Bersikap Jujur dalam Amalan-amalan Hati
loading...
A
A
A
Kejujuran merupakan tingkatan martabat di bawah kenabian, dan seorang hamba mukmin harus jujur dalam semua dimensinya, baik itu jujur di dalam perkataannya, perbuatannya , maupun amalan hatinya , niat maksud dan tujuannya, yang itu hanya Allah yang tahu dan pemilik hati tersebut.
Dimensi-dimensi kejujuran mencakup segala hal. Hal ini dijelaskan Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam kajian Islam Ilmiah, baru-baru ini. Dai yang juga penulis buku "Mencetak Generasi Rabbani" ini mengatakan, bahwa jujur bukan hanya dalam ucapan, walaupun ketika kita berbicara “kejujuran” yang terlintas dalam benak kita adalah jujur dalam perkataan. Itu salah satu dimensi jujur dan ada dimensi lainnya, yaitu jujur dalam amal-amal hati kita. Jujur dalam cinta, jujur dalam rasa sayang, cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, khauf, tawakal, dan amalan-amalan hati lainnya.
(Baca juga : Pernikahan Fitnah )
Termasuk di dalamnya adalah jujur dalam keikhlasan , dalam niat yang menjadi salah satu syarat diterimanya sebuah amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menilai sejauh mana kejujuran kita di dalam keikhlasan. Dan kejujuran dalam beramal itu bergantung kepada tingkat kejujuran di dalam keikhlasan. Jika seorang hamba beramal bukan karena Allah, tapi karena yang lainnya, berarti dia tidak jujur dalam niatnya. Bahkan bisa dikatakan dia telah berdusta dan Allah akan vonis dia berdusta.
كَذَبْتَ
“Engkau berdusta.”
Hal ini karena niatnya tidak ditujukan kepada Allah (karena Allah), tapi karena yang lainnya. Yang mana hal ini tidak ada orang lain yang tahu.
(Baca juga : Mengenal Sifat Allah sebagai al-Mujib )
Pengisi rutin di beberapa kanal dakwah ini menyebutkan, orang yang tidak jujur di dalam niatnya, manusia tidak dapat mengetahuinya. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuka rahasia hati ini pada hari kiamat. Sebagaimana firman-Nya :
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ ﴿٩﴾
“Hari dimana akan dinyatakan segala yang rahasia.” (QS. At-Thariq: 9)
يَوْمُ التَّغَابُنِ
“Dinampakkan semua kesalahan-kesalahan.” (QS. At-Taghabun : 9)
(Baca juga : Sebaik-baiknya Pernikahan yang Paling Baik )
Termasuk di dalamnya adalah niat dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengungkap perkara yang tersembunyi ini pada hari kiamat nanti. Seperti yang disebutkan dalam hadis bahwa hamba yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah tiga jenis manusia.
Salah satunya adalah orang yang mati syahid. Mati syahid dalam kacamata pandangan manusia, tapi mansuai tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam hati. Manusia hanya tahu apa yang nampak, apa yang nyata dan lahir. Dan kita menjalankan hukum dunia itu berdasarkan apa yang nampak. Kita tidak boleh menghukumi suatu yang tidak nampak, yaitu hati manusia. Yang kita bisa hakimi adalah perbuatan yang nampak darinya.
(Baca juga : Lusa Masa Tenang Pilkada 2020, Catat Sejumlah Potensi Pelanggaran Ini )
Orang ini, yang nampak dari manusia adalah bahwa dia mati syahid. Dia dibawa ke hadapan Allah untuk dihisab, diperlihatkan kepadanya semua nikmat yang telah diberikan di dunia dan dia mengakuinya, tidak ada yang bisa menyanggah dan menyangkal di hadapan Allah. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan semua nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada kita yang mungkin kita tidak sadari nikmat-nikmat itu dan baru kita sadari nikmat-nikmat itu ketika kita berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak bisa mengingkarinya, kita mengakuinya.
Allah bertanya kepadanya: “Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmatKu itu? Untuk apa kamu gunakan?” Maka dia menjawab: “Aku gunakan itu untuk berperang di jalanMu hingga aku gugur sebagai syahid,” begitu pengakuan lisannya. Tapi manusia tidak akan bisa menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya. Itu adalah hari yang sangat berat, diperlihatkan di hadapan kita rahasia-rahasia yang mungkin kita sendiri tidak menyadarinya. Atau kita lupa bahwa kita melakukan itu adalah bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Baca juga : UU Cipta Kerja Atasi Tumpang Tindih Perizinan dan Aturan Hukum )
Orang ini mengira dan meyakini bahwa dia mati syahid, maka Allah pun menyanggahnya dengan berkata:
كَذَبْتَ
“Kamu bohong, kamu tidak jujur.”
Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan kejujuran hati dari orang ini, bahwa niatnya tidak jujur dan lisan mengungkapkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di dalam hati. “Sebenarnya tujuanmu berperang agar dipuji, kamu lakukan semua itu agar kamu dikatakan pemberani, kamu dikatakan pahlawan, kamu dikatakan begini dan begitu,” yaitu dia melakukan itu untuk mendapatkan pujian dari manusia
(Baca juga : Teh Hijau dan Cokelat Hitam Membantu Mencegah Infeksi COVID-19 )
“Dan kamu sudah mendapatkan pujian itu,” itulah yang kamu kejar dan kamu telah mendapatkannya. Ini sesuatu yang tidak dia kira. Rahasia ini Allah bongkar pada hari kiamat. Orang-orang tidak tahu, tapi Allah Maha Tahu.
Ini sesuatu yang kadang-kadang luput dari perhatian kita. Apalagi zaman sekarang ini, zaman medsos. Manusia kadang-kadang tidak sadar bahwa dia memamerkan amal-amal ibadahnya di medsos; di Facebook, di Instagram, di WhatsApp atau media-media sosial lainnya, dia pamerkan di situ amal-amal akhiratnya. Tanpa dia sadari sebenarnya dia jatuh di dalam perkara riya’, riya’ menggerogoti hatinya. Sehingga tujuan dia ketika beramal adalah agar mendapatkan komentar manusia.
(Baca juga : Di Tengah Polemik RKT, Anggota DPRD DKI Ini Malah Lunasi Tunggakan Siswi SMK Tak Mampu )
Pamer itu akan membangkitkan rasa sombong, takabur dan berbangga-bangga dengan apa yang dimiliki serta jatuh dalam hasad, tamak dan yang lainnya. Itu kalau kita memamerkan dunia yang kita miliki di media-media sosial itu. Ketika kita melihat orang lain berkompetisi dengan kita di dalam urusan dunia tersebut, saling pamer di media sosial, hingga tanpa terasa muncullah hasad, muncul sombong dan penyakit-penyakit hati yang bisa mematikan hati itu, membuat hati sekarat dan kritis. Sehingga kadang-kadang segala sesuatu harus ditampilkan di media sosial.
Di dalam urusan akhirat, itu lebih parah. Karena berpotensi menimbulkan penyakit-penyakit hati yang kita sebutkan tadi; riya’, sum’ah, ‘ujub. Dan itu semua akan menggerogoti amal seseorang. Maka hati-hati ketika kita selalu memerkan apa yang ada pada kita di media-media sosial tersebut.
(Baca juga : Zionis Mulai Khawatir Iran Akan Serang Kepentingan Israel di Luar Negeri )
Kita lihat itu menjadi ajang sekarang ini untuk berbangga-bangga, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Tidak ada satu aktivitas pun yang luput dari pemberitaan, semuanya diupload. Hingga kadang-kadang seseorang itu merasa tidak lengkap hidupnya kalau belum memamerkan sesuatu dari dirinya. Dan dia senantiasa menunggu apa komentar manusia, apa kata manusia. Hatinya akan berbunga-bunga kalau dia mendapatkan pujian, minimal dapat apresiasi dalam bentuk gambar sekalipun, dia sudah merasa puas. Dan besok dia berusaha untuk melakukan sesuatu yang lain untuk itu.
Ini adalah perkara yang sangat membahayakan bagi hati. Sekarang manusia tidak tahu, tapi nanti Allah akan bongkar rahasia itu. Sampai rahasia yang terdalam yang mungkin Si Hamba tersebut tidak menyadari rahasia itu.
Wallahu A'lam
Dimensi-dimensi kejujuran mencakup segala hal. Hal ini dijelaskan Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam kajian Islam Ilmiah, baru-baru ini. Dai yang juga penulis buku "Mencetak Generasi Rabbani" ini mengatakan, bahwa jujur bukan hanya dalam ucapan, walaupun ketika kita berbicara “kejujuran” yang terlintas dalam benak kita adalah jujur dalam perkataan. Itu salah satu dimensi jujur dan ada dimensi lainnya, yaitu jujur dalam amal-amal hati kita. Jujur dalam cinta, jujur dalam rasa sayang, cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, khauf, tawakal, dan amalan-amalan hati lainnya.
(Baca juga : Pernikahan Fitnah )
Termasuk di dalamnya adalah jujur dalam keikhlasan , dalam niat yang menjadi salah satu syarat diterimanya sebuah amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menilai sejauh mana kejujuran kita di dalam keikhlasan. Dan kejujuran dalam beramal itu bergantung kepada tingkat kejujuran di dalam keikhlasan. Jika seorang hamba beramal bukan karena Allah, tapi karena yang lainnya, berarti dia tidak jujur dalam niatnya. Bahkan bisa dikatakan dia telah berdusta dan Allah akan vonis dia berdusta.
كَذَبْتَ
“Engkau berdusta.”
Hal ini karena niatnya tidak ditujukan kepada Allah (karena Allah), tapi karena yang lainnya. Yang mana hal ini tidak ada orang lain yang tahu.
(Baca juga : Mengenal Sifat Allah sebagai al-Mujib )
Pengisi rutin di beberapa kanal dakwah ini menyebutkan, orang yang tidak jujur di dalam niatnya, manusia tidak dapat mengetahuinya. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuka rahasia hati ini pada hari kiamat. Sebagaimana firman-Nya :
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ ﴿٩﴾
“Hari dimana akan dinyatakan segala yang rahasia.” (QS. At-Thariq: 9)
يَوْمُ التَّغَابُنِ
“Dinampakkan semua kesalahan-kesalahan.” (QS. At-Taghabun : 9)
(Baca juga : Sebaik-baiknya Pernikahan yang Paling Baik )
Termasuk di dalamnya adalah niat dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengungkap perkara yang tersembunyi ini pada hari kiamat nanti. Seperti yang disebutkan dalam hadis bahwa hamba yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah tiga jenis manusia.
Salah satunya adalah orang yang mati syahid. Mati syahid dalam kacamata pandangan manusia, tapi mansuai tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam hati. Manusia hanya tahu apa yang nampak, apa yang nyata dan lahir. Dan kita menjalankan hukum dunia itu berdasarkan apa yang nampak. Kita tidak boleh menghukumi suatu yang tidak nampak, yaitu hati manusia. Yang kita bisa hakimi adalah perbuatan yang nampak darinya.
(Baca juga : Lusa Masa Tenang Pilkada 2020, Catat Sejumlah Potensi Pelanggaran Ini )
Orang ini, yang nampak dari manusia adalah bahwa dia mati syahid. Dia dibawa ke hadapan Allah untuk dihisab, diperlihatkan kepadanya semua nikmat yang telah diberikan di dunia dan dia mengakuinya, tidak ada yang bisa menyanggah dan menyangkal di hadapan Allah. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan semua nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada kita yang mungkin kita tidak sadari nikmat-nikmat itu dan baru kita sadari nikmat-nikmat itu ketika kita berada di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak bisa mengingkarinya, kita mengakuinya.
Allah bertanya kepadanya: “Apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmatKu itu? Untuk apa kamu gunakan?” Maka dia menjawab: “Aku gunakan itu untuk berperang di jalanMu hingga aku gugur sebagai syahid,” begitu pengakuan lisannya. Tapi manusia tidak akan bisa menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya. Itu adalah hari yang sangat berat, diperlihatkan di hadapan kita rahasia-rahasia yang mungkin kita sendiri tidak menyadarinya. Atau kita lupa bahwa kita melakukan itu adalah bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Baca juga : UU Cipta Kerja Atasi Tumpang Tindih Perizinan dan Aturan Hukum )
Orang ini mengira dan meyakini bahwa dia mati syahid, maka Allah pun menyanggahnya dengan berkata:
كَذَبْتَ
“Kamu bohong, kamu tidak jujur.”
Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan kejujuran hati dari orang ini, bahwa niatnya tidak jujur dan lisan mengungkapkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di dalam hati. “Sebenarnya tujuanmu berperang agar dipuji, kamu lakukan semua itu agar kamu dikatakan pemberani, kamu dikatakan pahlawan, kamu dikatakan begini dan begitu,” yaitu dia melakukan itu untuk mendapatkan pujian dari manusia
(Baca juga : Teh Hijau dan Cokelat Hitam Membantu Mencegah Infeksi COVID-19 )
“Dan kamu sudah mendapatkan pujian itu,” itulah yang kamu kejar dan kamu telah mendapatkannya. Ini sesuatu yang tidak dia kira. Rahasia ini Allah bongkar pada hari kiamat. Orang-orang tidak tahu, tapi Allah Maha Tahu.
Ini sesuatu yang kadang-kadang luput dari perhatian kita. Apalagi zaman sekarang ini, zaman medsos. Manusia kadang-kadang tidak sadar bahwa dia memamerkan amal-amal ibadahnya di medsos; di Facebook, di Instagram, di WhatsApp atau media-media sosial lainnya, dia pamerkan di situ amal-amal akhiratnya. Tanpa dia sadari sebenarnya dia jatuh di dalam perkara riya’, riya’ menggerogoti hatinya. Sehingga tujuan dia ketika beramal adalah agar mendapatkan komentar manusia.
(Baca juga : Di Tengah Polemik RKT, Anggota DPRD DKI Ini Malah Lunasi Tunggakan Siswi SMK Tak Mampu )
Pamer itu akan membangkitkan rasa sombong, takabur dan berbangga-bangga dengan apa yang dimiliki serta jatuh dalam hasad, tamak dan yang lainnya. Itu kalau kita memamerkan dunia yang kita miliki di media-media sosial itu. Ketika kita melihat orang lain berkompetisi dengan kita di dalam urusan dunia tersebut, saling pamer di media sosial, hingga tanpa terasa muncullah hasad, muncul sombong dan penyakit-penyakit hati yang bisa mematikan hati itu, membuat hati sekarat dan kritis. Sehingga kadang-kadang segala sesuatu harus ditampilkan di media sosial.
Di dalam urusan akhirat, itu lebih parah. Karena berpotensi menimbulkan penyakit-penyakit hati yang kita sebutkan tadi; riya’, sum’ah, ‘ujub. Dan itu semua akan menggerogoti amal seseorang. Maka hati-hati ketika kita selalu memerkan apa yang ada pada kita di media-media sosial tersebut.
(Baca juga : Zionis Mulai Khawatir Iran Akan Serang Kepentingan Israel di Luar Negeri )
Kita lihat itu menjadi ajang sekarang ini untuk berbangga-bangga, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Tidak ada satu aktivitas pun yang luput dari pemberitaan, semuanya diupload. Hingga kadang-kadang seseorang itu merasa tidak lengkap hidupnya kalau belum memamerkan sesuatu dari dirinya. Dan dia senantiasa menunggu apa komentar manusia, apa kata manusia. Hatinya akan berbunga-bunga kalau dia mendapatkan pujian, minimal dapat apresiasi dalam bentuk gambar sekalipun, dia sudah merasa puas. Dan besok dia berusaha untuk melakukan sesuatu yang lain untuk itu.
Ini adalah perkara yang sangat membahayakan bagi hati. Sekarang manusia tidak tahu, tapi nanti Allah akan bongkar rahasia itu. Sampai rahasia yang terdalam yang mungkin Si Hamba tersebut tidak menyadari rahasia itu.
Wallahu A'lam
(wid)