Ketika Seorang Istri Menjadi Tulang Punggung Keluarga, Bolehkah?

Selasa, 01 September 2020 - 17:42 WIB
loading...
Ketika Seorang Istri Menjadi Tulang Punggung Keluarga,  Bolehkah?
Saat ini, dalam banyak aspek, tak sedikit perempuan yang berkiprah di berbagai lini kerja. Mulai sebagai karyawan, buruh, pejabat publik, hingga publik figur. Foto ilustrasi/ist
A A A
Mencari nafkah bagi perempuan pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sejatinya bukanlah suatu hal yang tabu, meskipun bukan sesuatu yang mainstream . Ada contoh konkret, sosok perempuan yang sukses mengembangkan karier yang diiringi dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Sosok tersebut yakni Sayyidah Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW.

Saat ini, dalam banyak aspek , tak sedikit perempuan yang berkiprah di berbagai lini kerja. Mulai sebagai karyawan, buruh, pejabat publik, hingga publik figur. Status pekerjaan perempuan ini sama halnya dengan laki-laki dalam hal kesempatan, asalkan keduanya sama-sama berada dalam jalur kebaikan dan telah menimbang berbagai unsur hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati bersama.

(Baca juga : Waspada, Perempuan pun Bisa Terfitnah Kaum Lelaki )

Namun yang menjadi pertanyaan, bolehkah perempuan mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga? Bagaimana syariat Islam memandangnya?

Dalam Islam, nafkah merupakan kewajiban suami atau ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, meskipun sang istri kaya atau miskin. Kewajiban suami mencari nafkah juga tercantum dalam firman Allah Ta'ala :

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka......” (QS An-Nisa : 34)

Namun, dalam kehidupan sebuah keluarga , terkadang kewajiban perempuan setelah menikah juga diharuskan untuk membantu perekonomian suami yang masih belum mencukupi untuk menghidupi keluarga. Bahkan banyak di antara mereka malah menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya.

(Baca juga : Inilah Faedah Syahwat dan Cara Mengendalikannya )

Sebenarnya, istri yang mencari nafkah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW yakni istri dari sahabat Rasulullah bernama Zainab ats Tsaqafiyyah yang merupakan perempuan tangguh dan memiliki bisnis sebagai pengrajin.

Sebuah hadis diriwayatkan dari Zainab, istri Abdullah radhiyallahu'anhu, saya pernah berada di masjid mendengar Rasulullah memberi nasehat,"Bersedekahlah walaupun dengan perhiasan yang kamu pakai." Zainab sendiri justru yang memberikan nafkah kepada suaminya, Abdullah dan anak-anak yatim yang diasuhnya. Ia meminta suaminya, Abdullah menanyakan perihal yang dilakukannya itu kepada Rasulullah, "Tanyakanlah kepada Rasulullah apakah ketika saya memberi nafkah untuk dan anak-anak yatim yang di asuhanku dapat dianggap sebagai sedekah? Kamu saja sendiri yang bertanya ke Rasulullah," jawab Abdullah.

Akhirnya Zainab datang sendiri ke Rasulullah SAW, dan di pintu, ia bertemu dengan seorang perempuan yang juga memiliki keperluan yang sama. "Kami bertemu Bilal dan memintanya untuk menanyakan kepada Rasulullah, "Apakah saya cukup berzakat atau bersedekah dengan menafkahkan harta saya untuk suami saya dan anak-anak yatim yang di asuhanku?" kami berpesan kepada Bilal agar tidak membuka identitas kami ke Rasulullah.

(Baca juga : Mengenal Karier Perempuan di Masa Rasulullah SAW )

Bilal masuk dan mengutarakan persoalan kami. "Siapa yang bertanya?"kata beliau, "Zainab" jawab Bilal. "Zainab yang mana?" tanya Rasul lagi. "Zainab istri Abdullah,"akhirnya Bilal berujar. Nabi lalu bersabda, "Ya, ia memperoleh dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala zakat."(HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab 'Fathul Bari' mengatakan selain menafkahi suaminya, Zainab juga merawat anak dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya yang yatim. Atas apa yang dilakukannya, Zainab mendapatkan keutamaan dua pahala, pahala kekerabatan atau silaturahim dan pahala sedekah atau zakat.

(Baca juga : AIPI Dukung Rekomendasi MPR agar Visi-Misi Cakada Tak Terpisah dengan Visi NKRI )

Berdasarkan hadis ini pula, dalam madzhab syafi'iyah seorang perempuan boleh memberikan zakatnya untuk suaminya, ini juga pendapat Abu Hanifah, At-Tsauri, dan salah satu riwayat dari Malik dan Ahmad bin Hanbal.

Karena itu, sebagaimana amal-amal baik yang lainnya, memberi nafkah suami dan keluarga meskipun pada dasarnya bukan merupakan kewajiban istri, juga menjadi sebuah pahala. Teks hadis ini adalah catatan yang merekam sejarah perempuan yang bekerja untuk memberi nafkah pada keluarganya pada masa Nabi SAW. Pada masa itu, perempuan yang bekerja di luar tanggungjawab domestik adalah sebuah fakta.

(Baca juga : Menteri Teten Terus Buru UMKM yang Belum Melek Digital )

Dinukil dalam buku '60 Hadis Hak-hak Perempuan dalam Islam', yang ditulis Dr. Faqihuddindijelaskan bahwa hadis ini menunjukkan perempuan memiliki peran dalam tanggung jawab ekonomi terhadap keluarga, sehingga seharusnya tanggung jawab domestik juga menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri.

Keadaan ini, seperti dikemukakan dalam hadis justru bisa menjadi ladang amal buat isteri, karena Insya Allah banyak pahala bagi peran ganda perempuan yang membantu suami mencari nafkah sekaligus pahala untuk tugasnya sebagai ibu dan isteri dari suaminya.

(Baca juga : Eks Kepala BPN Tembak Diri, Polisi Jaga Ketat Gedung Kejati Bali )

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2567 seconds (0.1#10.140)