Begini Pendapat Muhammadiyah Soal Salat Id di Saat Wabah Corona
loading...
A
A
A
SALAT Idul FItri adalah ibadah salat khusus yang dilakukan berkenaan dengan hari raya Idul Fitri. Hukumnya sunnah wajibah atau sunnah muakkadah. Artinya sangat penting sehingga ada anjuran kuat untuk dilaksanakan dan tidak ditinggalkan.
Ada juga yang berpendapat sebagai fardhu kifayah, artinya sebuah aktivitas peribadatan yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh Muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Bahkan fardhu ‘ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. ( )
Lalu bagaimana salat dalam kondisi tidak normal seperti saat ini? Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Syamsuddin MA, menjelaskan jika dalam keadaan tidak normal, yaitu karena satu dan lain sebab sehingga salat Idul Fitri tidak bisa diselenggarakan secara berjamaah di luar rumah. Baik di lapangan maupun di masjid , maka para fukaha memiliki pendapat yang beragam.
Ibnu Rusyd al-Andalusi, mencatat adanya lima pendapat dalam masalah ini. Pertama, diganti dengan salat di rumah sebanyak empat rakaat. Konon ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan ats-Tsauri, yang disandarkan kepada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud.
Kedua, diganti dengan salat di rumah, dengan tata cara yang sama dengan pelaksanaannya di lapangan atau masjid. Baik jumlah rakaatnya, takbirnya, dan jaharnya. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.
Ketiga, cukup diganti dengan salat dua rakaat biasa, tanpa dijaharkan dan tanpa takbir sebagaimana takbir dalam shalat id.
Keempat, jika ia terbiasa salat di tanah lapang maka diganti dengan salat dua rakaat. Jika terbiasa salat di masjid, maka di ganti dengan salat empat rakaat.
Kelima, jika seseorang karena satu dan lain sebab terhalang untuk melaksanakan salat id berjamaah di lapangan atau masjid, maka ia tidak perlu mengggantinya sama sekali, (Bidayatul Mujtahid, I/215).
Menurut Syamsuddin, pusaran perbedaan pendapat di atas adalah hadis masyhur yang diriwayatkan dalam banyak kitab hadis . Di antaranya adalah yang terdapat dalam Sahih ibnu Hibban. Demikian pula atsar Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh al-Baihaq:
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى، حدثنا أبو خيثمة، حدثنا سفيان، عن الزهري، عن سعيد بن المسيب، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الصلاة، فلا تأتوها تسعون وائتوها وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فاقضوا.
Telah menceritakan pada kami Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna mengabarkan kepada kami, Abu Khaitsamah, menceritakan kepada kami Sufyan, menceritakan kepada kami dari az-Zuhri.
Dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apabila kalian datang (ke masjid) untuk salat, maka janganlah datang dengan berlari, tapi datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati (bersama imam) salatlah (kerjakanlah), dan apa yang tertinggal, qadhalah (lunasilah) (Shahih Ibnu Hibban: 2145)
قال البيهقي في السنن أخبرنا أبو الحسن الفقيه وأبو الحسن بن أبي سيد الإسفرايني حدثنا ابن سهل بشر بن أحمد حدثنا حمزة بن محمد الكاتب حدثنا نعيم بن حماد حدثنا هشيم عن عبد الله بن أبي بكر بن أنس بن مالك قال كان أنس بن مالك إذا فاتته صلاة العيد مع الإمام جمع أهله يصلي بهم مثل صلاة الإمام في العيد.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan al-Faqih dan Abul Hasan bin Sayyid al-Isfiraini. Telah menceritakan kepada kami Sahal Bisyir bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Muhammad al-Katib, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abdillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik.
Ia berkata, bahwa di antara kebiasaan Anas bin Malik adalah, apabila dirinya berhalangan salat Id bersama imam, maka ia mengumpulkan keuarganya. Ia salat bersama mereka sebagaimana salat Id yang dipimpin imam.
Hasil Kajian Tematik Hadis
Setelah dilakukan kajian yang sifatnya maudhu’i (tematik) ternyata hadis riwayat Ibnu Hibban di atas tidak berkenaan langsung dengan inti persoalan. Yaitu terhalang melaksanakan salat Id sebab alasan tertentu, tapi berkenaan dengan orang jamaah masbuq, yaitu orang yang tertinggal sebagian rakaat atau semuanya dari imam dalam salat berjama’ah.
Atau orang yang mendapati imam setelah rakaat pertama atau lebih dalam salat berjamaah. (Lihat, Qamus al-Muhith, dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400).
Hal ini terbukti dari riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad, yang menggunakan redaksi (وما فاتكم فأتموا), apa-apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.
Dan dalam riwayat Muslim juga Ahmad menggunakan redaksi (واقض ما سبقك) lunaskanlah apa-apa yang engkau tertinggal. Sedangkan atsar dari Anas bin Malik adalah riwayat mauquf yang tentu saja tidak memadai untuk dijadikan dalil.
Analisis Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd memberikan analisisnya. Pendapat pertama yaitu penggantian dengan empat rakaat. Dasarnya adalah penyerupaan dengan penggantian salat Jumat .
Ada juga yang berpendapat sebagai fardhu kifayah, artinya sebuah aktivitas peribadatan yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh Muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Bahkan fardhu ‘ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. ( )
Lalu bagaimana salat dalam kondisi tidak normal seperti saat ini? Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Syamsuddin MA, menjelaskan jika dalam keadaan tidak normal, yaitu karena satu dan lain sebab sehingga salat Idul Fitri tidak bisa diselenggarakan secara berjamaah di luar rumah. Baik di lapangan maupun di masjid , maka para fukaha memiliki pendapat yang beragam.
Ibnu Rusyd al-Andalusi, mencatat adanya lima pendapat dalam masalah ini. Pertama, diganti dengan salat di rumah sebanyak empat rakaat. Konon ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan ats-Tsauri, yang disandarkan kepada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud.
Kedua, diganti dengan salat di rumah, dengan tata cara yang sama dengan pelaksanaannya di lapangan atau masjid. Baik jumlah rakaatnya, takbirnya, dan jaharnya. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.
Ketiga, cukup diganti dengan salat dua rakaat biasa, tanpa dijaharkan dan tanpa takbir sebagaimana takbir dalam shalat id.
Keempat, jika ia terbiasa salat di tanah lapang maka diganti dengan salat dua rakaat. Jika terbiasa salat di masjid, maka di ganti dengan salat empat rakaat.
Kelima, jika seseorang karena satu dan lain sebab terhalang untuk melaksanakan salat id berjamaah di lapangan atau masjid, maka ia tidak perlu mengggantinya sama sekali, (Bidayatul Mujtahid, I/215).
Menurut Syamsuddin, pusaran perbedaan pendapat di atas adalah hadis masyhur yang diriwayatkan dalam banyak kitab hadis . Di antaranya adalah yang terdapat dalam Sahih ibnu Hibban. Demikian pula atsar Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh al-Baihaq:
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى، حدثنا أبو خيثمة، حدثنا سفيان، عن الزهري، عن سعيد بن المسيب، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الصلاة، فلا تأتوها تسعون وائتوها وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فاقضوا.
Telah menceritakan pada kami Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna mengabarkan kepada kami, Abu Khaitsamah, menceritakan kepada kami Sufyan, menceritakan kepada kami dari az-Zuhri.
Dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apabila kalian datang (ke masjid) untuk salat, maka janganlah datang dengan berlari, tapi datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati (bersama imam) salatlah (kerjakanlah), dan apa yang tertinggal, qadhalah (lunasilah) (Shahih Ibnu Hibban: 2145)
قال البيهقي في السنن أخبرنا أبو الحسن الفقيه وأبو الحسن بن أبي سيد الإسفرايني حدثنا ابن سهل بشر بن أحمد حدثنا حمزة بن محمد الكاتب حدثنا نعيم بن حماد حدثنا هشيم عن عبد الله بن أبي بكر بن أنس بن مالك قال كان أنس بن مالك إذا فاتته صلاة العيد مع الإمام جمع أهله يصلي بهم مثل صلاة الإمام في العيد.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan al-Faqih dan Abul Hasan bin Sayyid al-Isfiraini. Telah menceritakan kepada kami Sahal Bisyir bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Muhammad al-Katib, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abdillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik.
Ia berkata, bahwa di antara kebiasaan Anas bin Malik adalah, apabila dirinya berhalangan salat Id bersama imam, maka ia mengumpulkan keuarganya. Ia salat bersama mereka sebagaimana salat Id yang dipimpin imam.
Hasil Kajian Tematik Hadis
Setelah dilakukan kajian yang sifatnya maudhu’i (tematik) ternyata hadis riwayat Ibnu Hibban di atas tidak berkenaan langsung dengan inti persoalan. Yaitu terhalang melaksanakan salat Id sebab alasan tertentu, tapi berkenaan dengan orang jamaah masbuq, yaitu orang yang tertinggal sebagian rakaat atau semuanya dari imam dalam salat berjama’ah.
Atau orang yang mendapati imam setelah rakaat pertama atau lebih dalam salat berjamaah. (Lihat, Qamus al-Muhith, dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400).
Hal ini terbukti dari riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad, yang menggunakan redaksi (وما فاتكم فأتموا), apa-apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.
Dan dalam riwayat Muslim juga Ahmad menggunakan redaksi (واقض ما سبقك) lunaskanlah apa-apa yang engkau tertinggal. Sedangkan atsar dari Anas bin Malik adalah riwayat mauquf yang tentu saja tidak memadai untuk dijadikan dalil.
Analisis Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd memberikan analisisnya. Pendapat pertama yaitu penggantian dengan empat rakaat. Dasarnya adalah penyerupaan dengan penggantian salat Jumat .