Pura-pura Masuk Islam Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu, Syaikh Maulana Ishaq Hijrah

Kamis, 07 Januari 2021 - 19:00 WIB
loading...
A A A
Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syaikh Maulana Ishak.

Tentu saja Patih kecele. Walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syakh Maulana Ishaq yang sangat dibencinya. Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan.

Seluruh pengikut Syaikh Maulana Ishaq sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa bangga atas kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara di dadanya.

Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok wajahnya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.

Terlebih Dewi Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati. Seisi istana bergembira.

Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu.



Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara mengkambing hitamkan Syaikh Maulana Ishaq sebagai penyebabnya. “Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah Syaikh Maulana Ishaq. Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana kita harus kembali kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syaikh Maulana Ishak,” demikian kata sang Patih.

“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syaikh Maulana Ishak itu?” tanya sang Prabu.

“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu!”

“Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri?”

“Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke laut.

“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samudera,” ujar sang Prabu kepada Dewi Sekardadu.

Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu adalah lautan besar di selat Bali. Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan, peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari pandangan mata. Meski demikian wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya.

Suasana di tepi pantai itu sudah sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari mulai condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk tepekur di tepi pantai.

Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi Sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.



Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada Syaikh Maulana Ishaq adalah dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar manakala kenyataan berbicara lain. Dewi Sekardadu yang telah lama diimpikannya sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan ternyata lebih dahulu disunting oleh Syaikh Maulana Ishaq.

Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syaikh Maulana Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus menyingkirkan putra Syaikh Maulana Ishaq, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2255 seconds (0.1#10.140)