Nabi Muhammad SAW Penutup Para Nabi dan Rasul Lewat Pembatalan Praktik Tabanni
loading...
A
A
A
Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan Rasul diberitakan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktik tabanni.Pengertian tabanni sendiri adalah mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi kehukuman atau legalnya.
"Praktik tabanni itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya," tulis tulis Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam artikelnya berjudul "Konsep Muhammad SAW sebagai Penutup Para Nabi Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan"pada buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Menurut Cak Nur, karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri secara lisan (yakni, secara formal), maka praktik itu dianggap tidak fitri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, praktik tabanni (yang beliau lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd ibn Haritsah ) mengakibatkan sebutan Nabi sebagai "bapak" seseorang di antara kaum beriman, yaitu Zayd (maka ia disebut Zayd ibn Muhammad), dengan mengesampingkan kaum beriman yang lain.
Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." [ QS. al-Ahzab/33 : 40]. Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." [ QS. al-Ahzab/33 :6].
Sudah tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang di antara kaum beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua.
"Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang relevan," ujar Cak Nur.
Muhammad Asad menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan kepada Nabi dan keibuan kepada para istri beliau itu harus dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil sebagai hubungan fisikal). Maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama. Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi MuhammadSAW adalah Utusan Allah yang terakhir.
"Praktik tabanni itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya," tulis tulis Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam artikelnya berjudul "Konsep Muhammad SAW sebagai Penutup Para Nabi Implikasinya dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan"pada buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Menurut Cak Nur, karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri secara lisan (yakni, secara formal), maka praktik itu dianggap tidak fitri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, praktik tabanni (yang beliau lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd ibn Haritsah ) mengakibatkan sebutan Nabi sebagai "bapak" seseorang di antara kaum beriman, yaitu Zayd (maka ia disebut Zayd ibn Muhammad), dengan mengesampingkan kaum beriman yang lain.
Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." [ QS. al-Ahzab/33 : 40]. Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." [ QS. al-Ahzab/33 :6].
Sudah tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang di antara kaum beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua.
"Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang relevan," ujar Cak Nur.
Muhammad Asad menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan kepada Nabi dan keibuan kepada para istri beliau itu harus dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil sebagai hubungan fisikal). Maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama. Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi MuhammadSAW adalah Utusan Allah yang terakhir.
(mhy)