Di Balik Kisah Pengerahan Kapal Induk Abraham Lincoln ke Timur Tengah

Minggu, 18 Agustus 2024 - 05:15 WIB
loading...
Di Balik Kisah Pengerahan...
AS kerahkan Kapal Induk Abraham Lincoln ke wilayah Timur Tengah bersama kapal selam USS Georgia. Foto/ilustrasi: Seaforces
A A A
Genderang perang regional kembali bergema di Timur Tengah .

Dalam sebuah langkah yang menandakan gawatnya situasi, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin minggu ini memberi tahu Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant tentang percepatan pengerahan Kapal Induk Abraham Lincoln ke wilayah tersebut bersama kapal selam USS Georgia.

Pada hari Selasa, pemerintahan Biden menyetujui penjualan senjata senilai USD20 miliar ke Israel .

Eskalasi ini terjadi untuk mengantisipasi kemungkinan pembalasan Iran atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh oleh Israel baru-baru ini di Teheran.

"Namun Iran mungkin tidak bertindak sendiri," tulis Direktur Eksekutif Institute for Palestine Studies (IPS-USA) di Washington, DC, Jehad Abusalim, dalam artikelnya berjudul "How US policy in the Middle East is unravelling" yang dilansir Middle East Eye atau MEE, Sabtu 17 Agustus 2024.



Menurutnya, serangan balasan terkoordinasi oleh Iran dan sekutunya, khususnya Hizbullah , juga sebagai pembalasan atas pembunuhan Fuad Shukr, seorang komandan militer tinggi Hizbullah, tampaknya semakin mungkin terjadi.

Apakah gelombang eskalasi ini akan terbatas atau berubah menjadi perang regional masih belum pasti. "Yang jelas konsekuensinya bisa sangat besar, tidak hanya bagi Timur Tengah tetapi juga bagi dunia," ujar Jehad Abusalim.

Saat kita berada di ambang titik balik yang dapat menjadi penentu dalam sejarah kawasan ini, penting untuk bertanya bagaimana kita bisa sampai di sini.

Strategi yang Cacat

Jehad Abusalim mencatat selama 10 hingga 15 tahun terakhir, telah terjadi banyak perdebatan dalam lingkaran kebijakan di Washington dan sekitarnya tentang pergeseran yang dirasakan dalam pendekatan AS terhadap Timur Tengah.

Banyak yang mempertanyakan apakah AS menjauh dari kawasan tersebut. Namun sebenarnya, AS tidak pernah goyah dalam minatnya di Timur Tengah, wilayah yang kaya akan sumber daya dan secara strategis penting karena signifikansi geopolitiknya, terutama dalam konteks ketegangan yang melibatkan Rusia , Tiongkok, dan Iran.

Apa yang telah terjadi, terutama selama pemerintahan Trump dan berlanjut di bawah Biden, bukanlah perubahan arah, melainkan kalibrasi ulang.



Dihadapkan dengan kebutuhan untuk fokus pada Asia-Pasifik dan perang di Ukraina, AS telah berupaya menciptakan aliansi regional yang setia pada kepentingannya.

Aliansi ini, yang bergantung pada AS dalam persenjataan dan teknologi, dirancang untuk mempertahankan status quo dengan cara yang melayani kepentingan Amerika.

Abraham Accords, jauh dari sekadar perjanjian damai, sebenarnya merupakan aliansi militer, pengawasan, dan keamanan antara Israel, UEA, Bahrain, dan negara-negara lain, yang diatur untuk menjaga kawasan tersebut di bawah hegemoni AS.

"Namun, strategi ini pada dasarnya cacat," ujar Jehad Abusalim.

Menurutnya, pembentukan aliansi ini sengaja mengecualikan Palestina dan mengabaikan fakta bahwa perdamaian dan stabilitas sejati di kawasan tersebut hanya dapat dicapai melalui penanganan penderitaan mereka.

Sebaliknya, Israel melihat Abraham Accords sebagai peluang untuk menghindari masalah Palestina sepenuhnya, menggunakan suasana dan pengaturan regional yang baru ditemukan untuk mengintensifkan kebijakan agresifnya, khususnya di Tepi Barat, pada bulan-bulan menjelang 7 Oktober.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3424 seconds (0.1#10.140)