Begini Beda Pendapat tentang Adanya Naskh dalam Al-Quran

Rabu, 28 Agustus 2024 - 18:59 WIB
loading...
Begini Beda Pendapat...
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum. Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum. Akan tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran .

Dalam bukunya berjudul "Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996),Quraish Shihab menjelaskan pendukung-pendukung naskh mengemukakan Surat Al-Baqarah ayat 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;

"Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu."

Menurut mereka, "ayat" yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.



Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Mereka juga mengemukakan Surat Al-Nahl ayat 101:

"Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong."

Di sisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.

Quraish Shihab mengatakan argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.

Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41 :42, "Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya".

Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh "pembatalan", dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.



Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi "kebatilan" yang berarti lawan dari kebenaran.

Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.

Quraish Shihab menyimpulkan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. "Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan," kata Quraish.

Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.

Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.



Menurut Quraish, dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta'akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.

"Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad 'Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak," katanya.

Ayat-Ayat Hukum

Muhammad Abduh --walaupun tidak mendukung pengertian kata "ayat" dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai "ayat-ayat hukum dalam Al-Quran", dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan: "Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" yang menurutnya mengisyaratkan bahwa "ayat" yang dimaksud adalah mukjizat-- tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata "Ilmu Tuhan", "diturunkan", "tuduhan kebohongan", adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata "ayat" dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.

Apa yang dikemukakan oleh Abduh di atas, kata Quraish, lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata "Roh Al-Quds" yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya.

Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta'awwudz (a'udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang "pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)". Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya "turun" serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).

Kembali kepada Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).



Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan "pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain" (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1329 seconds (0.1#10.140)