Hindarkan Anak dari Celaan dan Cacian

Selasa, 05 Januari 2021 - 19:00 WIB
loading...
Hindarkan Anak dari Celaan dan Cacian
Sebagai orang tua, kita harus meniru Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang tidak pernah mencela ataupun memaki anak kecil atas tindakannya. Walaupun itu kadang-kadang membuat kita marah Foto ilustrasi/ist
A A A
Jangan mencaci dan mencela anak, karena hal ini, tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun. Biasanya dilakukan oleh para orang tua ketika mereka marah dan kesal sama anaknya. Kadang-kadang perilaku anak membuat orang tua kesal. Tapi, kita harus memakluminya karena mereka perlu bimbingan , mereka makhluk yang banyak kekurangan dan masih perlu banyak dipoles.

(Baca juga: Berlemah Lemah Lembut Kepada Perempuan adalah Akhlak yang Mulia )

Ustadz Abu Ihsan Al Atsary menjelaskan, sering mencela dan mencaci anak itu akan menimbulkan penyesalan . Apalagi secara umum seorang mukmin bukanlah orang yang tukang mencela dan melaknat.

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ

“Seorang Mukmin bukanlah seorang yang suka mencela, suka melaknat, berkata keji dan berkata kotor.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya.)

Hadis ini ditujukan kepada semua manusia, apalagi kepada anak yang mana mereka adalah objek pendidikan kita. Apalagi berlebihan dalam mencela dan menjelek-jelekkan yang membuat anak itu bertindak tidak baik dan mungkin bertambah buruk. Karena manusia jika diperlakukan dengan kasar bukan bertambah baik, tapi bertambah buruk. Mungkin dia tidak akan berhenti dari keburukannya itu, bahkan mungkin akan menjadi-jadi.

(Baca juga: Sering Terlewatkan, Yuk Amalkan 8 Sunnah Sehari-hari Ini! )

Maka Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membenci perilaku seperti itu. Nabi tidak pernah mencela ataupun memaki anak kecil atas tindakannya. Walaupun itu kadang-kadang membuat kita marah.

Ustadz yang rajin mengisi kajian di kanal dakwah online ini mengatakan, Nabi pernah ketika sedang salat dan beliau sujud, tiba-tiba Al-Hasan datang dan naik ke atas punggung beliau. Nabi tidak beranjak dari posisi sujud beliau hingga Al-Hasan pergi dari punggung beliau. Ini menunjukkan sayangnya Nabi kepada anak. Beliau tidak memarahi karena memang perlu dimaklumi, namanya juga anak kecil.

Celaan juga bisa menjadi doa yang buruk terhadap anak. Kita khawatir doa itu dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keburukan itu benar-benar menimpa anak kita. Maka hati-hati mengucapkan kata-kata yang buruk kepada anak. Walaupun dalam kondisi marah, tahan diri, tahan lisan.

(Baca juga: Mandrasah Pertama yang Menggodok Keilmuan Imam Syafi'i )

Anas bin Malik menceritakan kepada kita bagaimana Nabi memperlakukan beliau ketika beliau menjadi khadim Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau mengatakan:

“Aku menjadi pelayan Nabi selama 20 tahun. Demi Allah beliau tidak pernah berkata ‘cih’ kepadaku dan juga tidak pernah berkata: ‘Kenapa kamu melakukan ini, kenapa kamu tidak melakukan ini?'”

Kadang-kadang kita sebagai orang tua suka menyalah-nyalahkan anak yang memang anak itu salah. Tapi kita tidak perlu memperkeruh suasana dengan mengekspos kesalahannya sehingga menjadi seolah-olah besar dan dia menjadi merasa begitu bersalah dan seolah-olah tidak bisa lepas dari kesalahan itu.

Dalam riwayat lain disebutkan: “Beliau tidak pernah menyuruhku kepada suatu hal lalu aku tidak melakukannya atau membiarkannya kemudian beliau mencela diriku. Bahkan apabila ada anggota keluarga beliau yang mencelaku, maka beliau berkata: ‘Biarkanlah dia, tidak usah dicela atas apa yang sudah terjadi. Karena seandainya itu ditakdirkan terjadi pasti terjadi.'”

(Baca juga: Fadli Zon: Kalau Kecanduan Blusukan Jangan-jangan Gila Pencitraan )

Demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menempatkan iman kepada takdir untuk pada tempat yang benar. Sehingga tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi. Hingga dalam hal-hal yang sangat kecil sekalipun.

Setelah disampaikan hal ini, biasanya respon dari para orangtua untuk membela diri mereka adalah mereka berkata: “Jika kami melakukan seperti yang dilakukan Nabi, anak-anak kami akan melawan kami.” Atau mungkin ada yang berkomentar: “Anak-anak sekarang berbeda dengan anak-anak dahulu.” Maka jawabannya bahwa sesungguhnya orang yang tidak tertarik dengan metode Nabi di dalam mendidik generasi muslim yang sejati atau menganggap metode lainnya lebih baik, maka niscaya ia akan menemui kegagalan.

Nabi tentunya melakukan itu bukan atas dasar hawa nafsu. Tapi itu adalah wahyu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada beliau.

Perlu kita ketahui bersama bahwa anak bukan robot, anak bukan benda mati, anak bukanlah makhluk yang tidak memiliki jiwa, dia adalah makhluk yang memiliki jiwa, perasaan dan lain sebagainya. Allah yang menciptakan manusia lebih tahu tentang manusia tentunya. Dan Allah menitipkan cara-cara itu dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam di dalam mengaplikasikannya.

(Baca juga: Sri Mulyani Bicara Kondisi Perempuan di Tengah Pandemi )

Ini yang perlu kita harus pahami. Jangan buru-buru kita sanggah bahwa kalau kita melakukan seperti Nabi, maka kita tidak akan mungkin berhasil.

Jadi kewajiban kita para orang tua adalah mengikuti teladan Nabi di dalam bab ini. Karena Allah mengatakan:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ…

“Sungguh pada diri Nabi itu terdapat suri tauladan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 21)

Coba kita lakukan, walaupun kita tidak seperti Nabi dan mungkin tidak bisa menjadi seperti Nabi, tapi kita mencoba untuk mengikuti apa yang Nabi contohkan kepada kita di dalam mendidik generasi.

Mungkin kita tidak selembut yang dilakukan oleh Nabi, tidak sebijaksana Nabi dan tidak bisa seperti Nabi di dalam menahan emosi dan lain sebagainya, kadang-kadang kita keceplosan, kadang-kadang kita kebablasan dan lain sebagainya. Itu adalah kekurangan kita yang perlu kita perbaiki sebagai orang tua.

(Baca juga: Bareskrim Polri Telusuri Dugaan Penimbunan Kedelai )

Ini adalah metode Ilahi, metode Rabbani, metode yang dipakai Nabi di dalam mendidik manusia dan itu yang harus kita ikuti. Terlepas hasilnya bagaimana, kita diperintahkan untuk mengikuti proses yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala gariskan. Adapun hasil,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ…

Allah tidak menyalahkan Nabinya ketika tidak bisa memberikan hidayah kepada Abu Thalib, karena itu bukan domain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi Nabi telah melakukan yang terbaik kepada Abu Thalib; mendakwahinya, membalas kebaikannya dengan kebaikan dan lain sebagainya. Walaupun Abu Thalib pada saat itu kafir, tapi Nabi melakukan apa yang diperintahkan Allah, tidak melangkahi aturan-aturan yang ada. Bahkan sebelum larangan mendoakan orang-orang yang mati dalam keadaan kafir diturunkan, Nabi masih meminta ampunan untuk Abu Thalib.

Coba bayangkan bagaimana Nabi ingin membalas kebaikan Abu Thalib. Ini menunjukkan akhlak yang luar biasa. Ketika turun larangan, baru Nabi berhenti.

Anak-anak itu pasti akan tersentuh hatinya dan ada satu titik dia akan terkesan dengan apa yang kita lakukan. Walaupun awalnya seperti melawan. Karena hati anak-anak kita di tangan Allah, bukan di tangan kita. Lakukan prosesnya dengan benar, insyaAllah hasilnya kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(Baca juga: Ini Penjelasan Kemendikbud Kenapa Formasi CPNS untuk Guru Ditiadakan )

Cara-cara dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu berlaku sampai hari kiamat, bukan harus kita rubah cara berdakwah Nabi. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ…

“Ajaklah manusia dengan cara yang hikmah dan dengan pengajaran yang baik…” (QS. An-Nahl[16]: 125)

Ayat itu tidak berubah sampai hari kiamat. Karena yang kita dakwah ini manusia dan itu metode yang dipilih Allah untuk Nabinya untuk berdakwah.

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2109 seconds (0.1#10.140)