Begini Riba yang Dimaksud Al-Quran Menurut Quraish Shihab
loading...
A
A
A
KAUM musyrik keheranan terhadap larangan praktik riba yang mereka anggap sama dengan jual beli ( QS 2 :275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan .
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996) mengatakan kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan".
"Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti 'kelebihan' tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik sebagai keuntungan dalam transaksi ekonomi cukup beralasan," kata Quraish.
Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" ( QS 2 :275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak 8 kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah , Ali 'Imran , Al-Nisa' , dan Al-Rum .
Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah SAW adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman."
Selanjutnya Al-Zanjani, berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa' .
Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi dan Al-Shabuni, tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya ( Al-Rum : 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya ( Al-Nisa' : 161).
Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya ( Ali 'Imran : 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya ( Al-Baqarah : 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya. Sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang sahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996) mengatakan kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan".
"Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti 'kelebihan' tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik sebagai keuntungan dalam transaksi ekonomi cukup beralasan," kata Quraish.
Baca Juga
Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" ( QS 2 :275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak 8 kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah , Ali 'Imran , Al-Nisa' , dan Al-Rum .
Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah SAW adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman."
Baca Juga
Selanjutnya Al-Zanjani, berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa' .
Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi dan Al-Shabuni, tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya ( Al-Rum : 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya ( Al-Nisa' : 161).
Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya ( Ali 'Imran : 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya ( Al-Baqarah : 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya. Sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang sahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian.
(mhy)