Penaklukan Mesir: Kisah Keberanian Zubair bin Awwam Menerobos Benteng Babilon
loading...
A
A
A
Kisah keberanian Zubair bin Awwam menerobos Benteng Babilon Mesir yang dikuasai pasukan Romawi diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Dikisahkan, pada saat pertempuran antara pasukan muslim yang dipimpin Amr bin Ash melawan pasukan Romawi di Benteng Babilon Mesir, pasukan Islam kesulitan menerobos benteng yang dikuasai Romawi. Pertempuran terasa berlarut-larut.
Pihak Romawi memang terdesak. Sungguhpun begitu pihak muslim juga sudah merasa jemu dengan tujuh bulan yang sudah berlangsung sejak pengepungan benteng itu. Tetapi buat mereka dunia dan kehidupan pribadi mereka sudah tak ada artinya.
Mereka teringat pada peranan Khalid bin Walid di Damsyik, Sa'd bin Abi Waqqas di Mada'in dan Nu'aim bin Muqarrin di Nahawand. Mereka tidak melihat bahwa keberanian diri mereka kurang dari keberanian para pahlawan itu.
Terutama Zubair bin Awwam, dialah yang paling bersemangat dan paling siap mati di jalan Allah. Kepada mereka ia berkata: "Saya mempersembahkan hidup saya untuk Allah. Saya berharap Allah akan memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin."
Setelah itu beberapa hari kemudian dalam gelap malam dengan dibantu oleh sebuah regu ia mencebur ke dalam parit sekeliling benteng yang banyak dipasang besi-besi tajam itu di suatu tempat yang sudah dipilihnya.
Sesudah mereka memasang tangga ke atas tembok Zubair naik setelah berpesan kepada teman-temannya: Kalau dia sudah bertakbir supaya mereka juga naik dan serentak semua menjawab takbirnya itu. Memang, begitu berada di atas benteng, Zubair bertakbir dengan pedang yang berkilauan di tangannya, yang langsung diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Mereka menaiki tangga itu lalu bergabung ke samping dan bertakbir bersama-sama. Takbir ini disambut pula oleh pasukan Muslimin yang di luar benteng.
Setelah pasukan Romawi yakin bahwa pihak Arab sudah menyerbu, mereka lari. Zubair menuju ke gerbang benteng dan begitu dibuka pasukan Muslimin menyerbu masuk. Benteng itu dengan segala isinya mereka kuasai.
Demikian sebuah sumber menyebutkan. Sumber yang dikutip oleh Butler dari Tabari mengatakan bahwa Zubair dan kawan-kawannya naik ke atas benteng itu, membunuh pengawalnya dan membawa kepalanya.
Ketika hendak turun, mereka melihat garnisun benteng itu sedang memasang sebuah dinding melintang di koridor di atas tembok-tembok di bagian itu. Mereka tinggal di tempat mereka berada itu.
Pagi-pagi sekali komandan benteng itu menawarkan perdamaian kepada Amr bin Ash dengan menyerahkan pasukannya. Tetapi Zubair menentang perdamaian itu dan berkata kepada Amr: "Sebaiknya kita sabar sebentar sampai saya turun dari tembok ke dalam benteng, tentu soalnya akan seperti yang kita inginkan."
Akan tetapi Amr tidak saja menolak pendapatnya itu, bahkan ia membuat persetujuan tertulis dengan komandan benteng, dengan syarat bahwa pasukan itu harus sudah meninggalkan benteng dalam waktu tiga hari dan keluar melalui sungai bersama kekuatan mereka selama berapa hari dengan menyerahkan benteng berikut segala isinya yang terdiri atas barang-barang simpanan dan alat-alat perang kepada pihak Muslimin.
Perincian demikian tidak disebutkan oleh Tabari. Hanya saja semua sejarawan Muslimin menyebutkan bahwa Amr telah memenuhi permintaan Muqauqis untuk berdamai atas dasar jizyah setelah pasukan Muslimin menerobos ke dalam benteng itu.
Haekal mengatakan kalau benar bahwa Muqauqis tak ada di benteng karena ia sudah dibuang setelah menghadap Heraklius, barangkali komandan garnisun itulah yang mengadakan persetujuan damai dengan Amr, seperti dalam sumber yang dikutip Butler di atas.
Pasukan Romawi itu keluar meninggalkan benteng pada hari keenam bulan April tahun 641. Tetapi mereka menolak menarik diri pada saat itu dengan berlumuran rasa malu dan hina, kalau hari tersebut tidak dijadikan 'hari ratapan dan kesedihan' buat orang Mesir.
Orang-Âorang Kopti yang dipenjarakan di dalam benteng itu selama pengepungan, oleh pihak Romawi diseret, tangan mereka dipotong dan mereka disiksa. Hal ini membuat Uskup Mesir Hanna an-Naqyusi, seorang sejarawan masa itu, marah besar.
Dikisahkan, pada saat pertempuran antara pasukan muslim yang dipimpin Amr bin Ash melawan pasukan Romawi di Benteng Babilon Mesir, pasukan Islam kesulitan menerobos benteng yang dikuasai Romawi. Pertempuran terasa berlarut-larut.
Pihak Romawi memang terdesak. Sungguhpun begitu pihak muslim juga sudah merasa jemu dengan tujuh bulan yang sudah berlangsung sejak pengepungan benteng itu. Tetapi buat mereka dunia dan kehidupan pribadi mereka sudah tak ada artinya.
Mereka teringat pada peranan Khalid bin Walid di Damsyik, Sa'd bin Abi Waqqas di Mada'in dan Nu'aim bin Muqarrin di Nahawand. Mereka tidak melihat bahwa keberanian diri mereka kurang dari keberanian para pahlawan itu.
Terutama Zubair bin Awwam, dialah yang paling bersemangat dan paling siap mati di jalan Allah. Kepada mereka ia berkata: "Saya mempersembahkan hidup saya untuk Allah. Saya berharap Allah akan memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin."
Setelah itu beberapa hari kemudian dalam gelap malam dengan dibantu oleh sebuah regu ia mencebur ke dalam parit sekeliling benteng yang banyak dipasang besi-besi tajam itu di suatu tempat yang sudah dipilihnya.
Sesudah mereka memasang tangga ke atas tembok Zubair naik setelah berpesan kepada teman-temannya: Kalau dia sudah bertakbir supaya mereka juga naik dan serentak semua menjawab takbirnya itu. Memang, begitu berada di atas benteng, Zubair bertakbir dengan pedang yang berkilauan di tangannya, yang langsung diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Mereka menaiki tangga itu lalu bergabung ke samping dan bertakbir bersama-sama. Takbir ini disambut pula oleh pasukan Muslimin yang di luar benteng.
Setelah pasukan Romawi yakin bahwa pihak Arab sudah menyerbu, mereka lari. Zubair menuju ke gerbang benteng dan begitu dibuka pasukan Muslimin menyerbu masuk. Benteng itu dengan segala isinya mereka kuasai.
Demikian sebuah sumber menyebutkan. Sumber yang dikutip oleh Butler dari Tabari mengatakan bahwa Zubair dan kawan-kawannya naik ke atas benteng itu, membunuh pengawalnya dan membawa kepalanya.
Ketika hendak turun, mereka melihat garnisun benteng itu sedang memasang sebuah dinding melintang di koridor di atas tembok-tembok di bagian itu. Mereka tinggal di tempat mereka berada itu.
Pagi-pagi sekali komandan benteng itu menawarkan perdamaian kepada Amr bin Ash dengan menyerahkan pasukannya. Tetapi Zubair menentang perdamaian itu dan berkata kepada Amr: "Sebaiknya kita sabar sebentar sampai saya turun dari tembok ke dalam benteng, tentu soalnya akan seperti yang kita inginkan."
Akan tetapi Amr tidak saja menolak pendapatnya itu, bahkan ia membuat persetujuan tertulis dengan komandan benteng, dengan syarat bahwa pasukan itu harus sudah meninggalkan benteng dalam waktu tiga hari dan keluar melalui sungai bersama kekuatan mereka selama berapa hari dengan menyerahkan benteng berikut segala isinya yang terdiri atas barang-barang simpanan dan alat-alat perang kepada pihak Muslimin.
Perincian demikian tidak disebutkan oleh Tabari. Hanya saja semua sejarawan Muslimin menyebutkan bahwa Amr telah memenuhi permintaan Muqauqis untuk berdamai atas dasar jizyah setelah pasukan Muslimin menerobos ke dalam benteng itu.
Haekal mengatakan kalau benar bahwa Muqauqis tak ada di benteng karena ia sudah dibuang setelah menghadap Heraklius, barangkali komandan garnisun itulah yang mengadakan persetujuan damai dengan Amr, seperti dalam sumber yang dikutip Butler di atas.
Pasukan Romawi itu keluar meninggalkan benteng pada hari keenam bulan April tahun 641. Tetapi mereka menolak menarik diri pada saat itu dengan berlumuran rasa malu dan hina, kalau hari tersebut tidak dijadikan 'hari ratapan dan kesedihan' buat orang Mesir.
Orang-Âorang Kopti yang dipenjarakan di dalam benteng itu selama pengepungan, oleh pihak Romawi diseret, tangan mereka dipotong dan mereka disiksa. Hal ini membuat Uskup Mesir Hanna an-Naqyusi, seorang sejarawan masa itu, marah besar.