Sahabat Nabi Si Kocak Nu’aiman, Bisa Jadi Inspirator Abu Nawas
loading...
A
A
A
Nuaiman sering menghibur, bahkan ketika sakit sekalipun. Seperti ketika suatu hari Nu’aiman dikabarkan sakit mata, Nabi menengoknya. Ternyata Nu’aiman sedang asyik makan kurma. “Apa boleh makan kurma, matamu kan sedang sakit?” tanya Nabi.
Dengan santai Nu’aiman menjawab, “Saya mengunyah dari arah mata yang tidak sakit, Nabi.” Konon, jawaban tersebut membuat Nabi tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya.
Daging Unta
Cerita lainnya. Suatu ketika para sahabat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas memiliki ide untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah.
Nu’aiman langsung saja menyambut ide tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut akhirnya jadi disembelih Nu’aiman. Sudah barang tentu, begitu tamu itu mengetahui untanya disembelih, langsung mengadu kepada Rasulullah.
Setelah ditanya, para sahabat yang memiliki ide makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman.
Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah dan tamunya tempat persembunyian Nu’aiman. Saat ditanya Rasulullah mengapa melakukan itu, jawaban Nu’aiman malah membuat Rasulullah tersenyum. “Tanyakan saja kepada orang yang menunjukkan kepadamu tempat persembunyianku,” jawab Nu’aiman.
Rasulullah lalu memberikan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih dari pada cukup.
Sikap Rasulullah
Dari beberapa kisah tentang Nu’aiman di buku Yang Jenaka dari M Quraish Shihab (Quraish Shihab, 2014) dan buku Dari Canda Nabi & Sufi Sampai Kelucuan Kita (A Mustofa Bisri, 2016), kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sikap Rasulullah terhadap Nu’aiman.
Pertama, memakluminya. Pada umumnya Rasulullah dan para sahabat maklum tentang karakter Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah juga biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam membuat lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar ajaran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi.
Kedua, melarang sahabat lain mencela Nu’aiman. Tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil seperti itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laku Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah sudah memberikan rambu-rambu. Rasulullah melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman. “Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah.
Cerita tentang Nuaiman memberi tahu kita bahwa Nabi adalah pribadi yang ceria. Suka tertawa, bercanda, dan tidak melulu bersikap resmi. Ia biasa bersenda gurau dengan para sahabat dan istri-istrinya. Sayangnya, riwayat-riwayat tentang sisi manusiawi ini jarang diedarkan. Nabi dihadirkan sebagai sosok yang lurus, kaku, dan hanya suka memberikan perintah atau gemar melarang-larang saja.
Sebagai umat Nabi, kita berhasrat meneladaninya secara penuh. Kita meninggalkan sesuatu yang dibenci Nabi dan berusaha menyukai apa saja yang dia senangi. Tapi kita sering melupakan sikap lapang dada dan humorisnya. Jadilah kita sedikit-sedikit merasa dihina, dilecehkan, lalu murka.
Senyum, tawa, tidak hanya membuat jiwa menjadi cerah dan perasaan lega, ia juga mengembalikan kita sebagai manusia. Cuma manusia yang bisa melakukannya. Dan, kita sudah rasakan, hari-hari ini, kebahagiaan dan keceriaan makin mahal harganya.
Dengan santai Nu’aiman menjawab, “Saya mengunyah dari arah mata yang tidak sakit, Nabi.” Konon, jawaban tersebut membuat Nabi tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya.
Daging Unta
Cerita lainnya. Suatu ketika para sahabat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas memiliki ide untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah.
Nu’aiman langsung saja menyambut ide tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut akhirnya jadi disembelih Nu’aiman. Sudah barang tentu, begitu tamu itu mengetahui untanya disembelih, langsung mengadu kepada Rasulullah.
Setelah ditanya, para sahabat yang memiliki ide makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman.
Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah dan tamunya tempat persembunyian Nu’aiman. Saat ditanya Rasulullah mengapa melakukan itu, jawaban Nu’aiman malah membuat Rasulullah tersenyum. “Tanyakan saja kepada orang yang menunjukkan kepadamu tempat persembunyianku,” jawab Nu’aiman.
Rasulullah lalu memberikan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih dari pada cukup.
Sikap Rasulullah
Dari beberapa kisah tentang Nu’aiman di buku Yang Jenaka dari M Quraish Shihab (Quraish Shihab, 2014) dan buku Dari Canda Nabi & Sufi Sampai Kelucuan Kita (A Mustofa Bisri, 2016), kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sikap Rasulullah terhadap Nu’aiman.
Pertama, memakluminya. Pada umumnya Rasulullah dan para sahabat maklum tentang karakter Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah juga biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam membuat lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar ajaran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi.
Kedua, melarang sahabat lain mencela Nu’aiman. Tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil seperti itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laku Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah sudah memberikan rambu-rambu. Rasulullah melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman. “Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah.
Cerita tentang Nuaiman memberi tahu kita bahwa Nabi adalah pribadi yang ceria. Suka tertawa, bercanda, dan tidak melulu bersikap resmi. Ia biasa bersenda gurau dengan para sahabat dan istri-istrinya. Sayangnya, riwayat-riwayat tentang sisi manusiawi ini jarang diedarkan. Nabi dihadirkan sebagai sosok yang lurus, kaku, dan hanya suka memberikan perintah atau gemar melarang-larang saja.
Sebagai umat Nabi, kita berhasrat meneladaninya secara penuh. Kita meninggalkan sesuatu yang dibenci Nabi dan berusaha menyukai apa saja yang dia senangi. Tapi kita sering melupakan sikap lapang dada dan humorisnya. Jadilah kita sedikit-sedikit merasa dihina, dilecehkan, lalu murka.
Senyum, tawa, tidak hanya membuat jiwa menjadi cerah dan perasaan lega, ia juga mengembalikan kita sebagai manusia. Cuma manusia yang bisa melakukannya. Dan, kita sudah rasakan, hari-hari ini, kebahagiaan dan keceriaan makin mahal harganya.
(mhy)