Perintah Makan dalam Al-Qur'an: Pengharaman Harus Bersumber dari Allah

Selasa, 18 Juni 2024 - 19:46 WIB
loading...
Perintah Makan dalam...
Al-Quran memperingatkan akan kita tidak gambang mengharamkan makanan yang merupakan rezeki dari Allah. Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Prof M Quraish Shihab mengatakan bahasa Al-Quran menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas "makan". "Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti 'memasukkan sesuatu ke tenggorokan', tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha," ujarnya dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 196).

Perhatikan misalnya surat Al-Nisa 14) : 4: "Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."

Quraish menjelaskan bahwa diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut.

Firman Allah dalam surat Al-An'am (6 ): 121). "Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya)"



Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud--mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas".

Menurut Quraish, penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.

Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas, kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang mukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah (baik).

Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut.

Dua dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.



Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbuka puasa maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingat pesan-pesan-Nya.

Apa yang Halal Dimakan

Al-Quran menyatakan, "Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya" ( QS Al-Baqarah [2] : 29).

"Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya" ( QS Al-Jatsiyah [45] : 13).

Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut dan beberapa ayat lain, para ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat di dalamnya juga adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" ( QS Yunus [10] : 59).



Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah --baik melalui Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas dasar ini, turun perintah-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah (2) : 168,

"Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu."

Quraish mengatakan rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi SAW.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2523 seconds (0.1#10.140)