Ini Mengapa Karier Utsman bin Affan di Militer Tak Sehebat Ali bin Abi Thalib
loading...
A
A
A
Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga yang berkuasa pada tahun 644 sampai 656 dan merupakan Khulafaur Rasyidin dengan masa kekuasaan terlama. Sama seperti dua pendahulunya, Utsman termasuk salah satu sahabat utama Nabi Muhammad SAW . Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzun Nurrain (pemilik dua cahaya).
Karir militer Utsman nyaris tak terdengar dalam kehidupannya. Padahal, sebagaimana para sahabat Nabi lainnya, Utsman juga ikut dalam berbagai pertempuran.
Muhammad Husain Haikal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menyebut perang yang pernah diikuti Utsman antara lain Perang Uhud , perang Khandaq , perang Khaibar dan dalam pembebasan Makkah .
"Dia juga ikut dalam ekspedisi Hunain, Ta'if dan Tabuk," ujar Haekal.
Dalam semua tugasnya itu ia tidak berbeda dengan Muslimin yang lain, tidak harus di depan atau di belakang. Dia memang bukan pahlawan perang seperti Hamzah bin Abdul-Muttalib , Ali bin Abi Thalib , Zubair bin Awwam , Sa'ad bin Abi Waqqas dan Khalid bin Walid yang telah dapat menggerakkan semangat perang dalam hati mereka dan mendorong mereka terjun ke dalam barisan di medan laga menghadapi maut tanpa ada rasa gentar.
"Malah orang yang berhati cabar pun akan berangkat di waktu perang, yang dalam barisan demikian ia bukan berada di depan, juga bukan di belakang," kata Haekal.
Menurut Haekal, dapat saja kita mengatakan bahwa Utsman orang yang memang suka damai sedapat mungkin. Tetapi imannya itu yang mendorongnya berangkat bersama Rasulullah dalam berbagai peperangan: Hal ini dibuktikan oleh sikapnya terhadap Quraisy dalam kejadian di Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah
Dalam tahun ke-6, Rasulullah berangkat memimpin 300 orang Muslimin dengan tujuan melakukan Umrah di Makkah dengan cara damai tanpa bermaksud menyerang.
Mengetahui perjalanan mereka ini Quraisy bersumpah, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak boleh memasuki Makkah dengan paksa. Rasulullah melihat pasukan berkuda Makkah sudah tampak di luar kota itu. Ia dan sahabat-sahabatnya turun dari kudanya di Hudaibiyah hendak secara damai berziarah ke Baitullah dan mengagungkan kesuciannya.
Rasulullah hendak mengutus Umar bin Khattab sebagai delegasi kepada Quraisy. Tetapi Umar keberatan mengingat Quraisy sudah tahu betapa kerasnya permusuhan dan ketegasannya kepada mereka. Dia khawatir mereka akan melakukan sesuatu terhadap dirinya. Maka ia mengusulkan supaya Utsman bin Affan yang bertindak sebagai utusan. Di Makkah Utsman lebih disukai daripada Umar.
Utsman berangkat dan ia mendapat perlindungan (jaminan) dari Usman bin Sa'id. Ia berusaha hendak meyakinkan Quraisy agar membolehkan Nabi Muhammad memasuki Baitulharam. Tetapi pihak Quraisy tidak setuju kaum Muslimin memasuki Makkah tahun ini dengan cara paksa.
Lama juga Utsman di Makkah mencari jalan agar antara Quraisy dengan pihak Muslimin dapat menempuh jalan damai. Akan tetapi pihak Muslimin mengira bahwa Quraisy telah melakukan pengkhianatan dan pelanggaran dengan membunuh utusan mereka di bulan suci itu.
Mereka gelisah, terutama Rasulullah lebih gelisah dari sahabat-sahabatnya yang lain. "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita menghadapi mereka," katanya.
Ia memanggil sahabat-sahabatnya dan mereka segera menyatakan ikrar kepadanya dengan Ikrar Ridwan (Bai'atur-Ridwan) bahwa mereka akan menghadapi kaum kafir Quraisy dan tidak akan lari biar sampai mereka mati. Sesudah ikrar selesai, Rasulullah menepukkan sebelah tangannya ke tangan yang sebelah lagi untuk ikrar Utsman seolah ia ikut hadir bersama-sama mereka.
Sementara mereka sedang bersiap-siap menghadapi perang itu terbetik berita bahwa Utsman tidak dibunuh. Utsman pun kemudian muncul dan melaporkan kepada Rasulullah hasil pembicaraannya dengan pihak Quraisy.
Sudah jelas buat Rasulullah, Quraisy sudah yakin bahwa kedatangan kaum muslimin itu untuk melakukan umrah, dan tak ada maksud hendak berperang. Tetapi mereka khawatir akan kehilangan wibawa di kalangan orang-orang Arab kalau pihak Muslimin memasuki Makkah tahun ini juga dengan cara paksa.
Lalu perdamaian diadakan atas hasil perundingan Utsman dengan utusan Quraisy yang berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Dengan demikian tercapai persetujuan antara kedua pihak. Pada tahun itu Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya meninggalkan Makkah dan berencana kembali pada tahun berikutnya, untuk dapat tinggal di sana selama tiga hari berziarah ke Baitullah dan memuliakan kesuciannya.
Karir militer Utsman nyaris tak terdengar dalam kehidupannya. Padahal, sebagaimana para sahabat Nabi lainnya, Utsman juga ikut dalam berbagai pertempuran.
Muhammad Husain Haikal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menyebut perang yang pernah diikuti Utsman antara lain Perang Uhud , perang Khandaq , perang Khaibar dan dalam pembebasan Makkah .
"Dia juga ikut dalam ekspedisi Hunain, Ta'if dan Tabuk," ujar Haekal.
Dalam semua tugasnya itu ia tidak berbeda dengan Muslimin yang lain, tidak harus di depan atau di belakang. Dia memang bukan pahlawan perang seperti Hamzah bin Abdul-Muttalib , Ali bin Abi Thalib , Zubair bin Awwam , Sa'ad bin Abi Waqqas dan Khalid bin Walid yang telah dapat menggerakkan semangat perang dalam hati mereka dan mendorong mereka terjun ke dalam barisan di medan laga menghadapi maut tanpa ada rasa gentar.
"Malah orang yang berhati cabar pun akan berangkat di waktu perang, yang dalam barisan demikian ia bukan berada di depan, juga bukan di belakang," kata Haekal.
Menurut Haekal, dapat saja kita mengatakan bahwa Utsman orang yang memang suka damai sedapat mungkin. Tetapi imannya itu yang mendorongnya berangkat bersama Rasulullah dalam berbagai peperangan: Hal ini dibuktikan oleh sikapnya terhadap Quraisy dalam kejadian di Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah
Dalam tahun ke-6, Rasulullah berangkat memimpin 300 orang Muslimin dengan tujuan melakukan Umrah di Makkah dengan cara damai tanpa bermaksud menyerang.
Mengetahui perjalanan mereka ini Quraisy bersumpah, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak boleh memasuki Makkah dengan paksa. Rasulullah melihat pasukan berkuda Makkah sudah tampak di luar kota itu. Ia dan sahabat-sahabatnya turun dari kudanya di Hudaibiyah hendak secara damai berziarah ke Baitullah dan mengagungkan kesuciannya.
Rasulullah hendak mengutus Umar bin Khattab sebagai delegasi kepada Quraisy. Tetapi Umar keberatan mengingat Quraisy sudah tahu betapa kerasnya permusuhan dan ketegasannya kepada mereka. Dia khawatir mereka akan melakukan sesuatu terhadap dirinya. Maka ia mengusulkan supaya Utsman bin Affan yang bertindak sebagai utusan. Di Makkah Utsman lebih disukai daripada Umar.
Utsman berangkat dan ia mendapat perlindungan (jaminan) dari Usman bin Sa'id. Ia berusaha hendak meyakinkan Quraisy agar membolehkan Nabi Muhammad memasuki Baitulharam. Tetapi pihak Quraisy tidak setuju kaum Muslimin memasuki Makkah tahun ini dengan cara paksa.
Lama juga Utsman di Makkah mencari jalan agar antara Quraisy dengan pihak Muslimin dapat menempuh jalan damai. Akan tetapi pihak Muslimin mengira bahwa Quraisy telah melakukan pengkhianatan dan pelanggaran dengan membunuh utusan mereka di bulan suci itu.
Mereka gelisah, terutama Rasulullah lebih gelisah dari sahabat-sahabatnya yang lain. "Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita menghadapi mereka," katanya.
Ia memanggil sahabat-sahabatnya dan mereka segera menyatakan ikrar kepadanya dengan Ikrar Ridwan (Bai'atur-Ridwan) bahwa mereka akan menghadapi kaum kafir Quraisy dan tidak akan lari biar sampai mereka mati. Sesudah ikrar selesai, Rasulullah menepukkan sebelah tangannya ke tangan yang sebelah lagi untuk ikrar Utsman seolah ia ikut hadir bersama-sama mereka.
Sementara mereka sedang bersiap-siap menghadapi perang itu terbetik berita bahwa Utsman tidak dibunuh. Utsman pun kemudian muncul dan melaporkan kepada Rasulullah hasil pembicaraannya dengan pihak Quraisy.
Sudah jelas buat Rasulullah, Quraisy sudah yakin bahwa kedatangan kaum muslimin itu untuk melakukan umrah, dan tak ada maksud hendak berperang. Tetapi mereka khawatir akan kehilangan wibawa di kalangan orang-orang Arab kalau pihak Muslimin memasuki Makkah tahun ini juga dengan cara paksa.
Lalu perdamaian diadakan atas hasil perundingan Utsman dengan utusan Quraisy yang berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Dengan demikian tercapai persetujuan antara kedua pihak. Pada tahun itu Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya meninggalkan Makkah dan berencana kembali pada tahun berikutnya, untuk dapat tinggal di sana selama tiga hari berziarah ke Baitullah dan memuliakan kesuciannya.
(mhy)