Doa Mustajab Muhammad bin Wasi’ di Tengah Kecamuk Perang
loading...
A
A
A
Lalu beliau berteriak lantang, “Sekarang berangkatlah kalian untuk menghancurkan musuh-musuh kalian. Hadapilah mereka dengan hati dan tekad yang baru.” (
)
Dengan patuh pasukan itu melaksanakan perintah panglimanya, Qutaibah bin Muslim. Mereka bersiaga menghadapi musuh di tapal batas. Hanya saja, setelah dua kubu berhadapan, pasukan Islam melihat banyaknya musuh dan lengkapnya persenjataan mereka, maka ketakutan mulai menjalar.
Qutaibah bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati prajuritnya. Maka beliau bersegera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka. Kemudian beliau memandang ke kanan dan ke kiri seraya bertanya, “Dimana Muhammad bin Wasi’?”
Mereka menjawab, “Bersandar pada tongkatnya, menatap ke depan sambil mengarahkan telunjuknya ke langit untuk berdo’a. Apakah Anda menginginkan agar kami memanggilkan beliau?”
Qutaibah, “Tidak perlu, biarkanlah dia. Demi Allah, telunjuknya itu (do’a beliau) lebih aku sukai daripada seribu pedang pilihan yang dihunus oleh seribu pemuda jagoan. Maka biarkanlah dia berdo’a, kita mengetahui bahwa do’anya musatajab.”
Perangpun berkecamuk, dua pasukan saling menerjang laksana singa yang hendak menerkam mangsanya. Kedua pasukan bertemu laksana gelombang air bah yang saling bertabrakan. Lalu Allah menurunkan ketenangan dalam jiwa pasukan Islam dan membantu dengan ruh kekuatan dari-Nya.
Prajurit Islam terus menyerbu pasukan musuh sepanjang hari, hingga manakala beranjak malam, Allah menggoyahkan telapak kaki musuh dan rasa gentar menyelimuti mereka hingga akhirnya menyerah. Para mujahidin dapat melumpuhkan mereka dengan mudah, sebagian berantakan dan lari kocar-kacir, sebagian lainnya berhasil ditawan. Begitulah, mereka menyerah kalah dan minta berdamai kepada Qutaibah dengan mengajukan tebusan.
Di antara tawanan itu ada orang yang jahat dan hobi memprovokasi kaumnya untuk memusuhi Islam. Dia berkata, “Aku ingin menebus diriku wahai amir!” Qutaibah berkata, “Berapa harga tebusannya?” Tawanan itu menjawab, “Lima ribu helai kain sutera Cina seharga satu juta.”
Mendengar jawaban itu, Qutaibah menolah kepada para sahabatnya, “Bagaimana menurut kalian?” Mereka berkata, “Menurut kami, harta tersebut akan menambah jumlah ghanimah bagi muslimin. Sementara itu kita sudah tak mengkhawatirkan sepak terjangnya dan yang semacamnya setelah kemenangan besar yang kita raih.”
Qutaibah menoleh kepada Muhammad bin Wasi’ Al-Uzdi dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdillah?”
Beliau menjawab, “Wahai amir, tujuan kaum muslimin keluar berjihad ini bukanlah untuk mengumpulkan ghanimah atau menumpuk harta, melainkan kelar demi ridha Allah, menegakkan agamanya di atas bumi dan menghancurkan musuh-musuhnya.”
Qutaibah berkata, “Jazakallah khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda wahai Abu Abdillah, demi Allah aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti wanita muslimah setelah ini. Walaupun dia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian beliau perintahkan agar tawanan itu dibunuh. ( )
Dengan patuh pasukan itu melaksanakan perintah panglimanya, Qutaibah bin Muslim. Mereka bersiaga menghadapi musuh di tapal batas. Hanya saja, setelah dua kubu berhadapan, pasukan Islam melihat banyaknya musuh dan lengkapnya persenjataan mereka, maka ketakutan mulai menjalar.
Qutaibah bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati prajuritnya. Maka beliau bersegera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka. Kemudian beliau memandang ke kanan dan ke kiri seraya bertanya, “Dimana Muhammad bin Wasi’?”
Mereka menjawab, “Bersandar pada tongkatnya, menatap ke depan sambil mengarahkan telunjuknya ke langit untuk berdo’a. Apakah Anda menginginkan agar kami memanggilkan beliau?”
Qutaibah, “Tidak perlu, biarkanlah dia. Demi Allah, telunjuknya itu (do’a beliau) lebih aku sukai daripada seribu pedang pilihan yang dihunus oleh seribu pemuda jagoan. Maka biarkanlah dia berdo’a, kita mengetahui bahwa do’anya musatajab.”
Perangpun berkecamuk, dua pasukan saling menerjang laksana singa yang hendak menerkam mangsanya. Kedua pasukan bertemu laksana gelombang air bah yang saling bertabrakan. Lalu Allah menurunkan ketenangan dalam jiwa pasukan Islam dan membantu dengan ruh kekuatan dari-Nya.
Prajurit Islam terus menyerbu pasukan musuh sepanjang hari, hingga manakala beranjak malam, Allah menggoyahkan telapak kaki musuh dan rasa gentar menyelimuti mereka hingga akhirnya menyerah. Para mujahidin dapat melumpuhkan mereka dengan mudah, sebagian berantakan dan lari kocar-kacir, sebagian lainnya berhasil ditawan. Begitulah, mereka menyerah kalah dan minta berdamai kepada Qutaibah dengan mengajukan tebusan.
Di antara tawanan itu ada orang yang jahat dan hobi memprovokasi kaumnya untuk memusuhi Islam. Dia berkata, “Aku ingin menebus diriku wahai amir!” Qutaibah berkata, “Berapa harga tebusannya?” Tawanan itu menjawab, “Lima ribu helai kain sutera Cina seharga satu juta.”
Mendengar jawaban itu, Qutaibah menolah kepada para sahabatnya, “Bagaimana menurut kalian?” Mereka berkata, “Menurut kami, harta tersebut akan menambah jumlah ghanimah bagi muslimin. Sementara itu kita sudah tak mengkhawatirkan sepak terjangnya dan yang semacamnya setelah kemenangan besar yang kita raih.”
Qutaibah menoleh kepada Muhammad bin Wasi’ Al-Uzdi dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdillah?”
Beliau menjawab, “Wahai amir, tujuan kaum muslimin keluar berjihad ini bukanlah untuk mengumpulkan ghanimah atau menumpuk harta, melainkan kelar demi ridha Allah, menegakkan agamanya di atas bumi dan menghancurkan musuh-musuhnya.”
Qutaibah berkata, “Jazakallah khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda wahai Abu Abdillah, demi Allah aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti wanita muslimah setelah ini. Walaupun dia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian beliau perintahkan agar tawanan itu dibunuh. ( )
(mhy)