Kisah Waliyullah Imam Sari as-Saqathi dan Seorang Pejabat Istana

Minggu, 01 November 2020 - 10:38 WIB
loading...
Kisah Waliyullah Imam Sari as-Saqathi dan Seorang Pejabat Istana
Berkat khutbah Imam Sari As-Saqathi, pejabat dekat Khalifah bernama Ahmad Yazid meninggalkan istana dan memilih jalan sufi. Foto Ilustrasi/Ist
A A A
Imam Sari as-Saqathi (wafat 253 H/867 M dalam usia 98 tahun), seorang tokoh sufi terkemuka di Baghdad. Beliau dikenal sebagai waliyullah yang juga paman Imam Junaid Al-Baghdadi, ulama sufi masyhur dalam kajian tasawuf.

Dalam Kitab "Jami' Karamat al-Aulia" yang diterjemahkan ke Indonesia dengan judul "Kisah-kisah Karamah Wali Allah" karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani diceritakan, suatu hari Imam Sari as-Saqathi sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat dekat khalifah yang merupakan pejabat Istana bernama Ahmad Yazid lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi para pelayannya.

"Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya," kata Ahmad Yazid kepada pengiringnya. "Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi," ujar Ahmad Yazid sembari masuk dan duduk mendengarkan ceramah Imam Sari as-Saqathi. ( )

Sari as-Saqathi berkata: "Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga para Malaikat iri kepadanya. Jika ia jahat, maka ia terlampau jahat sehingga setan sendiri malu bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa."

Kata-kata ini bagaikan anak panah yang menusuk ke jantung Ahmad. Ahmad Yazid menangis dengan sedihnya, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis, ia bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.

Esok harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Imam Sari as-Saqathi berkhutbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khutbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari as-Saqathi.

"Guru," ucap Ahmad Yazid. "Kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukanlah kepadaku jalan yang ditempuh para khalifah ."

"Jalan manakah yang engkau inginkan," tanya Imam Sari as-Saqathi. "Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?"

"Tunjukan kedua jalan itu padaku," kata Yazid memohon kepada Sari as-Saqathi.

Maka Imam Sari as-Saqathi berkata: "Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah salat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat . Jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap 20 dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan. Berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terpereosok ke dalam perangkap-perangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut." ( )

Ahmad Yazid Tinggalkan Istana Khalifah
Ahmad Yazid meninggalkan istana dengan kemewahan di dalamnya untuk mengembara ke padang belantara. Ibu dan istrinya ia tinggalkan demi menempuh jalan lurus yang ditunjukkan oleh gurunya.

Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Imam Sari as-Saqathi dan berkata:

"Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putra yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khutbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia. Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku."

Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari as-Saqathi. Maka berkatalah ia: "Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya.”

Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad Yazid kembali kepada Sari as-Saqathi. Kemudian Sari as-Saqathi memerintahkan kepada pelayannya, "Kabarkanlah kepada ibunya". Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.

"Wahai guru yang budiman," kata Ahmad kepada Imam Sari as-Saqathi. "Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugrahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan akhirat."

Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan istrinya Ahmad masuk. Mereka juga membawa putranya yang masih kecil. Ketika sang Ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya, ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya istrinya meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu.

Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Imam Sari as-Saqathi pun tidak dapat menahan air matanya. Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapapun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.

"Wahai imam kaum Muslimin," kata Ahmad berseru kepada Sari as-Saqathi. "Mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka?" Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku.

Imam Sari as-Saqathi menjawab: "Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji mengabarkan padanya apabila engkau datang."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1719 seconds (0.1#10.140)