Model Istri Pejabat yang Menjadi Teladan Umat

Selasa, 25 Agustus 2020 - 17:31 WIB
loading...
Model Istri Pejabat yang Menjadi Teladan Umat
Zubaidah adalah potret istri pejabat yang dermawan, ahli ibadah dan memiliki 100 pelayan perempuan yang hafal Al-Quran. Foto ilustrasi/ist
A A A
Sejarah Islam mencatat, tak sedikit para pendahulu dari kalangan muslimah meninggalkan karya yang manfaatnya masih dapat dirasakan hingga saat ini. Salah satu syahidah tersebut adalah Zubaidah binti Ja'far bin al-Manshur al-Abbasi al-Hasyimiyah.

Muslimah yang memiliki nama asli Amatul Aziz binti Jafar bin Abi Jafar al-Manshur, berasal dari pusat kota peradaban Irak, Baghdad. Ia menuliskan masa-masa kejayaan Islam dengan jari-jarinya. Zubaidah adalah istri kesayangan Harun ar-Rasyid, yang merupakan satu-satunya khalifah Bani Abbas yang berasal dari keturunan Bani Hasyim .

Soal kelahirannya tidak tercatat, namun satu sumber menyebutkan ia setidaknya satu tahun lebih muda dari suaminya, Harun Al Rasyid. Ayahnya, Ja'far adalah saudara tiri dari Khalifah Abbasiyah al-Mahdi. Ibunya, Salsal, adalah kakak dari al-Khayzuran, istri kedua dari al-Mahdi. (Baca juga : Waspada, Penyakit Mematikan Ini Sering Menyerang Hati Perempuan )

Sebagai putri raja, Zubaidah mendapat asuhan dari kakeknya, Khalifah al-Manshur, pamannya al-Mahdi, serta suaminya. Ia mendapatkan berbagai kemewahan dan tumbuh sebagai istri khalifah yang cerdas dan pintar. Banyak hikmah yang bisa diambil dari sosok Zubaidah ini. Dikutip dari buku '150 Perempuan Shalihah', berikut kisah hidup Zubaidah:

***
Sejak lama, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam terbersit angan-angan nan indah di kepala Zubaidah untuk dapat dipersunting oleh sang pemuda gagah itu. Kini, angan-angan yang selama ini hanya mimpi telah menjadi kenyataan. Putra pamannya, Harun ar-Rasyid itu baru saja kembali bersama ayahnya, khalifah al-Mahdi dari medan perang setelah berhasil menaklukkan pasukan Romawi. Yang pasti, tak berapa lama lagi akan tercetus dua kegembiraan; kegembiraan atas kemenangan melawan musuh, dan kegembiraan karena menikah dengan ar-Rasyid.

Berbagai dekorasi pun telah dihias, sebuah pesta pernikahan (walimah) yang belum pernah disaksikan siapa pun sebelumnya di negeri Arab sebentar lagi akan diadakan. Zabidah berhias dengan aneka perhiasaan, mutiara, kasturi dan ‘anber. Aroma-aroma nan semerbak mewangi menyelimuti seantero pelaminan. Sementara khalayak bersuka cita dengan pernikahan yang diberkahi itu.

Akhirnya, Zubaidah menikah dengan Harun ar-Rasyid. Rasa saling mencintai meliputi segenap hati keduanya. Ia dengan kecerdasan dan kelincahannya berhasil menambah rasa cinta sang suami terhadapnya. Ia berhasil membuat sang suami tak tahan untuk berpisah lama-lama dengannya dan tidak jenuh-jenuh mendampinginya serta yang lebih penting lagi, tak pernah menolak setiap permintaannya!

Hari-hari pun berlalu. Zubaidah telah dikarunia seorang anak dari hasil perkawinannya dengan Harun ar-Rasyid. Bayi mungil itu diberi nama Muhammad al-Amin. Ia begitu menyayangi sang buah hatinya. Ia begitu belas kasih dan lembut terhadapnya. Salah satu buktinya, ia sampai-sampai mengutus budak perempuannya kepada al-Kisa`i, pengajar akhlak dan guru anaknya yang biasanya bersikap terlalu keras terhadap buah hatinya itu. Zubaidah melalui pesannya mengatakan kepada sang guru, “Hendaknya kamu bersikap lembut terhadap al-Amin sebab ia adalah buah hati dan penyejuk mataku.”

Tak berapa lama, Harun ar-Rasyid pun diangkat menjadi khalifah. Berkat kepiawaiannya, negeri yang dipimpinnya menjadi semakin baik, kekuasaannya semakin luas sehingga ia sampai-sampai pernah berkata kepada awan mendung ketika melintas di atas kepalanya, “Pergilah, lalu hujanilah di tanah mana saja yang engkau mau, sebab hasil kebaikannya akan datang kepadaku.”

Zubaidah, isteri khalifah umat Islam melihat perlunya ia ikut andil dalam menyebarkan kebaikan dan memakmurkan negeri Islam. Ketika berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah tahun 186 H dan mendapati betapa kesulitan dan kesukaran yang dialami penduduk Makkah untuk mendapatkan air minum, ia memanggil bendaharanya dan memerintahkannya agar mengumpulkan para insinyur dan pekerja dari seluruh negeri.

Ia menuturkan kepadanya, “Tolong dikerjakan, sekalipun satu pukulan kampak dihargai satu dinar!” Lalu digalilah sumur sehingga penduduk Makkah dan jemaah haji dapat meminum darinya. Setelah itu, sumur itu dikenal dengan sumur Zubaidah. (Baca juga : Cahaya Keimanan Menyatukan Kembali Cinta yang Lama Terpisah )

Zubaidah tak cukup hanya berbuat seperti itu. Ia malah banyak membangun sejumlah masjid dan bangunan yang berguna bagi umat Islam. Ia membangun banyak sumur dan rumah di sepanjang jalan menuju Baghdad. Hal itu agar dapat membuat para musafir nyaman beristirahat.

Zubaidah pun ingin mengangkat putranya, al-Amin sebagai khalifah menggantikan ayahandanya kelak. Akan tetapi Harun ar-Rasyid melihat al-Ma`mun, yang merupakan putra dari isterinya yang lain lebih berhak menduduki kekhilafahan karena lebih cerdas dan lebih lembut, sekalipun ia lebih muda usianya daripada al-Amin.

Atas kebijakannya tersebut, Zubidah menemui suaminya, ar-Rasyid untuk menegur dan menyalahkannya. Lantas ar-Rasyid berkata kepadanya, “Celakalah kamu! Ini adalah urusan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga orang yang meminta pengayomanku di mana ia diikatkan ke leherku. Sedangkan kamu sudah mengetahui hubungan antara anakku (dari isteri yang lain) dan anakmu (dari hasil perkawinan dengannya), wahai Zubaidah. Anakmu tidak berkompeten untuk menjadi khalifah. Ia demikian berharga di kedua matamu sebagaimana berharga bagi kedua orang tuanya. Takutlah engkau kepada Allah! Demi Allah, sesungguhnya anakmu itu amat aku cintai. Akan tetapi ini adalah masalah khilafah, yang tidak layak kecuali bagi orang yang benar-benar kompeten. Kita bertanggung jawab terhadap manusia. Tentu kita sangat tidak berharap bertemu dengan Allah sementara kita memikul dosa-dosa mereka, dan kembali kepada-Nya dengan membawa dosa mereka pula. Beri aku kesempatan untuk mempelajari masalah ini.”

Sekalipun demikian, ar-Rasyid akhirnya menyerahkan jabatan putra mahkota (wakil khalifah) kepada putranya, Muhammad al-Amin, kemudian, al-Ma`mun.

Ketika al-Ma`mun memasuki kota Baghdad setelah kematian al-Amin di mana pada waktu itu terjadi perseteruan antara mereka berdua seputar kekhalifahan, Zubaidah menemuinya dan berkata kepadanya, “Aku ucapkan selamat atas jabatan khalifah ini di mana hati saya telah lebih dulu memberikan selamat atasnya sebelum aku melihatmu. Sekalipun aku telah kehilangan khalifah untuk selamanya (atas kematian putranya, red.), namun aku telah diberi ganti dengan anak yang bukan aku lahirkan sebagai khalifah. Tidak akan merugi orang yang memiliki orang sepertimu, dan tidak akan berat bagi seorang ibu yang mengulurkan tangannya kepadamu. Aku memohon kepada Allah pahala atas apa yang telah diambil-Nya, dan pelipur lara dengan apa yang digantikannya untukku.”

Maka berkatalah al-Ma`mun, “Sungguh, kaum wanita tidak akan pernah lagi melahirkan wanita seperti ini. Dengan perkataannya ini, apa lagi yang masih tersisa bagi para ahli balaghah dari kalangan laki-laki?”

Istri Pejabat yang Dermawan

Hidup bergelimang harta tak membuat Zubaidah sombong, atau bahkan lupa daratan. Sebaliknya, ia dikenal sebagai ahli fikih, ahli ibadah, dan memiliki 100 pelayan perempuan yang hafal Al-Qur'an. Setiap hari, ia menggilir mereka dengan menyelesaikan sepersepuluh Al-Qur'an. Kegiatan para pelayan Zubaidah melantunkan Al-Qur'an membuat istananya seolah seperti sarang lebah. Selalu terdengar alunan ayat-ayat Allah yang dilafazkan oleh ratusan pelayan.

Zubaidah juga pribadi yang amat dermawan. Kekayaan dan kedudukannya di bani Abbasiyah digunakan untuk beramal, yang konon tak tertandingi oleh kaum laki-laki. Zubaidah memanggil bendahara dan memerintahkan untuk menyediakan insinyur serta tukang bangunan dari seantero negeri. Mereka diperintahkan membuat saluran air sepanjang sepuluh kilometer dari Makkah hingga Hunain. Konon, Zubaidah menghabiskan sekitar 1.700.000 dinar pada masa itu untuk membangun saluran air tersebut. Sumber lain menyebutkan nilainya 1.500.000 dinar.

Tak hanya itu, Zubaidah juga menghabiskan dana sekitar 54 juta dirham untuk membuat perkampungan Darbu Zubaidah. Di sana, ia membuat jalan yang menghubungkan Irak dengan Makkah dan menggali sumur-sumur. (Baca juga : Hati-hati, Inilah Faktor-faktor yang Bisa Merusak Keistiqamahan )

Peran Zubaidah tak berhenti sampai di situ. Ia juga membangun banyak masjid, waduk untuk irigasi, dan jembatan di Wilayah Hijaz, Syam, dan Baghdad. Ia dan ar-Rasyid dinilai telah berjasa merekonstruksi dan merehabilitas kota Makkah. Atas jasa-jasanya sumur yang dibuat dinamakan sumur Zubaidah. Zubaidah meninggal di tahun 831 H.

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3311 seconds (0.1#10.140)