Apa Sih Perbedaan Antara Karamah dan Mukjizat? (Bagian 4)
loading...
A
A
A
Banyak ulama membahas perbedaan antara Karamah dan Mukjizat . Salah satunya Imam Abu Ishaq Al-Asfaraini(wafat 418 Hijriyah) yang menyatakan bahwa Mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran Para Nabi dan dalil kenabian yang hanya ada pada Nabi. Sedangkan waliyullah memiliki Karamah seperti terkabulnya doa, tetapi mereka tidak memiliki Mukjizat sepertiyang dimiliki para Nabi .
Imam Abu Bakar bin Faurak menyatakan bahwa Mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik Mukjizat mengaku sebagai Nabi maka Mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika pemilik Mukjizat mengaku sebagai waliyullah, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut K aramah , bukan Mukjizat. [ ]
Meskipun serupa dengan Mukjizat , tetapi memiliki perbedaan yang nyata.Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang Mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy'ari yang menyatakan, "Mukjizat dikhususkan bagi para Nabi, sedangkan Karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat Mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut Mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut Mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan Mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah Mukjizat ."
Al-Qusyairi (ulama besar tasawuf lahir 376 Hijriyah) menegaskan, "Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat Mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam Karamah , kecuali syarat pengakuan kenabian saja." (Baca Juga: Ingin Jadi Waliyullah? Penuhi 12 Syarat Ini)
Wali Tidak Diperintah Memohon Karamah
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa Karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif. Muncul pada seorang hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan. Kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.
Al-Qusyairi berkata, "Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali . Bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki Karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para Nabi yang harus memiliki Mukjizat , karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan Mukjizat . Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain."
Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan Karamah yang muncul pada dirinya, tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa Karamah adalah karunia Allah. Dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. [ ]
Singkatnya kemunculan Karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli Ma'rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah , baik berupa kabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah Karamah , didukung dengan hikayat dan kabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan Karamah .
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur'an tentang sahabat Nabi Sulaiman 'alaihissalam yang berkata: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip". (QS Al-Naml[27]: 40). Padahal ia bukan seorang Nabi .
Juga riwayat tentang Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang tiba-tiba berkata, "Hai para kabilah di atas gunung!" Padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan Karamah para wali di atas Mukjizat para Nabi. Dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para Nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait dengan Mukjizat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah.
Setiap Nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk Mukjizatnya . Jika seorang Rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul Karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para Nabi berdasarkan dalil ijma' (kesepakatan ulama).
Mengenai hal ini, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa Karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan. [ ]
(Bersambung)!
Sumber:
Kitab "Jami' Karamat Al-Aulia" karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani
Lihat Juga: Kisah Karamah Sunan Gunung Jati Sembuhkan Putri Raja China hingga Dipersunting Jadi Istri
Imam Abu Bakar bin Faurak menyatakan bahwa Mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika pemilik Mukjizat mengaku sebagai Nabi maka Mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika pemilik Mukjizat mengaku sebagai waliyullah, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya, tetapi hal itu disebut K aramah , bukan Mukjizat. [ ]
Meskipun serupa dengan Mukjizat , tetapi memiliki perbedaan yang nyata.Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang Mukjizat pada masanya yaitu Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy'ari yang menyatakan, "Mukjizat dikhususkan bagi para Nabi, sedangkan Karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat Mukjizat adalah jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak disebut Mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut Mukjizat karena adanya banyak syarat yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan Mukjizat. Satu dari beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah Mukjizat ."
Al-Qusyairi (ulama besar tasawuf lahir 376 Hijriyah) menegaskan, "Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami meminjamnya. Semua syarat Mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam Karamah , kecuali syarat pengakuan kenabian saja." (Baca Juga: Ingin Jadi Waliyullah? Penuhi 12 Syarat Ini)
Wali Tidak Diperintah Memohon Karamah
Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa Karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada masa taklif. Muncul pada seorang hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan. Kadang sebagai hasil dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon karamah bagi dirinya.
Al-Qusyairi berkata, "Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali . Bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki Karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para Nabi yang harus memiliki Mukjizat , karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan Mukjizat . Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain."
Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan Karamah yang muncul pada dirinya, tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa Karamah adalah karunia Allah. Dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya. [ ]
Singkatnya kemunculan Karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli Ma'rifat. Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah , baik berupa kabar maupun hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi. Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah Karamah , didukung dengan hikayat dan kabar mutawatir, maka ia tidak akan meragukan Karamah .
Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-Qur'an tentang sahabat Nabi Sulaiman 'alaihissalam yang berkata: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip". (QS Al-Naml[27]: 40). Padahal ia bukan seorang Nabi .
Juga riwayat tentang Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang tiba-tiba berkata, "Hai para kabilah di atas gunung!" Padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.
Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan Karamah para wali di atas Mukjizat para Nabi. Dan bolehkah mengutamakan para wali di atas para Nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait dengan Mukjizat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah.
Setiap Nabi yang memunculkan karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk Mukjizatnya . Jika seorang Rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul Karamah pada umatnya. Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para Nabi berdasarkan dalil ijma' (kesepakatan ulama).
Mengenai hal ini, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa Karamah terkadang berupa terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan. [ ]
(Bersambung)!
Sumber:
Kitab "Jami' Karamat Al-Aulia" karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani
Lihat Juga: Kisah Karamah Sunan Gunung Jati Sembuhkan Putri Raja China hingga Dipersunting Jadi Istri
(rhs)