Pura-pura Masuk Islam Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu, Syaikh Maulana Ishaq Hijrah

Kamis, 07 Januari 2021 - 19:00 WIB
loading...
Pura-pura Masuk Islam Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu, Syaikh Maulana Ishaq Hijrah
Ilustrasi/Ist
A A A
DALAM pesta pernikahan Syaikh Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Raja Blambangan, Prabu Menak Sembuyu sudah terjadi ketegangan antara Syaikh Maulana Ishaq dan pihak keluarga kerajaan. ( )

Menurut Babad Tanah Jawi, pada saat jamuan makan dikeluarkan, makanan yang dihidangkan kepada Syaikh Mulana Ishaq kebanyakan terdiri dari daging binatang haram, seperti babi hutan, harimau, ular, kera dan lain-lain.

Posisi Syaikh Maulana Ishak kala itu sungguh sulit sekali. Kalau dia tidak mau menyantap hidangan itu nantinya disangka bersikap sombong dan menghina Prabu Menak Sembuyu. Jika disantap akan melanggar hukum Islam.



Dalam kondisi demikian, Syaikh Mulana Ishaq berdoá kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik. Seusai berdoá terjadilah sesuatu di luar dugaan. Daging-daging binatang haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba berubah menjadi binatang hidup berloncatan ke sana ke mari. Yang asalnya dari ular menjadi ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau, yang asalnya babi hutan menjadi babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik.

Pesta meriah geger. Syaikh Maulana Ishaq selanjutnya mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus diperintahnya.



Isu Jahat
Pasangan ini hidup berbahagia. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Buku "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" karya H. Lawrens Rasyidi menceritakan sejak terjadinya keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isu jahat kepada Prabu Menak Sembuyu.

Menurut Patih Bajul Sengara, Syakh Maulana Ishaq sengaja mempermalukan sang Prabu dengan menghidupkan binatang yang sudah dimasak dan siap dimakan para peserta pesta.

Bukan hanya itu saja, keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak rakyat Blambangan masuk Islam dianggap membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal kerajaan Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syakh Maulana Ishaq yang masuk Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syaikh Maulana Ishaq.

"Lama-lama Syekh Maulana Ishaq merebut kerajaan Blambangan ini dari tangan Gusti Prabu," demikian hasut Patih Bayul Sengara.

“Ya, tidak mustahil dia akan berontak dan memaksa kita benar-benar menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa kita pura-pura saja masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya," kanjutnya.



Prabu Menak Sembuyu memang hanya pura-pura masuk agama Islam demi kesembuhan putrinya. Kini setelah termakan oleh hasutan Patih Bajul Sengara dia mulai menaruh kebencian kepada menantunya itu.

Tujuh bulan sudah Syaikh Maulana Ishaq menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja pengikutnya. Hati Prabu Menak Sembuyu makin panas mengetahui hal ini. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.

Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror pada pengikut Syaikh Maulana Ishaq. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syaikh Maulana Ishaq diculik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama.

Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syaikh Maulana Ishaq mengetahui juga. Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan.

Syaikh Maulana Ishaq sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk meninggalkan Blambangan.

“Sungguh tidak pantas seorang anak menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku, jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya," ujar Syaikh Maulana Ishaq kepada sang istri.



Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syaikh Maulana Ishaq berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.

Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syaikh Maulana Ishak.

Tentu saja Patih kecele. Walaupun seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syakh Maulana Ishaq yang sangat dibencinya. Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan.

Seluruh pengikut Syaikh Maulana Ishaq sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak terjadi pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa bangga atas kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara di dadanya.

Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok wajahnya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.

Terlebih Dewi Sekardadu, dengan kelahiran bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati. Seisi istana bergembira.

Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu.



Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara mengkambing hitamkan Syaikh Maulana Ishaq sebagai penyebabnya. “Semua bencana yang menimpa rakyat Blambangan ini disebabkan ulah Syaikh Maulana Ishaq. Dewa murka karena penduduk Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan kepercayaan lama. Jika penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana kita harus kembali kepada agama lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syaikh Maulana Ishak,” demikian kata sang Patih.

“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas peninggalan Syaikh Maulana Ishak itu?” tanya sang Prabu.

“Salah satu diantaranya ialah bayi keturunannya, Gusti Prabu!”

“Maksudmu aku harus membunuh cucuku sendiri?”

“Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke laut.

“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan nasibnya di Samudera,” ujar sang Prabu kepada Dewi Sekardadu.

Tentu saja Dewi Sekardadu menangis dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu saja tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu adalah lautan besar di selat Bali. Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan tatapan kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan, peti itu makin lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari pandangan mata. Meski demikian wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya.

Suasana di tepi pantai itu sudah sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari mulai condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi Sekardadu segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih duduk tepekur di tepi pantai.

Di saat para prajurit meninggalkannya itulah Dewi Sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.



Belakangan baru diketahui bahwa sikap benci sang Patih kepada Syaikh Maulana Ishaq adalah dikarenakan ambisinya untuk dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar manakala kenyataan berbicara lain. Dewi Sekardadu yang telah lama diimpikannya sebagai batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan ternyata lebih dahulu disunting oleh Syaikh Maulana Ishaq.

Meski demikian ambisi itu tak pernah padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syaikh Maulana Ishak dari bumi Blambangan, dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang telah menjadi janda, demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus menyingkirkan putra Syaikh Maulana Ishaq, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.

Kini, setelah mendengar laporan para prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang duduk terpekur di tepi pantai hingga sore hari ternyata sudah tidak ada di tempat. Patih itu kelabakan, dia perintahkan ratusan prajurit untuk mencari sang putri, namun itu sia-sia belaka.

Sang Putri seolah-olah lenyap di telan bumi. Konon, Syaikh Maulana Ishak sebelum meneruskan perjalanan ke negeri Pasai sempat mampir ke Ampeldenta di Surabaya. Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia berpesan, apabila bertemu dengan anak yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu itu supaya dinamakan Raden Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya secara Islami.

Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak berkeberatan menerima amanat itu.

Dalam Babat Tanah Jawa menceritakan sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel , Syaikh Maulana Ishaq masih terus mengembara di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah. Dan kemudian beliau mendapat sebutan Syakh Wali Lanang.

Kemudian berangkatlah Syaikh Maulana Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan perguruan Islam di sana dan terkenal sebutan Syekh Awwalul Islam. ( )

Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam Syaikh Maulana Ishaq di Gresik dekat makam Maulana Malik Ibrahim, maka diduga pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri, Syaikh Maulana Ishaq kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syaikh Maulana Malik Ibrahim . (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2106 seconds (0.1#10.140)