Kisah Heroik Ali bin Abi Thalib dengan Pedang Zulfikar di Perang Khandaq

Kamis, 12 November 2020 - 11:07 WIB
loading...
Kisah Heroik Ali bin Abi Thalib dengan Pedang Zulfikar di Perang Khandaq
Ilustrasi Ali Bin Abi Thalib/Ist/mhy
A A A
PERANG ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan turunnya firman Allah Ta'ala sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an (Surah Al-Ahzab). Untuk pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum muslimin di Madinah dikepung oleh kurang lebih 10.000 orang pasukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan kabilah. ( )

Pasukan itu diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Rasulullah SAW . Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Quraisy yang membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.

Peperangan tersebut dinamakan juga Perang Khandaq atau Perang Parit, karena untuk menanggulangi penyerbuan kaum musyrikin Quraisy atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi , dengan persetujuan Rasulullah, kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan dalam di sekitar pinggiran kota Madinah.

Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Ali bin Abi Thalib juga teruji dalam perang tanding melawan seorang pendekar Quraisy yang terkenal ulung, yaitu 'Amr bin Abdu Wudd Al'Amiri. ( )

Al Hamid Al Husaini dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib RA" menggambarkan 'Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak. Dengan congkak dan sombong si Kafir ini berani maju ke depan menyeberangi parit pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit.

Sambil membanggakan kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: "Hai... Apakah tak seorang pun yang berani keluar untuk bertanding?"

Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditanggapi oleh pasukan muslimin. Kaum muslimin banyak yang mengenal siapa 'Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya sebagai pendekar yang mahir duel satu lawan satu.

Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang menanggapi tantangan 'Amr, Ali bin Abi Thalib tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasulullah: "Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!"

Nabi Muhammad yang mengetahui benar Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan garam perang tanding, beranggapan, bahwa 'Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya yang baru berusia kurang dari 30 tahun itu. ( )

"Duduk sajalah engkau, dia adalah 'Amr!" ucap Rasulullah.

Di sisi lain, karena tidak ada juga jawaban dari pihak muslimin, maka 'Amr yang beringas itu berkoar lagi: "Mana itu surga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!"

Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-iris hati kaum muslimin, tetapi mereka tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepundan, Sayidina Ali tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya mendengar penghinaan yang sangat menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasulullah: "Biarlah saya yang menghadapinya; ya Rasul Allah!"

Tetapi Rasululullah kembali memerintahkan supaya Ali duduk dan tenang, sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar dan dengan nada gemas, Ali berusaha meyakinkan Rasulullah bahwa ia sanggup melawan dedengkot kaum musyrikin itu: "Biar 'Amr sekalipun ya Rasul Allah!"

Mengingat tekad Ali bin Abi Thalib yang begitu bulat, dan mengingat pula perlu membangkitkan keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasulullah memberi izin dan restu kepada misannya itu untuk tampil ke depan. ( )

Dengan hangat Ali menyambut persetujuan dan izin Rasulullah. Ia segera meloncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang bukan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor dengan nama zulfiqar, Ali maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi doa Rasululah SAW: "Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Sesungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang sebaik-baiknya."

Setelah berhadap-hadapan dengan 'Amr, tanpa perasaan gentar sedikit pun Ali bertanya kepada 'Amr: "Hai 'Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan menerima ajakan seorang dari Quraisy untuk menempuh salah satu di antara dua jalan hidup?"

"Ya!" jawab 'Amr dengan singkat dan angkuh.

"Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Islam," lanjut Ali.

Kata-kata Ali ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok tubuh yang sedang berhadap-hadapan.

'Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan banyak pengalaman menghadapi perang tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya.

Pemuda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan.( )

Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi antara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.

Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak membutuhkan itu!"

"Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Ali sambil siaga menghadapi gerakan 'Amr.

Tantangan Ali itu diremehkan saja oleh 'Amr: "Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!"

Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Ali dengan perasaan tak sabar lagi berucap: "Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!"

Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika menyerang Ali.

Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Ali tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.

'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Ali bin Abi Thalib. Kesempatan yang meleset itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ali. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Ali menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua.

Pendekar kebanggaan Quraisy itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu.

Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Ali yang "masih hijau" itu akan dibelah dua oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Quraisy itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Ali menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ... Allaahu Akbar.... !

Selanjutnya Ali bin Abi Thalib kembali menghampiri Rasulullah. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah Ta'ala, Rasulullah mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat."

Terbunuhnya jagoan Quraisy ini belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq, namun cukup menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.

Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambar menyambar. Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.

Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa.

Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!"

Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Quraisy atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit.

Rasulullah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-dalamnya kepada Allah Ta'ala yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3786 seconds (0.1#10.140)