Baginda Takut Mendapat Malu Besar, Abu Nawas Menyelamatkan
loading...
A
A
A
MALAM ini Baginda Harun Ar-Rasyid benar-benar tidak bisa tidur. Matanya enggan diajak istirahat. Maklum saja, pikiran Baginda sedang tidak tenang. Gara-garanya seorang pemuda membawa masalah pelik siang tadi.
Ceritanya begini. Siang itu seorang pemuda datang ke Baghdad menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, raja yang adil, arif dan bijaksana.
Pada saat itu Baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri. “Hai anak muda, engkau berasal dari mana?” tanya Baginda kepada pemuda itu. ( )
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab sang saudagar. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang?” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah Baginda Sultan.
Saudagar kaya ini bercerita, telah bertahun-tahun berumah tangga namun tak kunjung punya momongan. Allah belum mentakdirkan dirinya punya anak.
Maka ia berkata kepada istrinya untuk bernazar kepada Allah. Jika diberi anak laki-laki, akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya disedekahkan kepada fakir miskin. ( )
Nazar itu ternyata ces pleng. Istrinya pun hamil dan melahirkan bayi laki-laki yang sehat.
Kemudian sang saudagar menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah. Tidurpun tidak nyenyak. Terpikir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ia telah mengadu ke seorang penghulu. Pas kebetulan saat ia datang di rumah penghulu sedang banyak orang. Rupanya ada pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan anda kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi,” jawab saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu ia menguratakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal di manapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula.
“Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain,” ujar mereka. ( )
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Nah, itu sebabnya ia memutuskan menghadap Baginda Raja.
“Hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu kepada Baginda dengan nada mengiba.
“Baiklah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar,” janjinya.
Saudagar itu pun mohon pamit dengan meninggalkan beban bagi Baginda. Sultan bingung memikirkan nazar saudagar itu. Sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya. Dengan apa nazar itu akan dibayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga? Diganti dengan yang lain, haram hukumnya.
Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari Kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi,” titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Suasana balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya.
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan pertemuan pun bubar. ( )
Baginda lalu masuk istana, mau tidur, tetapi yang diceritakan tadi, mata Baginda tidak mau diajak kompromi, karena otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi.
Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas . "Tidak ada manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan suka cita.
Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi.
Begitu bangun, diutuslah penggawa memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar.
Apalagi sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. “Apa pendapatmu tentang hal itu?” tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu jawaban Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri Kopiah itu.
Baginda memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. “Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,” kata Abu Nawas.
Mendengar perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta mohon pamit pulang ke negeri Kopiah. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana.
“Datang juga engkau kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar, akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas.
Akan halnya Abu Nawas, ketika mengetahui dijemput ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas dibawa dengan kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa kamu terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki,” jawab Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas…” kata Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik.”
“Baiklah,” kata Abu Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati Baginda mendengar jawaban itu.
Abu Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya tuanku, hamba mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat Abu Nawas aku kira benar,” kata Baginda Sultan dengan sangat meyakinkan.
Bukan main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya. ( )
Ceritanya begini. Siang itu seorang pemuda datang ke Baghdad menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, raja yang adil, arif dan bijaksana.
Pada saat itu Baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri. “Hai anak muda, engkau berasal dari mana?” tanya Baginda kepada pemuda itu. ( )
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab sang saudagar. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang?” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah Baginda Sultan.
Saudagar kaya ini bercerita, telah bertahun-tahun berumah tangga namun tak kunjung punya momongan. Allah belum mentakdirkan dirinya punya anak.
Maka ia berkata kepada istrinya untuk bernazar kepada Allah. Jika diberi anak laki-laki, akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya disedekahkan kepada fakir miskin. ( )
Nazar itu ternyata ces pleng. Istrinya pun hamil dan melahirkan bayi laki-laki yang sehat.
Kemudian sang saudagar menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah. Tidurpun tidak nyenyak. Terpikir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ia telah mengadu ke seorang penghulu. Pas kebetulan saat ia datang di rumah penghulu sedang banyak orang. Rupanya ada pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan anda kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi,” jawab saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu ia menguratakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal di manapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula.
“Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain,” ujar mereka. ( )
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Nah, itu sebabnya ia memutuskan menghadap Baginda Raja.
“Hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu kepada Baginda dengan nada mengiba.
“Baiklah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar,” janjinya.
Saudagar itu pun mohon pamit dengan meninggalkan beban bagi Baginda. Sultan bingung memikirkan nazar saudagar itu. Sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya. Dengan apa nazar itu akan dibayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga? Diganti dengan yang lain, haram hukumnya.
Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari Kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi,” titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Suasana balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya.
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan pertemuan pun bubar. ( )
Baginda lalu masuk istana, mau tidur, tetapi yang diceritakan tadi, mata Baginda tidak mau diajak kompromi, karena otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi.
Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas . "Tidak ada manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan suka cita.
Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi.
Begitu bangun, diutuslah penggawa memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar.
Apalagi sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. “Apa pendapatmu tentang hal itu?” tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu jawaban Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri Kopiah itu.
Baginda memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. “Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,” kata Abu Nawas.
Mendengar perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta mohon pamit pulang ke negeri Kopiah. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana.
“Datang juga engkau kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar, akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas.
Akan halnya Abu Nawas, ketika mengetahui dijemput ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas dibawa dengan kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa kamu terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki,” jawab Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas…” kata Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik.”
“Baiklah,” kata Abu Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati Baginda mendengar jawaban itu.
Abu Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya tuanku, hamba mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat Abu Nawas aku kira benar,” kata Baginda Sultan dengan sangat meyakinkan.
Bukan main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya. ( )
(mhy)