Kisah Tabiin Amir bin Abdillah: Tidak Menikah dan Menolak Makan Daging
loading...
A
A
A
Beliau menjawab: “Aku memohon kepada Allah agar menghilangkan rasa kantuk dan tidur sehingga aku bisa beribadah kepada-Nya di malam dan siang hari sesuka hatiku, namun Allah belum mengabulkannya.”
Tatkala aku mendengar dari beliau aku berkata: “Kasihanilah dirimu, Anda telah melakukan salat di malam hari dan shaum di siang hari, padahal jannah dapat diraih dengan amal yang lebih ringan dari pada yang Anda kerjakan. Dan neraka dapat dihindari dengan perjuangan yang lebih ringan dari apa yang Anda usahakan.”
Beliau berkata: “Aku takut jika nantinya aku menyesal selagi tiada bermanfaat sedikitpun penyesalan itu. Demi Allah aku akan bersungguh-sungguh untuk beribadah, tidak ada pilihan lain, jika aku selamat itu semata-mata karena rahmat Allah, jika aku masuk neraka maka itu karena keteledoranku.”
Dituduh Menyimpang
Amir bin Abdillah bukan sekadar ahli ibadah di waktu malam saja, namun juga mujahid di siang harinya. Tiada penyeru jihad fii sabilillah memanggil melainkan beliau segera mendatanginya.
Sudah menjadi kebiasaan beliau, manakala hendak bergabung bersama para mujahidin yang hendak berperang, beliau melihat-lihat kelompok pasukan untuk memlilihnya. Jika beliau dapatkan yang sesuai, beliau berkata kepada mereka: ‘Wahai saudara, sesungguhnya aku ingin bergabung bersama kelompok kalian ini jika kalian mau mengabulkan tiga permintaanku.”
Mereka bertanya: “Apa tiga permintaan tersebut?”
Beliau menjawab: “Pertama, hendaknya kalian perkenankan aku untuk menjadi pelayan bagi keperluan kalian, maka tidak boleh seorangpun di antara kalian merebut tugas tersebut. Kedua, hendaknya akulah yang dijadikan mu’adzin, maka tidak boleh seorangpun di antara kalian merebut tugas azan untuk salat. Ketiga, hendaknya kalian izinkan aku untuk menginfakkan hartaku kepada kalian sesuai kemampuanku.”
Jika mereka menjawab: ‘ya”, maka beliau segera bergabung, namun jika dijawab tidak, maka beliau mencari kelompok pasukan lain yang mau menerima permintaan tersebut.
Sungguh, di kalangan para mujahidin tersebut Amir bin Abdillah mengambil bagian yang banyak dalam hal risiko dan kesusahan, namun mengambil bagian terkecil dalam hal yang menyenangkan (pembagian ghanimah).
Beliau terjun di kancah peperangan dengan gigih yang tiada orang lain segigih beliau dalam berperang. Akan tetapi di saat pembagian ghanimah, tiada yang lebih enggan menerima daripada heliau.
Inilah Sa’ad bin Abi Waqash tatkala usai perang Qadisiyah di Istana Kisra, beliau perintahkan Amru bin Muqarrin untuk mengumpulkan ghanimah dan menghitungnya agar selanjutnya seperima dari ghanimah tersebut dapat dikirim ke baitul maal bagi kaum muslimin. Adapun sisanya dibagikan kepada para mujahidin. Maka dikumpulkanlah harta benda berharga yang luar biasa banyaknya.
Di sana ada keranjang besar yang tertutup oleh tumpukan bebatuan berisi penuh bejana-bejana dan emas dan perak yang biasa dipaka oleh raja-raja Persi untuk makan dan minum.
Ada pula sebuah kotak dan kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, pakaian dan selendang kaisar yang berenda permata dan mutiara. Ada lagi kotak perhiasan yang berisi barang-barang berharga seperti kalung dan perhiasan yang beraneka ragam. Ada juga kotak yang berisi senjata-senjata milik raja-raja Persi terdahulu, dan pedang-pedang para raja maupun pemimpin yang tunduk kepada Persi sepanjang perjalanan sejarah.
Di saat orang-orang bekerja menghitung ghanimah di bawah pengawasan kaum muslimin, tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu sedang membawa kotak perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya, dia mengangkat dengan kedua tangannya sekaligus.
Mereka memperhatikan dengan seksama, mata mereka belum pernah melihat kotak perhiasan sebesar itu, belum ada pula di antara kotak perhiasan yang telah terkumpul yang setara atau mendekati besarnya dengan kotak tersebut.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ternyata penuh berisi perhiasan permata dan intan, lalu mereka bertanya kepada laki-laki tersebut: ‘Di manakah Anda dapatkan simpanan yang berharga itu?”
Orang tersebut menjawab “Aku dapatkan dalam peperangan anu..di tempat anu..”
Tatkala aku mendengar dari beliau aku berkata: “Kasihanilah dirimu, Anda telah melakukan salat di malam hari dan shaum di siang hari, padahal jannah dapat diraih dengan amal yang lebih ringan dari pada yang Anda kerjakan. Dan neraka dapat dihindari dengan perjuangan yang lebih ringan dari apa yang Anda usahakan.”
Beliau berkata: “Aku takut jika nantinya aku menyesal selagi tiada bermanfaat sedikitpun penyesalan itu. Demi Allah aku akan bersungguh-sungguh untuk beribadah, tidak ada pilihan lain, jika aku selamat itu semata-mata karena rahmat Allah, jika aku masuk neraka maka itu karena keteledoranku.”
Dituduh Menyimpang
Amir bin Abdillah bukan sekadar ahli ibadah di waktu malam saja, namun juga mujahid di siang harinya. Tiada penyeru jihad fii sabilillah memanggil melainkan beliau segera mendatanginya.
Sudah menjadi kebiasaan beliau, manakala hendak bergabung bersama para mujahidin yang hendak berperang, beliau melihat-lihat kelompok pasukan untuk memlilihnya. Jika beliau dapatkan yang sesuai, beliau berkata kepada mereka: ‘Wahai saudara, sesungguhnya aku ingin bergabung bersama kelompok kalian ini jika kalian mau mengabulkan tiga permintaanku.”
Mereka bertanya: “Apa tiga permintaan tersebut?”
Beliau menjawab: “Pertama, hendaknya kalian perkenankan aku untuk menjadi pelayan bagi keperluan kalian, maka tidak boleh seorangpun di antara kalian merebut tugas tersebut. Kedua, hendaknya akulah yang dijadikan mu’adzin, maka tidak boleh seorangpun di antara kalian merebut tugas azan untuk salat. Ketiga, hendaknya kalian izinkan aku untuk menginfakkan hartaku kepada kalian sesuai kemampuanku.”
Jika mereka menjawab: ‘ya”, maka beliau segera bergabung, namun jika dijawab tidak, maka beliau mencari kelompok pasukan lain yang mau menerima permintaan tersebut.
Sungguh, di kalangan para mujahidin tersebut Amir bin Abdillah mengambil bagian yang banyak dalam hal risiko dan kesusahan, namun mengambil bagian terkecil dalam hal yang menyenangkan (pembagian ghanimah).
Beliau terjun di kancah peperangan dengan gigih yang tiada orang lain segigih beliau dalam berperang. Akan tetapi di saat pembagian ghanimah, tiada yang lebih enggan menerima daripada heliau.
Inilah Sa’ad bin Abi Waqash tatkala usai perang Qadisiyah di Istana Kisra, beliau perintahkan Amru bin Muqarrin untuk mengumpulkan ghanimah dan menghitungnya agar selanjutnya seperima dari ghanimah tersebut dapat dikirim ke baitul maal bagi kaum muslimin. Adapun sisanya dibagikan kepada para mujahidin. Maka dikumpulkanlah harta benda berharga yang luar biasa banyaknya.
Di sana ada keranjang besar yang tertutup oleh tumpukan bebatuan berisi penuh bejana-bejana dan emas dan perak yang biasa dipaka oleh raja-raja Persi untuk makan dan minum.
Ada pula sebuah kotak dan kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, pakaian dan selendang kaisar yang berenda permata dan mutiara. Ada lagi kotak perhiasan yang berisi barang-barang berharga seperti kalung dan perhiasan yang beraneka ragam. Ada juga kotak yang berisi senjata-senjata milik raja-raja Persi terdahulu, dan pedang-pedang para raja maupun pemimpin yang tunduk kepada Persi sepanjang perjalanan sejarah.
Di saat orang-orang bekerja menghitung ghanimah di bawah pengawasan kaum muslimin, tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu sedang membawa kotak perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya, dia mengangkat dengan kedua tangannya sekaligus.
Mereka memperhatikan dengan seksama, mata mereka belum pernah melihat kotak perhiasan sebesar itu, belum ada pula di antara kotak perhiasan yang telah terkumpul yang setara atau mendekati besarnya dengan kotak tersebut.
Mereka melihat apa yang ada di dalamnya, ternyata penuh berisi perhiasan permata dan intan, lalu mereka bertanya kepada laki-laki tersebut: ‘Di manakah Anda dapatkan simpanan yang berharga itu?”
Orang tersebut menjawab “Aku dapatkan dalam peperangan anu..di tempat anu..”