Perihal Jilbab, Bin Asyur: Adat Kebiasaan Satu Kaum Tak Boleh Dipaksakan
loading...
A
A
A
Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996) menjelaskan tentang kerudung . Allah SWT berfirman:
"Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas juyubi-hinna (dada mereka)". ( QS An-Nur : 31).
Menurut Quraish, juyub adalah jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.
Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan kerudung (penutup kepala). Apakah ini berarti bahwa kepala (rambut juga harus ditutup? Jawabannya, "ya".
Demikian pendapat yang logis, apalagi jika disadari bahwa "rambut adalah hiasan/mahkota wanita". Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas perlunya rambut ditutup, hal ini agaknya tidak perlu disebut. "Bukankah mereka telah memakai kudung yang tujuannya adalah menutup rambut?" ujar Quraish.
Pendapat Ulama
Quraish mengatakan tidak dapat disangkal bahwa pendapat ulama yang mewajibkan jilbab didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang Quraish untuk mengemukakan pendapat yang berbeda --dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:
"Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh--dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu."
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33) : 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:
"Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini."
Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:
"Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII, hlm. 10).
Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan redaksi perintah?
Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah: Bukankah tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, memang benar. Perintah menulis utang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282) adalah salah satu contohnya.
Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak Quraish mengatakan jawabannya pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang merupakan perintah, tetapi perintah dalam arti "sebaiknya" bukan seharusnya.
Memang, kata Quraish, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka "secara pasti telah melanggar petunjuk agama".
"Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat," kata Quraish.
Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun pakaian batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik buat manusia.
Selanjutnya, Quraish Shihab mengatakan tentang wawasan Islam menyangkut pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.
Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala aktivitas --pasif atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada 1awan jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.
Kedua, tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana terlihat dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.
"Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya," jelas Quraish.
Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Quraish mengatakan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang --semoga-- mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian.
Oleh karena Dia Maha Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.
"Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas juyubi-hinna (dada mereka)". ( QS An-Nur : 31).
Menurut Quraish, juyub adalah jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.
Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan kerudung (penutup kepala). Apakah ini berarti bahwa kepala (rambut juga harus ditutup? Jawabannya, "ya".
Demikian pendapat yang logis, apalagi jika disadari bahwa "rambut adalah hiasan/mahkota wanita". Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas perlunya rambut ditutup, hal ini agaknya tidak perlu disebut. "Bukankah mereka telah memakai kudung yang tujuannya adalah menutup rambut?" ujar Quraish.
Pendapat Ulama
Quraish mengatakan tidak dapat disangkal bahwa pendapat ulama yang mewajibkan jilbab didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang Quraish untuk mengemukakan pendapat yang berbeda --dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:
"Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh--dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu."
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33) : 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:
"Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini."
Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:
"Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII, hlm. 10).
Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan redaksi perintah?
Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah: Bukankah tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, memang benar. Perintah menulis utang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282) adalah salah satu contohnya.
Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak Quraish mengatakan jawabannya pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang merupakan perintah, tetapi perintah dalam arti "sebaiknya" bukan seharusnya.
Memang, kata Quraish, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka "secara pasti telah melanggar petunjuk agama".
"Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat," kata Quraish.
Baca Juga
Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun pakaian batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik buat manusia.
Selanjutnya, Quraish Shihab mengatakan tentang wawasan Islam menyangkut pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.
Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala aktivitas --pasif atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada 1awan jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.
Kedua, tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana terlihat dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.
"Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya," jelas Quraish.
Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Quraish mengatakan pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang --semoga-- mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian.
Oleh karena Dia Maha Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.
(mhy)