Arti Naskh: Bukan Mustahil Allah SWT Membatalkan Hukum-Hukum-Nya

Selasa, 27 Agustus 2024 - 07:23 WIB
loading...
Arti Naskh: Bukan Mustahil...
Prof Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Al-Syatibi dalam kitab "Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'at" (Dar Al-Ma'arif, Beirut, 1975) menyebut para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup:

(a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
(b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian;
(c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar;
(d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.



Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain.

Abdul 'Azim Al-Zarqani dalam "Manahil A-'Irfan fi 'Ulum Al-Qur'an" (Al-Halabiy, Mesir 1980) mencontohkan perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah . Hal ini, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.

Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996) menjelaskan pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta'akhirin).

Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.



Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. "Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan)," ujar Quraish.

Menurut Quraish, yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan 'aql dan naql (Al-Qur'an).

Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan:

"Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya."

Ahmad Mustafa Al-Maraghid dalam Tafsir Al-Maraghiy (Al-Halabiy, Mesir 1946) menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa:



"Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah."

Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.

Menurut Quraish, ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan Al-Maraghi tersebut.

Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya.



Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.

Quraish mengatakan pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas.

Akan tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2836 seconds (0.1#10.140)