Tidak Banyak Tidur di Siang Hari, Sebagian dari Tata Krama Puasa
loading...
A
A
A
Salah satu hadis yang populer tiap Ramadhan tiba adalah hadis tentang keutamaan orang berpuasa yang bahkan tidurnya pun berstatus sebagai ibadah. Berikut hadis yang dimaksud.
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).
Hadis ini seringkali dipolitisasi oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran bersikap malas-malasan dan banyak tidur saat menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Padahal pemikiran demikian tidaklah benar, sebab salah satu adab dalam menjalankan puasa adalah tidak memperbanyak tidur pada saat siang hari. Imam al-Ghazali menjelaskan:
بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه
“Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, juz 1, hal. 246)
Lantas bagaimana sebenarnya maksud dari tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah? Apakah terdapat ketentuan khusus untuk menggapai fadhilah ini?
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, dalam tulisannya berjudul Maksud Hadits ‘Tidur Orang Berpuasa adalah Ibadah’ yang disiarkan laman resmi Nahdlatul Ulama (NU) menyebut tidur memang bisa berkonotasi negatif sebab identik dengan bermalas-malasan. Namun di sisi lain, tidur juga dapat bernilai positif jika digunakan untuk mempersiapkan hal-hal yang bernuansa ibadah, seperti untuk mempersiapkan fisik dalam menjalankan ibadah. Hal ini seperti keterangan dalam kitab Ittihaf sadat al-Muttaqien:
نوم الصائم عبادة ونفسه تسبيح وصمته حكمة، هذا مع كون النوم عين الغفلة ولكن كل ما يستعان به على العبادة يكون عبادة
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, napasnya adalah tasbih, dan diamnya adalah hikmah. Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun tidur merupakan inti dari kelupaan, namun setiap hal yang dapat membantu seseorang melaksanakan ibadah maka juga termasuk sebagai ibadah” (Syekh Murtadla az-Zabidi, Ittihaf Sadat al-Muttaqin, juz 5, hal. 574).
Menjalankan puasa jelas merupakan sebuah ibadah, maka tidur pada saat berpuasa yang bertujuan agar lebih bersemangat dalam manjalankan ibadah terhitung sebagai ibadah.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani:
وهذا في صائم لم يخرق صومه بنحو غيبة، فالنوم وإن كان عين الغفلة يصير عبادة، لأنه يستعين به على العبادة.
“Hadis ‘tidurnya orang berpuasa adalah ibadah’ ini berlaku bagi orang berpuasa yang tidak merusak puasanya, misal dengan perbuatan ghibah. Tidur meskipun merupakan inti kelupaan, namun akan menjadi ibadah sebab dapat membantu melaksanakan ibadah” (Syekh Muhammad bin ‘Umar an-Nawawi al-Bantani, Tanqih al-Qul al-Hatsits, Hal. 66)
Allah memiliki perhitungan yang lebih luas dengan penuh rahmatnya. Allah tetap memberikan pahala bagi orang puasa sambil tidur. Syaikh Romli dalam Nihayatul Muhtaj mengatakan, "tidur yang mengabiskan waktu sehari penuh itu tidak masalah secara syara’ karena ia tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’. Lagi pula orang tidur itu akan terjaga bila dibangunkan. Karenanya, ia wajib mengqadha’ sembahyang yang luput sebab tidur, bukan luput sebab pingsan.
Menerangkan komentar gurunya, Syaikh Ali Syibromalisi mengatakan dalam Hasyiyahnya alan Nihayah, menyebut redaksi “tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’”, maksudnya yang bersangkutan tetap diberikan pahala karena puasanya berdasarkan illat hukum yang sudah tersebut itu. Namun tetap saja kita tidak boleh menyalahgunakan rahmat Allah yang luas itu, lalu memilih tidur seharian.
Masih lebih baik kalau kita menghidupkan siang hari itu dengan baca Al-Quran, mengaji, zikir, sedekah, atau aktivitas yang disunahkan lainnya.
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).
Baca Juga
Hadis ini seringkali dipolitisasi oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran bersikap malas-malasan dan banyak tidur saat menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Padahal pemikiran demikian tidaklah benar, sebab salah satu adab dalam menjalankan puasa adalah tidak memperbanyak tidur pada saat siang hari. Imam al-Ghazali menjelaskan:
بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه
“Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, juz 1, hal. 246)
Lantas bagaimana sebenarnya maksud dari tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah? Apakah terdapat ketentuan khusus untuk menggapai fadhilah ini?
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, dalam tulisannya berjudul Maksud Hadits ‘Tidur Orang Berpuasa adalah Ibadah’ yang disiarkan laman resmi Nahdlatul Ulama (NU) menyebut tidur memang bisa berkonotasi negatif sebab identik dengan bermalas-malasan. Namun di sisi lain, tidur juga dapat bernilai positif jika digunakan untuk mempersiapkan hal-hal yang bernuansa ibadah, seperti untuk mempersiapkan fisik dalam menjalankan ibadah. Hal ini seperti keterangan dalam kitab Ittihaf sadat al-Muttaqien:
نوم الصائم عبادة ونفسه تسبيح وصمته حكمة، هذا مع كون النوم عين الغفلة ولكن كل ما يستعان به على العبادة يكون عبادة
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, napasnya adalah tasbih, dan diamnya adalah hikmah. Hadis ini menunjukkan bahwa meskipun tidur merupakan inti dari kelupaan, namun setiap hal yang dapat membantu seseorang melaksanakan ibadah maka juga termasuk sebagai ibadah” (Syekh Murtadla az-Zabidi, Ittihaf Sadat al-Muttaqin, juz 5, hal. 574).
Menjalankan puasa jelas merupakan sebuah ibadah, maka tidur pada saat berpuasa yang bertujuan agar lebih bersemangat dalam manjalankan ibadah terhitung sebagai ibadah.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani:
وهذا في صائم لم يخرق صومه بنحو غيبة، فالنوم وإن كان عين الغفلة يصير عبادة، لأنه يستعين به على العبادة.
“Hadis ‘tidurnya orang berpuasa adalah ibadah’ ini berlaku bagi orang berpuasa yang tidak merusak puasanya, misal dengan perbuatan ghibah. Tidur meskipun merupakan inti kelupaan, namun akan menjadi ibadah sebab dapat membantu melaksanakan ibadah” (Syekh Muhammad bin ‘Umar an-Nawawi al-Bantani, Tanqih al-Qul al-Hatsits, Hal. 66)
Allah memiliki perhitungan yang lebih luas dengan penuh rahmatnya. Allah tetap memberikan pahala bagi orang puasa sambil tidur. Syaikh Romli dalam Nihayatul Muhtaj mengatakan, "tidur yang mengabiskan waktu sehari penuh itu tidak masalah secara syara’ karena ia tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’. Lagi pula orang tidur itu akan terjaga bila dibangunkan. Karenanya, ia wajib mengqadha’ sembahyang yang luput sebab tidur, bukan luput sebab pingsan.
Menerangkan komentar gurunya, Syaikh Ali Syibromalisi mengatakan dalam Hasyiyahnya alan Nihayah, menyebut redaksi “tetap dinilai pihak yang kena khithab syara’”, maksudnya yang bersangkutan tetap diberikan pahala karena puasanya berdasarkan illat hukum yang sudah tersebut itu. Namun tetap saja kita tidak boleh menyalahgunakan rahmat Allah yang luas itu, lalu memilih tidur seharian.
Masih lebih baik kalau kita menghidupkan siang hari itu dengan baca Al-Quran, mengaji, zikir, sedekah, atau aktivitas yang disunahkan lainnya.