bermujahadah.
Wallahu A'lam
(wid)