Kisah Khalifah Utsman bin Affan Dapat Dukungan Ali bin Abi Thalib
loading...
A
A
A
Kisah Utsman bin Affan mendapat dukungan Ali bin Abi Thalib ketika terjadi protes atas tindakannyamembakar mushaf-mushaf Al-Qur'an selain mushaf dirinya dalam rangka menyeragamkan bacaan al-Qur'an. Sejumlah sahabat dan Tabiin sempat marah dengan tindakannya itu. Namun Ali bin Abi Thalib mendukungnya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengisahkan ketika ketika ditanya tentang pembakaran mushaf-mushaf itu Ali bin Abi Talib menjawab: "Kalau dia tidak melakukan itu saya yang akan melakukannya."
Sungguhpun begitu orang masih saja melampaui batas dalam mengecam Utsman karena memerintahkan pembakaran mushaf-mushaf itu.
Di depan orang banyak Ali berkata: "Saudara-saudara, janganlah kalian berlebihan dalam mengatakan Utsman telah membakar mushaf. Dia membakarnya itu sepengetahuan sahabat-sahabat Muhammad SAW. Kalau saya dibaiat seperti dia, niscaya akan saya lakukan seperti yang dikerjakannya itu."
Kala itu, masih ada golongan mengecam Khalifah Utsman karena dua masalah. Pertama tindakannya membongkar Masjid Nabawi dengan dibangun yang baru dan lebih megah. Lalu ditambah pembakaran mushaf-mushaf al-Quran kecuali Mushaf Utsman.
Dalil mereka adalah hal seperti itu tidak dilakukan pendahulunya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Haekal mengatakan mengapa mereka tidak menyalahkan Umar bin Khattab yang sudah berijtihad dengan pikiran dalam banyak hal, padahal ada juga orang yang menentang ijtihadnya itu?
Ataukah karena mereka memandang Utsman lunak dan menganggapnya lemah lalu tidak mengakuinya, hal yang tidak mereka lakukan terhadap Umar karena ia bersikap keras dan tegas?
Ataukah karena mereka melihat Umar menempuh cara hidup seperti mereka, hidup melarat, melupakan dirinya dan hanya semata-mata mengabdi kepada Allah, sehingga tak ada orang yang mempersalahkannya dengan keyakinan bahwa segala yang dilakukannya itu dasarnya jelas dan meyakinkan?
Di samping itu mereka melihat Utsman dalam hidup mewah, yang tak dapat dicapai oleh kebanyakan orang lalu mereka merasa iri hati sehingga kritik dan kecaman mereka itu merupakan manifestasi atas rasa iri hati itu?
Betapa pun juga, kata Haekal, perkembangan yang terjadi di negeri-negeri Arab itu sejak masa Rasulullah, dari segi intelektual dan ekonomi besar sekali pengaruhnya dalam membentuk sikap orang-orang itu terhadap Utsman.
Dalam waktu yang begitu singkat, yang tidak lebih dari 30 tahun, negeri-negeri Arab telah mengalami peralihan agama kepada agama yang lain, dari yang tadinya tanah jajahan atau yang semacamnya di bawah Persia atau Romawi menjadi bangsa yang dapat mengalahkan Persia dan Romawi. Dari keadaan ekonomi yang berada di bawah garis kemiskinan ke taraf yang serba sejahtera dan serba makmur, yang sebelum itu tak pernah mereka alami.
Dulu, Rasulullah, begitu juga Abu Bakar dan Umar, lebih mengutamakan kaum Muslimin menempuh cara hidup yang berat, sebab waktu itu mereka mempersiapkan hasil rampasan perang itu untuk menghadapi perang berikutnya.
Akan tetapi di masa Utsman hasil rampasan perang sudah bertambah, begitu juga hasil pajak dan jizyah sudah melebihi segala yang diperlukan untuk perang, maka pikiran orang pun sudah beraneka ragam pula.
Masih jugakah orang akan hidup seperti dulu, menjauhi segala kenikmatan dunia? Ataukah mereka juga akan ikut mengambil bagian dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Allah berupa peninggalan rezeki itu?
Kebanyakan mereka yang memilih hidup berat itu adalah mereka yang mengecam Utsman tatkala ia membangun kembali Masjid yang bertentangan dengan bangunan di masa Nabi dan kedua Khalifah sebelumnya.
Barangkali mereka yang bersikap demikian, kata Haekal, juga mereka yang mengecamnya dalam soal pembakaran mushaf-mushaf itu. Mereka yang meminggirkan kehidupan duniawi adalah orang-orang yang gigih mempertahankan kebebasan berpikir dan kebebasan pribadi.
Sedang mereka yang melihat perkembangan ini suatu dorongan untuk memasuki kehidupan baru dari yang biasa mereka jalani selama masa kekhalifahan Umar sampai berakhirnya, kebanyakan mereka sependapat dengan Utsman dalam perombakan Masjid dan penyeragaman bacaan Qur'an.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) mengisahkan ketika ketika ditanya tentang pembakaran mushaf-mushaf itu Ali bin Abi Talib menjawab: "Kalau dia tidak melakukan itu saya yang akan melakukannya."
Sungguhpun begitu orang masih saja melampaui batas dalam mengecam Utsman karena memerintahkan pembakaran mushaf-mushaf itu.
Di depan orang banyak Ali berkata: "Saudara-saudara, janganlah kalian berlebihan dalam mengatakan Utsman telah membakar mushaf. Dia membakarnya itu sepengetahuan sahabat-sahabat Muhammad SAW. Kalau saya dibaiat seperti dia, niscaya akan saya lakukan seperti yang dikerjakannya itu."
Kala itu, masih ada golongan mengecam Khalifah Utsman karena dua masalah. Pertama tindakannya membongkar Masjid Nabawi dengan dibangun yang baru dan lebih megah. Lalu ditambah pembakaran mushaf-mushaf al-Quran kecuali Mushaf Utsman.
Dalil mereka adalah hal seperti itu tidak dilakukan pendahulunya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Haekal mengatakan mengapa mereka tidak menyalahkan Umar bin Khattab yang sudah berijtihad dengan pikiran dalam banyak hal, padahal ada juga orang yang menentang ijtihadnya itu?
Ataukah karena mereka memandang Utsman lunak dan menganggapnya lemah lalu tidak mengakuinya, hal yang tidak mereka lakukan terhadap Umar karena ia bersikap keras dan tegas?
Ataukah karena mereka melihat Umar menempuh cara hidup seperti mereka, hidup melarat, melupakan dirinya dan hanya semata-mata mengabdi kepada Allah, sehingga tak ada orang yang mempersalahkannya dengan keyakinan bahwa segala yang dilakukannya itu dasarnya jelas dan meyakinkan?
Di samping itu mereka melihat Utsman dalam hidup mewah, yang tak dapat dicapai oleh kebanyakan orang lalu mereka merasa iri hati sehingga kritik dan kecaman mereka itu merupakan manifestasi atas rasa iri hati itu?
Betapa pun juga, kata Haekal, perkembangan yang terjadi di negeri-negeri Arab itu sejak masa Rasulullah, dari segi intelektual dan ekonomi besar sekali pengaruhnya dalam membentuk sikap orang-orang itu terhadap Utsman.
Dalam waktu yang begitu singkat, yang tidak lebih dari 30 tahun, negeri-negeri Arab telah mengalami peralihan agama kepada agama yang lain, dari yang tadinya tanah jajahan atau yang semacamnya di bawah Persia atau Romawi menjadi bangsa yang dapat mengalahkan Persia dan Romawi. Dari keadaan ekonomi yang berada di bawah garis kemiskinan ke taraf yang serba sejahtera dan serba makmur, yang sebelum itu tak pernah mereka alami.
Dulu, Rasulullah, begitu juga Abu Bakar dan Umar, lebih mengutamakan kaum Muslimin menempuh cara hidup yang berat, sebab waktu itu mereka mempersiapkan hasil rampasan perang itu untuk menghadapi perang berikutnya.
Akan tetapi di masa Utsman hasil rampasan perang sudah bertambah, begitu juga hasil pajak dan jizyah sudah melebihi segala yang diperlukan untuk perang, maka pikiran orang pun sudah beraneka ragam pula.
Masih jugakah orang akan hidup seperti dulu, menjauhi segala kenikmatan dunia? Ataukah mereka juga akan ikut mengambil bagian dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Allah berupa peninggalan rezeki itu?
Kebanyakan mereka yang memilih hidup berat itu adalah mereka yang mengecam Utsman tatkala ia membangun kembali Masjid yang bertentangan dengan bangunan di masa Nabi dan kedua Khalifah sebelumnya.
Barangkali mereka yang bersikap demikian, kata Haekal, juga mereka yang mengecamnya dalam soal pembakaran mushaf-mushaf itu. Mereka yang meminggirkan kehidupan duniawi adalah orang-orang yang gigih mempertahankan kebebasan berpikir dan kebebasan pribadi.
Sedang mereka yang melihat perkembangan ini suatu dorongan untuk memasuki kehidupan baru dari yang biasa mereka jalani selama masa kekhalifahan Umar sampai berakhirnya, kebanyakan mereka sependapat dengan Utsman dalam perombakan Masjid dan penyeragaman bacaan Qur'an.
(mhy)