Banyak Bertanya Akan Menyulitkan Diri Sendiri?

Rabu, 14 Oktober 2020 - 17:05 WIB
loading...
A A A
"Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya." (Al-Maidah: 102).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh umat terdahulu justru mempersulit diri mereka sendiri. Pada akhirnya, mereka tidak mau mentaati hukum yang telah ditetapkan.
Terkait dengan mereka yang disebutkan dalam kisah penyembelihan sapi.

(Baca juga : Prajurit TNI AD Bersaing Jadi Terbaik di MTQ dan Musabaqah Hifdzil Qur'an Kodam I/BB )

Allah Ta'ala berfirman:

قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ ٱلْأَرْضَ وَلَا تَسْقِى ٱلْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لَّا شِيَةَ فِيهَا ۚ قَالُوا۟ ٱلْـَٰٔنَ جِئْتَ بِٱلْحَقِّ ۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا۟ يَفْعَلُونَ

"...........Dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu." (QS Al-Baqarah: 71).

Keadaan seperti itu disebabkan mereka banyak bertanya tentang hakikat sapi itu, termasuk warnanya. Padahal hal semacam itu tidak semestinya mereka pertanyakan, sehingga akhirnya hukum yang luas berubah menjadi sempit. Sehubungan dengan makna di atas, Rasulullah SAW dan para sahabatnya memberikan contoh teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi kita semua.

Suatu ketika, Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian untuk melaksanakan haji. "Apakah ia dilaksanakan setiap tahun wahai Rasulullah?" Tanya para sahabat. Rasulullah SAW diam sejenak, kemudian beliau bersabda, Kalau aku katakan ya, tentu ia menjadi wajib."

(Baca juga : Kemenkes Perkuat Posbindu di 80 Ribu Desa Tekan Angka Kematian COVID-19 dengan Komorbid )

Dengan demikian, dalam surat Al-Maidah terdapat arahan supaya berlaku tawazun (seimbang). Komitmen dalam menjalankan semua perintah, larangan, dan menepati akad (janji), dengan tidak mempersulit diri dalam hal-hal yang tidak diperintahkan Allah Ta'ala.

Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah sering bertanya atau tidak bertanya sama sekali? Untuk memahami hal ini agar tidak bertolak-belakang atau kontradiktif, Imam An-Nawawi dalam Syarah Matan Arba’in menjelaskan ada tiga macam bentuk pertanyaan.

Imam An-Nawawi mengatakan: “Pertanyaan ada beberapa macam. Pertama, pertanyaan orang awam tentang kewajiban agama, semisal wudhu, shalat, puasa, hukum muamalah, dan lain-lain. Kedua, pertanyaan tafaqquh fid din (pendalaman agama) yang tidak hanya diamalkan untuk diri sendiri, seperti qadha’ dan fatwa, menanyakan hal yang berkaitan dengan persoalan ini adalah fardhu kifayah

(Baca juga : Penyekapan-Penganiayaan Polisi, Pengurus Presidium KAMI Jabar Bakal Diperiksa )

Dan ketiga adalah bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.Imam An-Nawawi menjelaskan bertanya tentang sesuatu yang tidak penting, yakni pertanyaan yang kalau hal ini ditanyakan bisa jadi akan memberatkan.

Maka jangan menyulitkan diri dengan banyak pertanyaan yang tidak penting atau yang sudah jelas perintah dan larangannya.
Dengan demikian, pada dasarnya bertanya itu diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Bertanya merupakan salah satu jendela pengetahuan. Bertanya akan menerangi jalan dan menghindari kesesatan dalam melangkah.

Maka larangan berlaku untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat dan berlebihan. Karena sangat berbeda orang bertanya untuk menambah ilmu dengan orang yang sekedar main-main, apalagi mencari celah untuk memutarbalikkan fakta.

Wallahu A'lam
(wid)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1593 seconds (0.1#10.140)